Hiruk-Pikuk Sosiologi Agama di IAIN Sunan Ampel Surabaya

Inpasonline, 16/12/09

Surabaya: Sepintas, menarik sekali apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Abd. A’la, MA dan Dr. H. Abd. Kadir Riyadi, Lc, MSc mengenai dimensi ritualistik dan dimensi moral agama yang selalu dipandang berbanding terbalik dengan dimensi ideologis. Sayang sekali, cara pandang terhadap agama yang tampak “menarik” semacam ini didapatkan dari hasil kajian sosiologi agama, yang membenturkan antara dimensi yang satu dengan dimensi yang lain.

Cara pandang sosiologis inilah yang digunakan untuk melihat Islam, oleh Prof. Dr. H. Abd. A’la, MA yang lulusan UIN Jakarta dan Dr. H. Abd. Kadir Riyadi, Lc, MSc yang lulusan Cape Town University. Berbicara dalam acara Bedah Buku “Agama Tanpa Penganut”, Senin, 14 Desember 2009 di Gedung Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya, kedua pembicara tampak larut dalam perbenturan antara aspek ritual agama, aspek sosial-moral agama, dan aspek ideologis agama (politik, red).

Abd. A’la  mempersoalkan inkonsistensi antara ibadah yang bersifat ritual (sholat, zakat, puasa, haji) dengan ibadah yang bersifat sosial-moral. Dalam buku “Agama Tanpa Penganut” karya Abd. A’la dijelaskan bahwa idealnya, setiap umat beragama harus mampu merefleksikan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah ritual ke dalam bentuk perilaku yang humanis. Perdamaian, toleransi, kepedulian, serta kepekaan terhadap masalah-masalah sosial adalah sebuah keniscayaan yang sejatinya selalu dijunjung tinggi oleh setiap individu-individu umat beragama. Hal ini tidak lain bertujuan demi terciptanya sebuah kehidupan yang sejahtera. Pernyataan Abd. A’la yang juga menjabat sebagai Pembantu Rektor I IAIN Sunan Ampel Surabaya ini bermasalah, sebab aspek moral yang selalu didengung-dengungkan selama 1,5 jam tersebut menafikan aspek ideologis yang meniscayakan berdirinya negara Islam seperti yang telah dijalankan oleh Rasulullah SAW, dan ujung-ujungnya mengarah kepada Pluralisme, yang telah difatwa haram oleh MUI. Dan benar saja, Abd. Kadir Riyadi dengan enteng mengusulkan diizinkannya dosen-dosen beragama non-Muslim seperti Kristen, Hindu, dan Budha untuk mengajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dosen-dosen non-Muslim ini, usulnya, akan diminta mengajari mahasiswa IAIN bagaimana seharusnya bermoral. Usulan ini direspon dengan dingin oleh para peserta yang kebanyakan mahasiswa. Seorang mahasiswa jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin segera mengacungkan jari, menyatakan keprihatinannya atas image IAIN yang negatif, yang kerap dijuluki Ingkar Allah Ingkar Nabi. Naudzubillahi min dzalik. Mahasiswa tersebut ingin agar orang-orang IAIN introspeksi diri, termasuk dengan tidak melontarkan pemikiran dan berperilaku yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah.

 Abd. Kadir Riyadi yang diharapkan menjadi pembicara pembanding ternyata tidak melakukan kritisi atau counter terhadap apa yang sudah ditulis oleh Abd. A’la. Dia justru memberi makna “lebih” terhadap hipotesis Abd. A’la. “Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, beliau SAW hanya mengedepankan akhlak, bukan mendirikan negara agama. Setelah Rasulullah SAW wafat, cahaya meredup. Ali dibunuh oleh Muawiyah dan mendirikan Dinasti Umawiyah. Dimensi ideologis muncul sebagai alternatif bagi dimensi moral. Jadi, menurut saya aspek moral berbanding terbalik dengan aspek ideologis. Semakin tinggi aspek moral diterapkan, semakin rendah aspek ideologis yang akan muncul,” katanya.

Entah lupa, atau sengaja melupakan, Abd. Kadir Riyadi tidak menjelaskan realita historis ketika Abu Bakar ra dipilih oleh Rasulullah SAW sebagai khalifah (pengganti) beliau SAW untuk mengurusi masalah umat. Berarti, Abu Bakar menggantikan posisi Nabi SAW sebagai pemimpin. Fakta historis ini saja sudah bisa mengindikasikan bahwa pada saat itu, sebuah negara sudah berdiri di Madinah, dengan Rasulullah SAW sebagai pemimpin, kemudian digantikan oleh empat sahabat beliau SAW yang disebut Khulafaurrasyidin (khalifah-khalifah yang diberi petunjuk). Sejatinya, apa yang diperintahkan Al-Qur’an untuk mewujudkan prinsip persamaan, persaudaraan, keadilan, kemaslahatan, dan sebagainya itu telah dilaksanakan Nabi SAW di Negara Madinah yang didirikannya itu. Meski tidak semua yang dilaksanakan Nabi SAW itu berasal dari perintah al-Qur’an, termasuk mendirikan Negara Madinah, tetapi praktek Nabi SAW itu merupakan sarana untuk melaksanakan perintah yang lain. Hal ini oleh para ulama disebut sebagai Siyasat-ur-Rasul.Dan mengapa dimensi moral dan dimensi ideologis-politis agama harus dibuat dengan grafik yang berbanding terbalik? Politik menyangkut banyak bidang kehidupan, sedangkan ayat-ayat al-Qur’an banyak membicarakan masalah kehidupan sosial termasuk politik. Bukankah politik bisa dioperasionalkan dengan mengedepankan moral atau Adab? Sebuah negara yang dibangun di atas Adab, yang di dalamnya terdapat institusi syariah tetap dibutuhkan demi keberlangsungan umat. Sebab Adab, selain dibangun lewat kesadaran, juga harus diatur dan diikat dengan seperangkat hukum dan aturan (syariah). Dan pelaksanaan syariah meniscayakan adanya institusi berupa negara. (Kar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *