Inpasonline.com, 27/11/10
SURABAYA – Syamsuddin Arief, tokoh yang dikenal sebagai pakar orientalis, menjadi pemateri dalam acara Dialog Tokoh di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis (25/11) kemarin. Acara yang dilaksanakan oleh KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat IAIN Sunan Ampel dan InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) ini dihadiri oleh ratusan peserta yang terdiri dari dosen, wartawan, dan mahasiswa. Tema yang dibahas sesuai dengan bidang yang ditekuni pematerinya, yaitu, Tantangan Orientalis dalam Studi Islam.
Menurut ketua pelaksananya, Deca, Ketua KAMMI, acara ini sengaja dilakukan untuk memberikan wacana baru bagi para mahasiswa, khususnya mahasiswa IAIN yang tiap harinya bergelut dengan kajian para orientalis. Sementara perwakilan InPAS, Anwar Djaelani, menegaskan bahwa acara ini merupakan salah satu bentuk dakwah InPAS yang konsen di bidang pemikiran Islam. Hal ini menurutnya, sangat penting untuk memberikan wacana kepada umat Islam yang selama ini sering dicekoki dengan wacana yang dihasilkan oleh orientalis dan tidak simpati dengan Islam, seperti pluralisme, liberalisme, sekularisme, kesetaraan gender dan lain-lainnya.
Sementara moderator acara, Bahrul Ulum, memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan acara ini. Menurutnya, sangat tepat jika membahas orientalis dengan menghadirkan Dr. Syamsuddin Arief ini. Di samping beliau dikenal sangat pakar dalam hal ini sebagaimana dibuktikan dalam bukunya Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, beliau hingga hari ini sedang menekuni studi tentang orientalisme di gembong orientalis, yaitu Doktorand, Orientalisches Seminar, Johann Wolfgang Goethe-Universität Frankfurt/Main, Germany. Hal inilah yang menjadikan acara ini berkualitas, jelas Bahrul.
Dalam acara ini, Syamsuddin mengulas materinya dengan menggunakan media Power Point yang berbahasa Inggris. Dalam paparannya, pria kelahiran Jakarta ini, menunjukkan sejarah perkembangan gerakan orientalisme dan prinsip-prinsip yang dipegang oleh para orientalis. Menurutnya, orientalis tidak pernah berubah memegang prinsip anti Islamnya, sampai saat kapanpun. Memang cara-cara yang digunakan bisa berganti, tapi jangan heran jika kajian mereka tetap saja tidak sejalan dengan kajian para ulama kita, jelasnya.
Di samping power point, Syamsuddin juga menjelaskan materinya melalui makalah yang ditulisnya dengan sederhana. Menurutnya, makalah tersebut bisa dibaca di halte bis, karena memang sengaja dibuat dengan sederhana.Tema makalahnya sama seperti tema acara, yaitu Tantangan Orientalis dalam Studi Islam. Untuk lebih jelas, silahkan dibaca makalahnya di bawah ini
TANTANGAN ORIENTALIS DALAM STUDI ISLAM
Dr. Syamsuddin Arif
Istilah ‘Orientalis’ dalam makalah ini ditujukan kepada para ilmuan Barat (i.e. Eropa, Amerika, Australia) yang melakukan kajian terhadap peradaban Islam. Bidang kajian mereka tidak terbatas soal agama Islam, akan tetapi mencakup budaya, bahasa, dan sejarah. Mereka juga memperluas wilayah kajian terhadap peradaban-peradaban dunia yang lain seperti India, China, Mesopotamia dan Mesir purba. Kepentingan mereka dalam mengkaji peradaban-peradaban Timur juga didorong semangat zaman Pencerahan (Aufklärung) yang semboyan terkenalnya: “Ex Oriente Lux” (Dari Timur muncul cahaya).
Kecenderungan orang-orang Barat mengkaji Islam semakin besar terutama sesudah Perang Salib yang meletus pada abad kesebelas Masehi. Mulailah mereka terjemahkan buku-buku orang Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Pada tahun 1143 al-Qur’an selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton dengan judul ’Lex Mahumetis Pseudoprophete.’ Proyek ini diselesaikan di Spanyol atas bantuan Petrus Venerabilis, ketua biara Cluny di Perancis. Demikian pula dengan karya-karya intelektual Muslim seperti kitab al-Syifa (ilmu filsafat), al-Qanun fi at-Tibb (ilmu kedokteran), at-Tasrif (ilmu bedah atau chirurgy), dan kitab al-Zij (ilmu astronomi).
Dari gerakan penerjemahan, pada abad ke-16 mulailah universitas-universitas tua di Eropa mengajarkan bahasa Arab dan bahasa-bahasa Islam lainnya seperti Parsi dan Turki. Di Paris studi orientalis dibuka pada tahun 1535, di Leiden pada tahun 1613, diikuti Oxford dan Cambridge pada tahun 1636, sesudah Salamanca, Roma, dan Bologna.
Pada awalnya, orang-orang Barat belajar Islam dalam rangka kebangkitan kembali yang kemudian mereka sebut Renaissance. Namun, tujuan mereka tidak sekedar untuk itu, mereka juga mengekpresikan kejahatan agama Islam kepada publik yang mereka salahpahami dari ajaran-ajarannya.
Semangat mempelajari agama Islam tampak juga pada hubungannya dengan kolonialisasi. Hal ini bisa dilihat pada saat Napoleon Bonaparte datang ke Mesir (1789 M) dengan membawa pasukan dan para ilmuan yang ditugaskan mempelajari bahasa, agama, dan budaya orang-orang Mesir. Hubungan ini makin rapat pada saat penjajahan Belanda di Indonesia yang menjadikan studi Islam sebagai alat untuk menaklukkan daerah Aceh seperti diperlihatkan Snouck Hurgronje.
Hampir tak ada bidang yang luput dari kajian para orientalis. Pada abad ke-19 beberapa orientalis mulai melihat pentingnya metodologi yang telah diterapkan pada Bibel untuk diaplikasikan dalam studi Islam khususnya metode kritik sejarah. Berbagai teori kajian Islam dan sejarahnya juga dikenalkan kepada kaum Muslim, terutama pada cendekiawannya.
Muncul pelbagai teori yang kerap dipakai Orientalis, semisal teori pengaruh (theories of influence), teori asal-asul (theories of origins), teori peminjaman (theories of borrowing), teori evolusi (theories of evolution), dan teori perkembangan (theories of development). Teori-teori ini diterapkan oleh Orientalis sebagaimana tampak dalam karya-karya mereka. Contohnya: A Literary History of the Arabs oleh Reynold Nicholson, Judaism in Islam karya Abraham I. Katsch, Quranic Studies oleh John Wansbrough dan sejenisnya. Pendekatan mereka ini telah mempengaruhi sebagian cendekiawan di Nusantara, sehingga ada yang hendak membuat Edisi Kritis al-Qur’an.
Perbedaan studi Islam yang dilakukan para Orientalis dan kaum Muslim dapat dilihat dari asumsi dibalik metodologinya. Orientalis menjadikan Islam sebagai objek penelitian tanpa mempedulikan kebenaran yang ada di dalamnya. Mereka mengkaji Islam sekadar untuk penelitian, tanpa mempertimbangkan orang-orang Islam yang memeluknya dan kebenaran yang diyakini dari agama ini. Selain itu, mereka juga melihat agama Islam sebagai fenomena sosial atau literatur yang layak dikaji melalui pendekatan budaya, sosiologi, antropologi, sejarah, politik dan perbandingan agama. Dengan begitu, mereka membagi Islam dalam dua kategori: ‘Islam normatif’ (yakni segala norma dan aturan keagamaan yang ditentukan oleh Allah), dan ‘Islam aktual’ (ajaran yang dilakukan oleh orang-orang Islam di berbagai tempat). Akibatnya dibuat-lah kategori-kategori keliru semacam ‘Islam klasik’, ‘Islam Abad Pertengahan’, ‘Islam Fundamentalis’, ‘Islam Moderat’, ‘Islam Radikal’, dan ‘Islam Liberal’. Semua ini adalah cara pandang yang mengelirukan.
Untuk membendung serbuan intelektual yang amat masif dari para Orientalis, kita memerlukan cendekiawan-cendekiawan Muslim dengan basis tradisi keilmuan Islam yang kuat, akan tetapi juga menguasai wacana dan strategi orientalis dalam studi Islam, punya rasa percaya diri sebagai Muslim dan mau bersikap kritis terhadap kajian orientalis. Orang-orang seperti Prof. Muhammad Rasjidi almarhum, Prof. Mustafa al-Azami, atau Prof. Naquib al-Attas boleh dijadikan contoh dalam perkara ini. Kini ditunggu munculnya sarjana-sarjana Muslim yang melanjutkan dan mengembangkan apa yang telah mereka rintis.
* * *
Dalam sebuah monograf kecil berjudul: al-Istisyraq bayn al-Mawdhu‘iyyah wa l-Ifti‘aliyyah, yang diterbitkan oleh Dar ar-Rifa‘i, Riyadh Saudi Arabia pada tahun 1403/1983, Prof. Dr Qasim as-Samarra’i, seorang pakar paleografi dan codicologi asal Iraq, lulusan Universitas Cambridge, England, telah menyingkap sejarah dan hakikat orientalis secara bijak, dan objektif. Mengapa masalah orientalis ini perlu dibahas? Jawabnya karena “kerja-kerja para orientalis itu telah mengakibatkan kepalsuan tersebar luas dan sampai kini menguasai media massa Eropa. Tulisan-tulisan mereka mengaburkan kebenaran dan menyimpang dari etika ilmiah sejati. Para orientalis itu menanamkan imej yang buruk dan pemahaman keliru mengenai agama Islam, Nabi Muhammad, kitab suci al-Qur’an dan orang Islam”.
Akibatnya, kata beliau, banyak kaum pelajar maupun cendekiawan Muslim yang terpengaruh para orientalis. Contohnya Taha Husain yang mengatakan bahwa: “Kita mesti menuntut ilmu kepada mereka [yakni para orientalis] sampai kita mampu berdiri di atas kaki sendiri dan terbang dengan sayap-sayap kita” (Lihat: Fi al-Adab al-Jahiliyy, hlm. 9-11). Atau Najib al-‘Aqiqi yang terkagum-kagum dengan hasil karya orientalis dan memuji mereka setinggi langit. Sikap keterlaluan ini menunjukkan kejahilan dan penyakit kejiwaan yang disebut Minderwürdigkeit atau inferiority complex. Yaitu runtuhnya keyakinan terhadap diri sendiri sebagai Muslim dan Mukmin yang tinggi peradabannya dan agung sejarahnya.
Beberapa observasi menarik diutarakan as-Samarra’i. Pertama, mengenai dua macam tulisan orientalis: yang ditujukan kepada rakan sebangsa mereka dan yang sengaja ditulis untuk pembaca umum. Kedua, perihal metode yang ditempuh yaitu bertolak dari dan kembali pada teori pengaruh, sehingga mereka mendakwa Islam telah meminjam ini dan itu dari agama Yahudi, Kristen dan sebagainya. Ketiga, fakta bahawa para orientalis itu tidak dapat melepaskan diri dari keyahudian, kekristenan atau sikap rasis dan ethnosentrik mereka apabila menulis mengenai Islam dan orang Islam (Arab, Turki, Melayu). Keempat, meskipun para orientalis itu kedengarannya positif atau kelihatannya objektif, akan tetapi di balik itu mereka sebenarnya menolak kenabian Muhammad SAW dan menngingkari kewahyuan al-Qur’an sebagai Kalam Allah SWT.
Yang lebih menarik lagi adalah sepak-terjang C. Snouck Hurgronje. Orientalis Belanda yang pernah menyamar sebagai Muslim dan bermukim di Mekkah ini di-kenal cerdik dan jahat. Dipakainya nama palsu ‘Abdul Ghaffar’ untuk menipu, supaya bisa menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh ulama di Mekkah, mengutip informasi-informasi penting mengenai orang Islam, dan –ini yang lebih parah- mengawini putri seorang camat di Indonesia. Padahal, sebenarnya “dia persembahkan dirinya sebagai penebus Jesus,” kata Sjord van Koningsveld, pakar sejarah dari Leiden.
Kuala Lumpur, Jum‘at 12 Dzul Hijjah 1431/ 19 November 2010