Pemahaman mengenai tanzil di atas kemudian didekonstruksi oleh Arkoun, yang kini sering dirujuk oleh kalangan Islam liberal.[11] Secara tegas Arkoun menyatakan bahwa wahyu ketika di-tanzil-kan oleh Allah telah terpengaruh oleh realitas sejarah dan sosiol budaya Arab. Menurutnya al-qur’an merupakan jelmaan kata-kata Tuhan yang disampaikan pada manusia, dikonstruksi dalam bahasa manusia, ditransmisikan secara oral oleh suara manusia, dan di bakukan dalam bentuk tertulis.[12] Transmisi dari wahyu oral ke dalam tulisan ini menjadikannya sama dengan Kitab-kitab dunia lainya. Menurutnya al-Qu’ran lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya ketika masih dalam bentuk oral dibandingkan dengan ketika dalam bentuk tertulis.[13] Karenanya, Arkoun menolak kesucian al-Qur’an yang kita miliki sekarang. Baginya yang Suci itu adalah yang ada di al-Lauh al-Mahfudh, bukan yang termanifestasikan dalam Mushaf. Dalam pandangan Arkoun, Mushaf Usmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang disebabkan semata-mata oleh kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.[14] Jadi konsepsi bahwa al-Qur’an, lafazh dan maknanya, adalah dari Allah swt merupakan angan-angan keagamaan saja (al-khayal ad-diny).
Pendapat Arkoun di atas sangat bertentangan dengan az-Zarqani, ia menyatakan al-Qu’ran adalah Kalam Allah yang berupa lafazh-lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara Malaikat Jibril.[15] Rincinya ia mengatakan bahwa Malaikat Jibril mengambil al-Qur’an dari Allah swt. dengan cara sima’an (mendengarkan), yang lafazh-nya, dari surat al-Fatikhah hingga al-Nas, merupakan mu’jizat. Dan lafazh tersebut adalah kalam Allah yang tidak terkontaminasi oleh perkataan Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad dalam pembentukannya maupun tartib-nya.[16] Ia adalah kitab yang memuat aturan-aturan hidup dari Sang Pencipta untuk manusia di bumi. Dengannya manusia berakidah, beribadah, bermuamalah, berakhlak dan membangun peradaban Islam.[17]
Kedua pendapat di atas mengenai tanzil memang sangat bertolak belakang. Pendapat Az-Zarqani mewakili pandangannya umat Islam secara keseluruhan, sedangkan Arkoun menggambarkan pemikir postmodern. Namun apakah benar bahwa al-qur’an merupakan jelmaan kata-kata Tuhan yang dikonstruksi dalam bahasa manusia, Mushaf Usmani adalah hasil sosial budaya yang tidak suci lagi dan al-Qur’an sekrang ini tidak sama ketika pada masa Nabi Muhammad. Persoalan ini penting dibahas, karena pemahaman yang tepat mengenai konsep tanzil, wahyu dan al-Qu’ran merupakan langkah awal dalam menentukan metodologi penafsiran al-Qur’an. Jika asumsi dasar mengenai wahyu dan tanzil-nya salah maka bagaimana akan membangun penafsiran di atas pondasi yang rapuh. Karenanya, penulis menganggap penting membahas permasalahan tersebut dengan cara studi komparatif.
Melalui makalah singkat ini, penulis akan membahas bagaimana sejatinya landasan epistemologi pemikiran Arkoun dan pandangannya terhadap tanzil dan al-Qur’an. Kemudian penulis komparasikan dengan pandangan az-Zarqani.
B. Landasan Metodologi Arkoun dan az-Zarqani
1. Metodologi Arkoun
Validitas ilmu tergantung metodologi dan epistemologi seseorang. Karenanya keduanya menempati kedudukan penting dalam dunia pemikiran. Ia tidaklah muncul secara tiba-tiba dalam diri seseorang yang tidak memiliki latar belakang atau tradisi keilmuan. Ia merupakan produk langsung dari worldview[18] yang dimilikinya. Worldview terbentuk dari adanya akumulasi pengetahuan dalam pikiran seseorang, baik a priori (pengetahuan yang diperoleh melalui asumsi atau cara berpikir tertentu terhadap fakta-fakta, tanpa obesevasi atau pengalaman khusus) maupun a posteriori (pengetahuan yang diperoleh tidak secara a priori), konsep-konsep serta sikap mental yang dikempangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya.[19]
Demikian halnya Muhammad Arkoun dan az-Zarqani, pandangannya terhadap al-Qu’ran merupakan gambaran akumulasi pengetahuan yang ada dalam pikirannya. Arkoun sendiri mengakui bahwa bahwa seluruh periode yang dilalui dalam menempuh pendidikan memainkan peran yang cukup besar dalam membentuk pemikirannya.[20] Arkoun tumbuh pada saat pesatnya perkembangan science, baik yang sosial-humaniora maupun ilmu-ilmu alam di dunia Barat, begitu juga dengan az-Zarqani. Namun, tampaknya Arkoun memang lebih menyukai Barat (sarang orientalis, Prancis) dari pada tanah airnya sendiri (Aljazair). Karena milleu masyarakatnya yang rasionalis, Arkoun mampu berpikir dengan bebas tanpa ada rasa takut. Dia juga termasuk pendukung paham pluralisme agama versi John Hick.[21]
Kajian Arkoun mengenai al-Qur’an tergolong cukup berani dan radikal. Arkoun mempersoalkan kembali esensi wahyu sebagai Kalam Allah yang transenden untuk kemudian ditarik dalam tataran immanen,[22] yakni Kalam Allah yang besentuhan dengan realitas budaya dan sejarah yang profan. Maka dari itu, Arkoun juga menyeru untuk mengkajinya dengan metode historis. Tindakan ini bukannya tidak disadari oleh Arkoun, ia sendiri mengakui bahwa dengan pendekatan historis akan menentang semua penafsiran yang mensakralkan dan mentransendensikan yang dihasilkan oleh penalaran teologis tradisional.[23] Karena memang Arkoun adalah sosok pemikir yang tidak takjub terhadap fenomena wahyu dan keajaiban (baca: mukijzat) penurunannya (tanzil).[24] Hal tersebut dapat dipahami oleh kenyataan bahwa Kalam Allah turun dalam bentuk bahasa Arab.
Keberanian Arkoun ini dapat dipahami juga sebagai konsekuensi pendekatannya terhadap al-Qur’an melalui perangkat linguistik modern, antropologi strukturalisme dan filsafat post-modern. Dengan linguistik modern, meminjam istilahnya Ferdinand de Saussure, Arkoun menyamakan teks al-Qur’an sebagaimana teks-teks sastra lain yang tidak memandang lagi subjek pembicara, yakni maksud Allah. Model pembacaannya adalah dengan penjelajahan sinkronis dan diakronis[25] dalam memahami al-Quran dan tanzil-nya. Hasil dari penelusuran diakronis, Arkoun merekonstruksi tanzil al-Quran yang akan penulis paparkan nanti. Dari Saussure, Arkoun juga meminjam istilah parole dan langue untuk penamaan Kalam Allah.
Dengan pendekatan antropologi, Arkoun berusaha menyelami gagasan wahyu dalam tradisi semitis, konsep masyarakat berkitab, mitos, angan-angan masyarakat keagamaan, kesakralan, kebahasaan dan pemikiran dalam masyarakat berkitab.[26] Antropologi strukturalisme yang digagas oleh Claud Levi Strauss bertujuan untuk menyelami logika simbolis atas budaya-budaya manusia. Budaya dalam pandangan Strauss, ibarat bahasa yang memiliki logika internalnya yang mengikat manusia dalam kerja dan intuisinya yang secara kuat didominasi oleh ketidaksadaran.[27]
Arkoun juga tidak secara keseluruhan mengambil ide-ide filsafat post-modern. Ia hanya meramu pemikirian-pemikiran filsuf Barat sehingga melahirkan pemikiran Arkoun yang rumit. Ia terkesan hanya mencomot sebagian sambil mengabaikan perdebatan sengit antar aliran filsafat. Semisal perdebatan aliran strukturalisme dengan fenomenologi dan eksitensialisme.[28] Hal ini akan memperparah sikap objektivitas (jika ada), karena ia akan memilih-milih metodologi yang sesuai dengan ideologinya.[29]
Selain konsen dengan dialektika wacana di Barat, Arkoun juga sangat kagum dengan kajian-kajian orientalis. Tokoh orientalis yang dikagumi semisal Th. Noldeke, Arthur Jeffery, R. Paret, R. Blachere, John Wansbrough, Johan Gottfried Herder, dan lain sebagainya. Menurutnya, Noldeke telah berjasa besar dalam meperkenalkan persoalan yang tak terelakkan dari sejarah kritis naskah al-Qu’ran dalam karyanya Geschichte des Qorans.[30] Arkoun sangat menyayangkan jika sarjana muslim tidak mau mengikuti jejak sarjana Yahudi-Kristen.[31]
Demikian gambaran landasan epistemologi pemikiran Arkoun. Dalam menganalisa konsep tanzil, wahyu dan al-Qur’an, Arkoun banyak dipengaruh berbagai wacana yang berkembang di Barat. Pemikirannya yang terbilang rumit, sehingga banyak pemikir yang kesulitan untuk mengidentifikasikan dalam satu mazhab. Kadang Arkoun masuk pada kategori strukturalis dan di lain kesempatan dia tergolong post-strukturalis, post-modernis atau juga post-tradisionalis. Dari sini sudah dapat dilihat bahwa landasan epsitemologi Arkoun banyak terpengaruh oleh metode historis-materialis yang merupakan produk worldview Barat.
2. Metodologi az-Zarqani
Berbeda dengan Arkoun, Az-Zarqani[32] sebagaimana ulama klasik lainya memiliki epistemologi yang sudah sejak dahulu dipraktikkan oleh Nabi, sahabat, tabi’in, dan ulama salaf shalih. Konsepsinya mengenai tanzil dan al-Qur’an, tidak berbeda dengan kebanyakan ulama mayoritas. Dalam hal perkara yang bersifat metafisis, Az-Zarqani lebih sering mengkonsepsikannya dari sumber khabar shadiq, yakni al-Qur’an, sunnah dan perkataan sahabat. Contoh hasil konsepsinya akan penulis paparkan ketika menjelaskan pandangannya terhadap tanzil al-Qur’an. Inilah yang membedakannya dengan Arkoun yang sangat mengabaikan data riwayat mengenai fenomena wahyu beserta tanzil-nya.
Metode yang az-Zarqani gunakan dikenal dengan istilah metode tafsir bil-ma’tsur. Ini adalah metode tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih, yakni khabar shadiq. Yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.[33]
Demikian epistemologi pemikiran az-Zarqani mengenai wahyu, tanzil dan al-Qur’an yang besifat meta-historis. Bagi mayoritas ulama, semua aktifitas intelektual dimaksudkan untuk menambah keimanan kepada Allah. Begitu juga az-Zarqani, dalam mengeksplorasi konsep tanzil, wahyu dan al-Qur’an semata-mata hanya untuk mendapatkan ridlo-Nya agar kelak dapat bertemu Allah dengan bekal intelektual yang hasanah. Dalam merum uskan pemikirannya dia juga senantiasa berdoa agar dibimbing oleh-Nya. Kenyataan seperti inilah yang luput dari pemikir kontemporer.
Landasan epistemologi kedua pemikir muslim di atas memang sangat berbeda. Epistemologi yang dibangun oleh Arkoun untuk merombak dan mendekonstruksi ilmu keislaman banyak mengadopsi wacana dialektika Barat, seperti, dekonstruksi, antropologi, linguistik-semiotika, demitologisasi dan sosiologi. Penggunaan wacana-wacana tersebut dimaksudkan untuk membangun “masyarakat Kitab”, yakni paham pluralisme gaya baru yang intinya dilarang mengakui bahwa kitab sucinya yang paling orisinil dan otentik. Ini adalah hasil dari adopsi worldview Barat.
Berbeda dengan Arkoun, az-Zarqani lebih banyak menggunakan analisa data-data riwayat atau khabar shadiq untuk menganalisa konsep tanzil al-Qur’an. Ini adalah metodologi yang telah diwariskan sejak zaman Nabi hingga sekarang ini yang masih peduli dengan informasi meta-historis, yakni tradisi dari worldview Islam. Metodologi analisa az-Zarqani bertujuan untuk menambahkan keimanan umat Islam sendiri, bukan untuk mengikis keyakinannya terhadap keotentikan al-Qur’an..
Sejauh mana keabsahan di antara keduanya, alangkah baiknya penulis kutip peringatan Margaret Marcus (Maryam Jameela).[34] Beliau mengingatkan jika pandangan hidup Barat menelusup ke dalam sistem kepercayaan Islam, tidak lagi ada sesuatu yang orisinal yang akan tersisa.[35] Karena menurut Yusuf Qardawi, [36]
Dalam artikel pendeknya Hamid Fahmi Zarkasy menyatakan, Barat adalah alam pikiran pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam, Hindu, bahkan jawa adalah sama-sama pandangan hidup. Meski sama namun kesamaan hanya pada tingkat genus, bukan species. Masing-masing memiliki karakter dan elemennya sendiri-sendiri. Jika elemen-elemen suatu pandangan hidup dimasuki oleh pandangan hidup lain, maka akan terjadi confusion alias kebingungan.[37]
Metodologi yang mengadopsi produk pandangan hidup Barat ini, seperti linguistik modern, antropologi strukturalis atau filsafat post-modern, tidak dapat menjangkau fenomena al-Qur’an dan tanzil-nya yang bersifat metafisis. Metodologi ini mempunyai eksposisi bahwa setiap teks (suci maupun manusiawi) pasti dilahirkan oleh lingkungan sosiololgis dan antropologis saat teks itu diciptakan. Pemahaman seperti inilah yang dikenal dengan tafsir materialis atas sejarah yang menyatakan bahwa segala hal yang terjadi di pentas sejarah harus berasal dari faktor sosio-historis yang melingkupinya.[38] Arkoun sebagai pemakainya, dalam konsepsinya terhadap tanzil dan al-Qur’an yang akan penulis paparkan nanti, sangat jelas bahwa ia penganut historis-materialis. Dalam hal ini Muhammad al-Kattani menjelaskan:
“Jika kita sepakat dengan logika materialisme historis, kita akan anggap remeh embusan spirit yang menghasilkan lompatan sejarah. Memahami fenomena sejarah tak cukup hanya dengan pendekatan materialistik, sehingga sejarah yang tak diterima oleh logika materialistik ini dinilai mitos dan transenden. Namun ada banyak pertanyaan yang segera menyergap kita dari berbagai sudut jika kita hanya mengakui logika materialis untuk menafsirkan sejarah.”[39]
Keberatan ini sebenarnya bukan saja karena metodologi itu berasal dari Barat. Namun adanya unsur ideologi sekuler yang diinfiltrasikan ke dalam Islam melalui metodologi nir-Islami itulah alasannya. Dan jika benar-benar diterapkan dalam kajian al-Qur’an, maka akan bertentangan dengan hal-hal aksioma di dalam Islam.[40] Selain itu metodologi Barat (ilmu-ilmu humaniora) juga masih memiliki problem internal. Metodologi Barat ini, dalam kajiannya tak pernah mengenal tahap final. Karena perkembangan metodologi humaniora Barat masih dalam tahap pematangan dan berproses untuk menjadi sesuatu. Oleh karena itu, mustahil bagi umat Islam untuk bisa sampai kepada pengetahuan yang pasti jika menggunakan metodologi tersebut.[41] Suasana kompetisi antar ilmuwan Barat, yakni kawasan Eropa Barat dan Amerika Serikat, juga turut memperparah ramuan metodologinya. Pasalnya, mereka terbiasa menyisipkan pengalaman individu ke dalam penafsiran objek kajiannya. Dan pada akhirnya teori-teori temuannya tidak mampu menembus dilema-dilema yang mereka hadapi, bahkan semakin memperparah krisis pemikiran di Barat.[42]
Kiranya sudah jelas, dalam hal ini, Arkoun telah keliru mengambil epistemologi dan pandangan hidupnya (worldview). Karena pada dasarnya setiap epistemologi, konsep atau worldview memiliki tempat dan rumahnya masing-masing. Menurut al-Attas, manusia yang ber-adab adalah yang dapat meletakkan makna pada setiap konsep dan terminologinya.[43] Ketiadaan adab akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan, bahkan kegilaan secara alami. Kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kebodohan menurut al-Ghazali adalah melakukan cara yang salah untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan kegilaan adalah perjuangan berdasarkan tujuan dan maksud yang salah.[44] Alih-alih ingin memajukan Islam dari dalam, namun sebenarnya Arkoun telah merusak tatanan dasar epistemologi dan worldview Islam.
C. Tanzil al-Qur’an dalam Pandangan Arkoun dan az-Zarqani
1. Konsep Tanzil Arkoun
Agar tidak ada kerancuan dalam memahami wahyu dan tanzil al-Qur’an, sebaiknya penulis bahas mengenai terminologi wahyu terlebih dahulu. Secara umum, pengertian wahyu dapat dilihat dari dua sisi makna. Pertama, wahyu dalam makna ihaa, yakni proses penyampaian wahyu. Kedua, wahyu dalam makna al-muha bihi yakni objek wahyu itu sendiri.[45] Wahyu dalam makna proses penyampaian Kalam Allah (tanzil) inilah yang akan menjadi kajian komparasi antara Arkoun dengan az-Zarqani. Dimana kita akan melihat perbedaan yang sangat serius di antara mereka.
Bagi Arkoun, selama ini kalangan ortodoks muslim[46] (az-Zarqani termasuk dalam kritikannya Arkoun) telah banyak memanipulasi konsep tanzil, wahyu dan al-Qur’an. Karenanya, Islam bersifat ekslusif, selalu memandang bahwa ia yang unggul dari agama-agama yang lain. Untuk itu, dengan perspektif antropologi dan fenomenologi,[47] Arkoun berusaha mendekonstruksi[48] konsep wahyu yang masing-masing agama saling berlainan.[49] Baru kemudian, Arkoun merekonstruksi bagaimana al-Qu’ran bisa sampai kepada Nabi Muhammad saw dan hingga saat ini. Tujuannya agar terwujud Islam yang inklusif, terbuka dengan peradaban selainnya.
Ide rekonstruksi tanzil al-Qur’an ini merupakan buah dari penjelajahan diakronis. Hasilnya, Arkoun membagi konsep tanzil menjadi empat fase.[50] Pertama adalah fase Kalam Allah. Kalam Allah merujuk kepada logos, ide atau sabda Allah yangn tidak terbatas, yang kekal bersama-Nya, dan transenden. Kalam Allah yang turun kepada manusia hanyalah penggalan dari logos tersebut. Fase ini juga sering disebut sebagai wahyu yang masih menjadi parole[51] (firman, sabda, kalam) Allah yang transenden, tak terbatas (infinite), besifat abadi serta mengandung kebenaran tertinggi. Akan tetapi, kebenaran absolute ini di luar jangkauan manusia,[52] alasannya karena bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam al-lauh al-Mahfuzh[53] (the well preserved tablet) atau umm al-Kitab (the Archetype Book)[54] dan tetap berada bersama Tuhan sendiri.[55]
Secara tidak langsung, Arkoun menganggap bahwa pada fase ini, al-Qur’an masih berwujud “ide” atau pengetahuan (‘ilm) Allah. Ia belum terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh atau teks, lebih-lebih tersusun dalam surah atau ayat dengan sistematika yang ada untuk sekarang ini. “Ide” dan pengetahuan Allah ini mampu dipahami oleh manusia ketika pada fase kedua, yakni fase pembentukan lafazh-lafazh al-Qur’an. Anggapannya memiliki konsekuensi logis bahwa lafazh al-Qur’an merupakan hasil kerja sama antara Nabi Muhammad dengan Tuhannya. Di sini, Arkoun berbeda dengan az-Zarqani. Mengenai bagaimana perbedaannya akan penulis paparkan kemudian.
Fase kedua berlangsung ketika pewahyuan (610-632 M). Periode ini menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah.[56] Ia diistilahkan sebagai wacana kenabian (verbal) atau wacana Qur’an.[57] Pada fase ini, wahyu menampakkan diri sebagai langue. Ia bersinggungan langsung dengan realitas sejarah. Pada peringkat inilah, wahyu menjelma dalam bahasa manusia, yakni bahasa Arab yang berupa lafazh-lafazh. Dengan pemahaman seperti ini, meminjam pemikiran Saussure, parole Allah yang ada di al-lauh al-Mahfuzh harus tunduk pada aturan-aturan langue bahasa Arab.[58]
Sesuai dengan kajian semiotika juga, pada masa Prophetic Discourse, al-Qur’an masih berbentuk ujaran-ujaran lisan yang didengarkan. Muqsith Ghazali menjelaskan, ujaran tersebut bukanlah dalam pengertian “suara” yang dihasilkan secara fisik oleh anggota tubuh manusia seperti yang kita alami dalam percakapan sehari-hari. Yang dimaksud dengan ujaran di sini adalah sebuah “ide” yang cemerlang serta mempunyai daya yang tak terelakkan sehingga ia menyerupai suara yang didengarkan. Ini dapat dipahami, yang terjadi adalah komunikasi melalui ide dan gagasan.[59] Masih menggunakan analisa semiotika, pada masa pengujaran ini suasana komunikasi, studi pengucapan, daftar dan tingkatan kode-kode budaya, dan susunan serta fungsi-fungsi cerita masih terpelihara dengan baik.[60] Namun wacana Qur’ani sudah hilang sama sekali karena terjadi hanya sekali ketika pengujaran.
Masa wacana kenabian (verbal), dalam pandangan Arkoun, lebih layak menyandang predikat sakral serta lebih dipercaya ketimbang fase-fase setelahnya. Karena al-Qur’an pada fase ini (verbal) masih terbuka untuk semua makna, sementara pada fase berikutnya (tekstual) telah turun derajatnya dari kitab yang diwahyukan menjadi kitab yang biasa, sehingga ia tidak berhak lagi menyandang predikat sakral dan kesucian.[61]
Pandangan Arkoun mengenai wacana kenabian (verbal) mirip dengan Johan Gottfried Herder (1744-1803 M). Gagasan Gottfried dimaksudkan untuk menolak tiga versi Injil (Matius, Markus, dan Lukas) dikarenakan mengabaikan Injil-Injil versi selain tiga tersebut. Gottfried mengatakan dengan jelas bahwa masing-masing Bible yang tidak digunakan memiliki tujuan, waktu, dan tempatnya sendiri yang khusus bagi mereka, dengan menekankan bahwa Injil yang asasi adalah yang berbentuk verbal daripada tertulis. Bentuk Injil yang paling awal adalah penjelasan verbal dari Almasih.[62]
Al-Qur’an pada fase ketiga, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf. Al-Qur’an pada periode ini sudah mensejarah[63] yang diistilahkan sebagai Closed Official Corpus (Korpus Resmi Tertutup).[64] Berdasar pada periode tersebut, Arkoun mendefinisikan al-Qur’an sebagai sebuah Korpus resmi yang selesai (tertutup) dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa Arab.[65] Dikatakan “resmi” karena teks-teks al-Qur’an merupakan akibat dari seperangkat keputusan yang diambil oleh “otoritas-otoritas” yangn diakui oleh komunitas. Dikatakan “tertutup” karena tidak seorang lagipun diperkenankan untuk menambah atau mengurangi kata-kata, memodifikasi suatu bacaan dalam Korpus yang sekarang dinyatakan otentik.[66] Dan dikatakan “terbuka” karena korpus ini masih memungkinkan untuk dipahami dan digali makna-makna yang tereliminasi.
Fase ini berlanjut sampai masa ortodoksi, yakni masa standarisasi Mushaf (324 H./ 936 M.). Pada periode ini, menurut Arkoun kalangan ortodoks telah banyak memasukan secara diam-diam berbagai hasil suatu ilmu, lalu menegaskan secara tak terbantah bahwa ia sama sekali tidak memodifikasi ajaran-ajaran yang telah dicapai berbagai disiplin ilmu tradisional.[67] Menurutnya lagi, kalangan ortodoks telah menggunakan berbagai bahan, prosedur dan suatu kerangka historiografis untuk mendehistorisasikan masa wahyu serta masa pengumpulan dan pembakuan Mushaf.[68]
Masih menurut Arkoun, Ibn Mujahidlah yang sebenarnya bertanggung jawab atas pembaruan yang menentukan pada tahun 324 H. Tindakannya ini ternyata harus dibayar dengan keterputusan epistemis dan epistemologi. Lebih-lebih setelah pembaruan Ibn Mujahid dengan adanya penerbitan edisi buku al-Qur’an di Kairo pada tahun 1924.[69]
Dengan membandingkan bentuk lisan dan tulisan dari al-Qur’an, Arkoun menyatakan dengan tegas bahwa ia lebih suci, autentik dan dapat dipercaya ketika masih dalam diskursus dibanding dengan ketika dalam bentuk tertulis.[70] Alasannya menurut Arkoun adalah karena al-Qur’an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, dan dalam bentuk tulisan tidak lagi begitu. Sebaliknya dia mengatakan, penggunaan alat-alat tulis seperti pena dan kertas telah mengurangi status al-Qur’an yang bersifat ketuhanan menjadi sebuah buku dunia.[71]
Fase keempat adalah fase korpus tertafsir. Fase ini dikaitkan Arkoun dengan produktivitas teks, bukan produktifitas wacana. Tradisi keagamaan dihasilkan dari penafsiran teks tertulis, bukan penafsiran terhadap wacana Qur’an. Para pembaca menuliskan kembali teks sesuai dengan kisi-kisi persepsi dan prinsip penafsirannya. Kisi dan prinsip tersebut, menurut Arkoun, terkait dengan dengan budaya pembaca dan determinasi kelompok pada masanya. Dalam konteks itulah terjadi penggandaan semantis, simbolis, dan ideologis atas teks dalam ruang sejarah sosial, politik, dan kebudayaan.[72] Mushaf standar ini telah kehilangan daya magnetik dan fungsionalitasnya, karena ditempatkan pada posisi yang begitu tinggi yang digambarkan seolah-olah tidak ada lagi orang yang mampu memahaminya selain para imam maksum dan Mujtahid dan bahwa makna mushaf telah tergali secara keseluruhan oleh meraka. Kemungkinan besar, ini terjadi akibat berlapis-lapisnya teks-teks tafsiran terhadap teks pertama, Mushaf yang menurut Arkoun menyerupai lapisan geologis pada bumi.[73]
Dengan rekonstruksi tahapan turunnya wahyu kepada audiens, Arkoun ingin memberikan porsi pendekatan antropologis dan semiotis kepada wahyu sebelum ia dipahami oleh para ulama dan menjadi cabang-cabang keilmuan Islam. Tiga tahap terakhir turunnya wahyu dipandang Arkoun sebagai tahap semio-linguistik karena ketiganya berada dalam tataran sejarah dan budaya manusia.[74]
Persoalan mendasar yang ingin dianalisis oleh Arkoun dengan disiplin ilmu antropologis adalah menyangkut beralihanya ujaran-ujaran lisan dari wacana kenabian ke dalam sebuah al-Qur’an yang tertulis, yang kemudian dibakukan menjadi Mushaf standar. Menurutnya peralihan wacana semacam ini tentu mereduksi berbagai macam bacaan, dialek, dan bahkan makna yang terbuka dan luas menjadi suatu penafsiran logosentris yang sempit dan kaku. Artinya peralihan dari wacana kenabian yang bersifat orale (lisan) ke wacana masyarakat melek huruf yang pandai membaca dan menulis ternyata memunculkan masalah tersendiri.[75]
Dengan demikian, paparan Akoun dapat disimpulkan bahwa pada masing-masing tingkatan, kandungan al-Qur’an sudah mengalami perubahan. Pada tingkatan pertama, Kalam Allah/al-Qur’an masih berupa “ide” atau pengetahuan Allah yang dinilai paling benar, namun tidak dapat dijangkau oleh manusia, karena belum terwujud dalam lafazh-lafazh terlebih dalam susunan surah dan ayat seperti yang sekarang ini. Dan pada tingkatan kedua, Kalam Allah yang menjelma ke dalam bahasa Arab hanya sebagian dari penggalan yang ada di umm al-Kitab (the Archetype Book), dan itupun sudah tidak ada lagi. Dan lain lagi ketika dalam bentuk mushaf. Pasalnya, walau bagaimanapun juga, mushaf telah mengalami modifikasi, revisi dan subtitusi. Arkoun menganggap al-Qur’an yang sekarang ini tidak sama ketika pada masa Nabi Muhammad saw. lebih-lebih ketika di al-lauh al-Mahfuzh. Konsepsi tanzil di atas juga berlaku untuk Taurat dan Injil. Tidak ada bedanya.
Setelah penulis paparkan dan simpulkan inti dari pemikiran Arkoun, selanjutnya penulis sandingkan dengan hasil dari kajian az-Zarqani mengenai tanzil-nya al-Qur’an. Meski az-Zarqani termasuk dalam jajaran ulama yang dikritik Arkoun, namun tidak ada salahnya penulis paparkan konsepsinya mengenai tanzil, dengan tujuan apakah tepat kritikan Arkoun di atas.
2. Tanzil dalam Pandangan Az-Zarqani
Jika Arkoun tidak mendefinisikan sekaligus mengagumi fenomena wahyu yang luar biasa dan menggambarkannya secara detail, maka az-Zarqani sebaliknya. Wahyu dalam pengertian, al-muha bihi, yakni objek wahyu itu sendiri dibagi menjadi dua macam. Pertama, al–matlu (yang dibaca). Kedua, ghairu al-matlu (yang tidak terbaca). Wahyu yang dibaca adalah al-Quran yang Allah jadikan mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. dan menjadi penjamin pemeliharaannya dari perubahan-perubahan.[76] Sedangkan wahyu yang tidak dibaca ialah hadits Nabi Muhammad saw.[77] Yang termasuk hadits ialah perkataan, perbuatan dan keputusan Nabi serta sifat-sifatnya.[78]
Menurut pandangan az-Zarqani, wahyu dalam pengertian ihaa (proses penyampaian wahyu) mempunyai arti pemberitahuan (i’lam) dari Allah swt kepada hamba pilihan-Nya, berupa hidayah atau ilmu pengetahuan dengan cara yang amat rahasia dan lain dari kebiasaan manusia.[79] Fenomena wahyu ini bukanlah peristiwa baru yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saja. Jauh sebelumnya sudah dikenal oleh kebanyakan orang. Namun, khusus untuk al-Qur’an (al-muha bihi) proses pewahyuannya memiliki kekhususan tersendiri. Menurut az-Zarqani, proses pewahyuan al-Qur’an semuanya melalui perantara Malaikat Jibril,[80] tidak seperti para Nabi sebelumnya.[81] Di sini terdapat perbedaan dengan Arkoun. Hasil rekonstruksinya terhadap wahyu, Arkoun menyatakan bahwa semua Kitab Suci (al-Qur’an, Taurat dan Injil) adalah Firman Tuhan yang dimanifestasikan, dijelmakan dalam bahasa manusia, ditransmisikan secara oral oleh bahasa manusia, atau ditetapkan dalam bahan-bahan tertulis.[82] Arkoun tidak menyinggung perbedaan-perbedaan cara pewahyuan masing-masing Kitab Suci, juga tidak mengindahkan pemberitaan tentang penyelewengan (tahrif) terhadap wahyu Allah dalam kitab-kitab sebelumnya.
Az-Zarqani secara khusus melukiskan turunnya wahyu ke dalam hati Muhammad saw melalui perantara Malaikat Jibril dengan beberapa cara.[83] Secara garis besarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua (2) bentuk; Pertama, kadangkala Nabi diperlihatkan bentuk rupa malaikat penyampai wahyu sebagaimana wujud aslinya atau dalam wujud manusia. Ketika malaikat Jibril datang kepada Muhammad saw dengan menampakkan dirinya sebagai manusia, para sahabat mampu melihat dan mendengarkannya. Bentuk Kedua inilah yang paling sering, yakni kedatangan malaikat tanpa memperlihatkan bentuk rupanya, tetapi Nabi hanya mendengar suara seperti suara lebah atau suara lonceng. Yang diketahui oleh para sahabatnya hanyalah tanda-tanda lahiriah seperti merasa adanya beban berat atau berkeringat dan lain sebagainya.[84] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. dalam hadits al-Bukhari, ketika sahabat Harits bin Hisyam bertanya, “Wahai Rasulallah bagaimana kedatangan wahyu kepadamu”? Rasulallah menjawab, “Kadangkala ia datang seperti suara lonceng yang sangat keras namun aku tetap sadar menangkap suara itu. Kadang-kadang lewat malaikat yang tampil berupa seorang laki-laki kemudian ia menyampaikan wahyu kepadaku, akupun menyadari pesan-pesan wahyu tersebut.[85] Data-data riwayat seperti ini tidak disinggung oleh Arkoun, bagi yang menggunakan data-data riwayat (sunnah dan perkataan sahabat) malah dituduh sebagai muslim ortodoks yang telah banyak memanipulasi wahyu.
Mengenai bagaimana al-Qu’ran (al-muha bihi) di-tanzil-kan, az-Zarqani tidak mengartikan secara harfiah bahwa al-Qur’an diturunkan dari langit, yakni laksana turunnya (tanzil) benda dari atas ke bawah. Alasannya, karena al-Qur’an bukanlah berupa benda yang membutuhkan tempat. Az-Zarqani menganggap bahwa kata tanzil dalam Firman Allah[86] dan hadits Nabi[87] dipahami sebagai majas/metafor saja. Baginya tanzil diartikan sebagai i’lam (pemberitahuan).[88]
Sebagaimana ulama klasik lainnya, az-Zarqani menjelaskan tanzil-nya al-Qur’an dengan tiga fase: pertama, al-Qur’an awal mulanya berada di al-lauh al-Mahfuzh.[89] Ditempat ini, al-Qu’ran sudah dalam bentuk yang utuh, yakni sudah terbentuk dalam lafazh-lafazh yang sistematis seperti sekarang ini. Tentang bagaimana dan kapan keberadaannya di sana, semua tidak ada yang mengetahui kecuali Allah swt.[90] Ibnu ‘Asyur dalam kajian tafsirnya menjelaskan, bahwa al-Qu’ran sebelum turun ke bumi sudah tertulis[91] di al-lauh al-Mahfuzh sebagaimana Taurat-nya Nabi Musa a.s. Ia terpelihara dari bentuk tambahan, pengurangan, penyimpangan dan perubahan.[92] Pandangan az-Zarqani ini sangat berbeda dengan Pendapatnya Arkoun. Menurutnya, pada level ini Kalam Allah masih berupa parole dan belum terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh bahasa Arab. Ia masih berbentuk “ide” atau “ilmu” Tuhan.
Az-Zarqani memang membedakan Kalam Allah menjadi dua, yakni Kalam nafsi dan Kalam lafdhi. Yang pertama menunjuk pada ke-qadim-an al-Qur’an yang berwujud ide dan pengetahuan (‘ilm) yang telah ada sejak zaman azali sebelum ter-lafazh-kan dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad.[93] Jadi segala peristiwa yang termaktub dalam al-Qur’an sudah dalam pengetahuan Allah semenjak azali. Sebab sifat mengetahui bagi Allah adalah qadim, dan tidak terbatasi dengan ruang dan waktu.[94] Kajian ini menjadi ciri khas ulama ahli kalam. Yang kedua, Kalam lafdhi, merujuk pada Kalam Allah yang sudah terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh. Untuk yang kedua ini, biasanya menjadi pusat kajian fuqaha. Konsepsinya Arkoun tentang Parole Allah boleh dikatakan hampir sama dengan dengan az-Zarqani. Bedanya, Arkoun menyebutkannya untuk yang di al-lauh al-Mahfuzh. Sedangkan az-Zarqani merujuk pada sifat Kalam Allah sendiri.
Menurut az-Zarqani, meskipun ada perbedaan sudut pandang diantara ulama ahli ilmu kalam dengan Fuqaha mengenai Kalam Allah, namun mereka sepakat bahawa al-Qur’an berupa lafazh (Kalam Allah) yang diturunkan (al-munazzal) kepada Nabi Muhammad saw mulai dari surah al-Fatikhah hingga surah al-Nas yang ditulis dalam mushaf, ditransmit secara mutawatir, dan membacanya termasuk ibadah.[95] Perbedaan mereka hanya seputar konsentrasi kajiannya saja.
Fase kedua, setelah al-Qur’an berada di al-lauh al-Mahfuzh kemudian diturunkan ke langit dunia, bait al-‘izzah[96] pada malam al-qadar.[97] Pada tahap yang kedua ini, al-Qur’an diturunkan secara keseluruhan, baru kemudian turun ke bumi selama 20 tahun atau 23 tahun sesuai dengan perbedaan ulama tentang lama berdiamnya Nabi saw di Makkah setelah diangkat menjadi Rasul.[98]
Pandangan az-Zarqani ini didukung oleh kebanyakan ulama. Ibnu Katsir,[99] al-Qurthubi,[100] as-Syaukani,[101] Fahrudin ar-Razi,[102] dan yang lainnya juga memiliki pendapat yang sama dengan az-Zarqani, bahwa sebelum al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad, ia diturunkan sekaligus ke langit dunia, yaitu bait al’izzah pada malam al–qadar. Sumbernya adalah riwayat dari Ibn Abbas r.a. Seperti biasanya, Arkoun juga tidak tertarik dengan data-data riwayat seperti ini. Apa lagi ini adalah perkataan sahabat Nabi.
Fase ketiga, al-Qur’an diturunkan sedikit demi sedikit (gradual) melalui perantara malaikat Jibril ke dalam hati Muhammad saw, baru kemudian beliau mendakwahkannya sebagai hidayah dan pelita kehidupan bagi manusia di dunia.[103] Hikmah diturunkannya secara gradual adalah untuk menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah saw, tarbiyah bagi umat Islam dari segi keilmuan dan pengamalan, kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa dan pertahapan dalam penerapan hukum, dan menunjukan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah swt[104] yang berupa lafazh-lafazh[105] yang diturunkan (tanzil) kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara Malaikat Jibril.[106]
Mengenai apa yang diturunkan oleh Allah, az-Zarqani menjelaskan bahwa yang dibawa oleh malaikat Jibril adalah al-Qur’an, yang berupa lafazh-lafazh dalam artian hakiki, mulai dari surah al-Fatikhah hingga surah al-Nas. Dan lafalh-lafalh tersebut adalah Kalam Allah swt sendiri yang tidak terkontaminasi oleh perkataan Malaikat Jibril atau Nabi Muhammad saw. Dialah Allah yang menyusun[107] sendiri lafazh-lafazh al-Qur’an.[108] Adapun bagaimana caranya Malaikat Jibril mengambil dari Allah swt, az-Zarqani menjelaskan bahwa Malaikat Jibril mengambil al-Qur’an dari Allah swt. dengan cara sima’an (mendengarkan).[109] Yakni mendengarkan Kalam Allah yang berupa lafazh-lafazh-Nya tadi.[110]
Mengenai bahasa al-Quran, az-Zarqani berpandangan bahwa bahasa yang dipakai oleh al-Qur’an adalah bahasa yang disusun sendiri oleh Allah swt. tanpa ada campur tangan Malaikat Jibril atau Nabi Muhammad saw, lebih-lebih terkonstruk oleh sosial budaya masyarakat Arab. Lebih lanjut az-Zarqani mengatakan bahwa al-Qu’ran adalah sumber tata bahasa Arab.[111] Pemahaman az-Zarqani di atas sangat berbeda dengan Arkoun, dengan teori ilmu linguistik-semiotik modern Arkoun menamakan Kalam Allah sebagai parole, yang ketika di al-lauh al-Mahfuzh belum terkonsepsikan dalam lafazh–lafazh. Agar parole ini mampu dipahami oleh manusia dibumi, maka parole harus menyesuaikan diri dengan bahasa manusia yang disitilahkan dengan langue, dimana parole harus tunduk dengan sistem bahasa, sosial dan budaya manusia. Dari sinilah Arkoun mengatakan bahwa al-Quran telah terkontaminasi oleh sejarah manusia yang profan. Maka dari itu, al-Qur’an yang sekarang ini tidak layak diberi label sakral.
Pandangan az-Zarqani tentunya sangat argumentatif. Hal ini dikuatkan oleh al-Attas. Menurutnya justru Al-Qur’an telah mengislamkan bahasa Arab pra-Islam, yang pada waktu itu masih mencerminkan pandangan dunia jahiliah, dengan cara menyusun dan membentuk kembali struktur konsep, bidang-bidang semantik dan perbendaharaan katanya. Karena bahasa Arab yang dibawa oleh al-Qur’an adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa-kata pada saat itu telah di Islamkan maknanya. Khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang bukan dari pandangan hidup Islam.[112]
Beberapa contoh konkrit yang dipaparkan oleh al-Attas adalah kata penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karam). Dua kata tersebut adalah bagian dari sejumlah elemen penting dalam pandangan dunia kehidupan pr-Islam yang maknanya berhubungan erat dengan kepemilikan banyak anak, kekayaan dan karakter tertentu yang dianggap mencerminkan kejantanan. Al-Qur’an mengubah makna tersebut dengan sangat mendasar, dengan memperkenalkan faktor kunci, ketakwaan (taqwa). Al-Qur’an menyebutkan: “Sesungguhnya yang paling mulia disisi Tuhanmu adalah orang yang paling bertakwa.”[113]
Selain itu, al-Qur’an juga merubah semantik dasar dari kata karim. Kemuliaan disini diasosiasikan dengan al-Qur’an: Kitab Karim atau ucapan kepada orang tua dengan qaul karim. Padahal orang-orang Arab sebelum Islam tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (words or speech), sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan pengarang dan membaca puisi. Contoh lain terjadi juga kepada kata persaudaraan (ikhwah), yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, yang terkait dengan darah, dan tidak merujuk kepada makna lain. Al-Qur’an lagi-lagi mengubah ini dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.[114]
Jika lafazh dan bahasa al-Qur’an terpengaruh oleh sejarah dan sosial budaya Arab, maka bahasa al-Qur’an akan dengan mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam al-Quran dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn Mas’ud tidak tahu makna fathara. Pun, Abu Bakr dan Umar soal makna abb. Selain itu, wujud al-ahruf al-muqata’ah di dalam al-Quran tidak sesuai dengan perkembangan sastra Arab saat itu[115]
Melihat kenyataan tersebut di atas, tesis Arkoun mengenai bahasa Arab al-Qur’an (wahyu langue) terpengaruh atau harus menyesuaikan dengan situasi sosial atau semantik bahasa Arab pra-Islam, adalah tidak tepat. Justru sebaliknya, al-Qur’an telah merubah budaya pagan Arab dan pandangan hidupnya serta semantik bahasa Arab.
Selain itu, Arkoun juga mempermasalahkan urutan surah dan ayat dalam al-Qur’an. Kenyataan yang ada sekarang, baginya sangat menyulitkan untuk menguraikan kembali situasi wacana yang dapat membantu untuk menyusun kembali tindak penuturan lisan al-Qur’an. Namun bagi az-Zarqani, mengutip pendapatnya jumhur ulama, suasana wacana tanzil al-Qur’an (asbab an-nuzul) tidaklah menjadi orientasi penafsiran atau pengambilan hukum. Yang menjadi pegangan adalah lafazh yang umum dan bukan sebab yanng khusus (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafazh la bi khusus as-sabab). Asbab an-nuzul hanya berfungsi sebagai penjelas saja. Jadi mengenai urutan surah atau ayat al-Qu’ran bukan menjadi problem, karena yang berwenang membuat urutan tersebut adalah Allah sang Pemilik al-Qur’an.[116]
Banyak riwayat yang mengetengahkan tentang tartib surah dan ayat al-Qur’an. Diantaranya Ubbay bin Ka’b menjelaskan, “Kadang-kadang permulaan surah itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad, kemudian saya menuliskannya, dan wahyu yang lain turun pada beliau lalu berkata, “Ubbay! Tulislah ini dalam surah yang menyebut ini dan itu.” Dalam kesempatan lain wahyu diturunkan kepada beliau dan saya menunggu perintah yang hendak diberikan sehingga beliau memberi tahu tempat yang sesuai dari suatu ayat.” Mengenai penamaan surah juga sudah ada pada waktu zaman Nabi. Abu Mas’ud al-Badri memberi laporan bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Ayat terakhir dari surah al-Baqarah dapat mencukupi bagi siapa saja yang membaca di waktu malam.”[117]
Melihat kenyataan adanya perbedaan dalam perintah meletakkan ayat-ayat dalam surah tertentu, serta keunikan susunan al-Qur’an yang merupakan wewenang Allah, telah memberi peluang tiap surah berfungsi sebagai satuan bebas, independen unit, di mana tidak tergantung pada kronologi turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Dalam hal ini, upaya Arkoun yang menekankan wacana Qur’ani dari pada teks-teks al-Qur’an (al-‘ibrah bi khusus as-sabab, la bi ‘umum al-lafzh) adalah kurang tepat.
Masih menurut informasi az-Zarqani, ulama telah bersepakat, dimanapun tempat al-Qu’ran dibaca ia tetap Kalam Allah, ketika ia di al-lauh al-Mahfuzh yang selalu dijaga, ketika ia tertulis di atas mushaf atau kulit, terukir di atas batu, dihafal dalam hati, diucapkan oleh lisan, ia tetap Kalam Allah yang masih terjada baik lafazh maupun maknanya. Siapa saja yang mengingkarinya dia telah kafir.[118] Di sini, Arkoun berbeda dengan az-Zarqani. Ia mengatakan bahwa al-Qur’an yang sekarang ini sudah tidak sama lagi ketika masih di al-lauh al-mahfuzh, baik lafazh maupun maknanya.
Pandangan az-Zarqani ini bukannya tanpa alasan. Dengan pemahaman bahwa al-Qur’an adalah petunjuk (hudan) bagi manusia, sudah seharusnya pesan-pesan Allah dapat termuat seluruhnya dalam al-Qur’an atau wahyu yang di-tanzil-kan. Jadi mana mungkin Allah tidak kuasa memasukkan semua pesan-pesan-Nya dalam wahyu yang di-tanzil-kan. Kalau pemikirannya Arkoun diterapkan, berarti Allah belum menurunkan al-Qur’an dengan sempurna. Anggapan ini bertentangan dengan Firman Allah sendiri yang menyatakan bahwa agama Islam/al-Qur’an telah diwahyukan dengan sempurna kepada umat manusia.[119] Dalam hal ini, argumentasi Arkoun tidaklah tepat.
Di sini az-Zarqani tidak mempermasalahkan adanya standarisasi mushaf al-Qur’an. Berbeda dengan Arkoun, ia menganggapnya bahwa dengan adanya standarisasi mushaf berakibat hilangnya makna-makna yang sama persis ketika pada masa kenabian. Pandangan az-Zarqani dikuatkan oleh Isma’il Raji al-Faruqi. Ia menyatakan bahwa makna bentukan al-Quran, yakni makna yang sama persis ketika masa kenabian tidaklah berubah secara konseptual dan semantiknya, meskipun perbendaharaan kata-kata akarnya telah sedikit bertambah untuk mengimbangi perkembangan-perkembangan baru.[120]
Dalam memahami mushaf al-Qur’an, Arkoun memang salah paham, ia menganggap yang namanya al-Qur’an untuk saat ini adalah mushaf yang sudah dibakukan. Anggapan ini tidaklah benar, masalahnya, pada dasarnya al-Qur’an bukanlah tulisan (rasm atau writing) atau mushaf, ia merupakan “bacaan” (qiraat atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan membaca al-Qur’an adalah membaca dari ingatan. Tulisan hanya berfungsi sebagai penunjang semata.[121]
Menurut Abdul Shabur Syahin, penulisan al-Qur’an atau dibakukannya dalam sebuah Mushaf berfungsi untuk memelihara teks secara valid, sehingga setiap generasi dapat mengetahui tentang hakikatnya.[122] Lagi pula, dengan adanya Mushaf standar, hukum bacaan beserta cara membacanya masih tersimpan dengan baik sampai sekarang. Sudah menjadi maklum, kalau ingin memperbaiki bacaan al-Qur’an, tidak mungkin dapat tecapai, kecuali dengan mempelajarinya dari orang-orang yang mempelajari bacaan al-Qur’an dengan metode langsung dan sima’i kepada para ahli baca al-Qur’an, [123] bukan kepada orang Mushafi atau shahafi.[124]
D. Analisis dan Kesimpulan
Konsepsi kedua cendekiawan muslim di atas mengenai Kalam Allah, wahyu, al-Qur’an dan tanzil-nya sangat berbeda sekali. Berbagai pendekatan ilmu modern, yang dipakai Arkoun untuk merekonstruksi konsep tanzil al-Qur’an, telah meletakannya pada status immanen. Dan pada akhirnya, Arkoun menyamakan status al-Qur’an dengan kitab suci agama lainnya, seperti Taurat dan Injil, yang secara historis dan teologis sudah memiliki problem tersendiri. Tujuannya Arkoun dengan dekonstruksi dan rekonstruksi tanzil al-Qur’an adalah agar ia tidak dianggap sakral lagi sehingga dapat dikaji dengan kritis seperti Taurat dan Injil.
Anggapan Arkoun mengenai tanzil dan al-Qur’an, semuanya keliru. Dan sekalil lagi penulis tegaskan, al-Qur’an adalah Kalam Allah yang di-tanzil-kan oleh-Nya kepada Nabi Muhammad, lafazh dan maknanya serta tartib surah maupun ayatnya, melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an yang tertulis atau dihafal semuanya adalah Kalam Allah, dan tidak ada permasalahan mengenai transformasi al-Qur’an dari lisan (orale) ke tulisan, pasalnya tulisan al-Qur’an selalu mengikuti bacaan lisan. Selain itu, tulisan berfungsi sebagai penunjang semata.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Kariim
Adian Husaini dan Henri Salahudin, Studi Komparatif: Konsep al-Qur’an Nasr Hamid dan Mu’tazilah, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 2/JUNI-AGUSTUS 2004
Al-A’zami, M. M., 2005, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis Malik Toha, Jakarta: Gema Insani
Al-Qattan, Manna’ Khalil, 1990, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Riyadh: Mansyurat al’Ashr al-Hadits
al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Juz II
Arif, Syamsudin, Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005
————, 2008, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gemas Insani
Arkoun, Muhammad, 1995, Min Faishal at-Tafriqah lia Fashl al-Maqal: Aina Huwa al-Fikr al-Islamy al-Mu’ashir, alih bahasa: Hasyim Shalih, Beirut: Dar al-Saqi
————, 2005, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, alih bahasa: Ruslani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
————, 1996, Rethinking Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
————, 1998, al-fikr al-Islamy Naqd wa Ijtihad, alih bahasa hasyim Shalih, London: Dar al-Saqi
————, 1998, Kajian Kontemporer Al-Quran, alih bahasa: Hidayatullah, Bandung: Pustaka
————, 2003, al-Fikr al-Usuli wa Istilahat al-Ta’sil Nahwa Tarikhin Akhar lil Fikr al-Islami, alih bahasa Hasyim Shalih, London: Dar al-Saqi
Armas, Adnin Gagasan Fithjof Schuon tentang Titik-temu Agama-agama, dalam dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 3/SEPTEMBER-NOVEMBER 2004
………………, 2005, Metodologi Bible dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, Jakarta: Gema Insani
—————, Kritik terhadap Teori al-Quran Nasr Hamid, dalam http://insistnet.com/index.php?ption=com_content&view=article&id=46:kritik-terhadap-teori-al-quran-nasr-hamid-&catid=8:adnin-armas
ar-Razi, Fahrudin Mafatih al-Ghaib, Juz 17
as-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I
‘Asyur, Ibn, at-Tahrir wa at-Tanwir, jus 16
at-Thabrani, 1983, Mu’jam al-Kabir, Juz 12, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam
Azh-Zhahabi, Muhammad Husain, 2005, Buhuts fi ‘Ulum Tafsir wa al-Fiqh wa ad-Da’wah, Mesir: Dar al-Hadits
az-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Adzim, 1995, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran, juz I, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi
Baedhowi, 2009, Antropologi Al-Qur’an, Yogyakarta: Lkis
Barthes, Roland, 2007, Petualangan Semiologi, alih bahasa: Stephanus Aswar Herwinarko, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bertens, K. 2006, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Bleicher, Josef, 2007, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai metode, Filsafat, dan kritik, alih bahasa: Imam Khoiri, Yogyakarta: Fajar Pustaka
Choir Thohatul dkk, 2009, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Daud, Wan Mohd Nor Wan, 2002, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, alih bahasa: Hamid Fahmy Zarkasy dkk., Jakarta: Mizan
Delfgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, alih bahasa: Soejono Soemargono, cet. Kedua, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya
Ghazali, Abd Moqsith dkk., 2009, Metodologi Studi Al-Qur’an, Jakarta: Gramedia
Harb, Ali, 2003, Kritik Nalar al-Qur’an, alih bahasa: M. Faisol Fatawi, Yogyakarta: LkiS
Hick, John, 2006, Tuhan Punya Banyak Nama, alih bahasa: Amin Ma’ruf dan Taufik Aminuddin, Yogyakarta: Interfidei
Hidayat, Asep Ahmad, 2006, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat bahsa, Makna dan Tanda, Bandung: PT Remaja Rosda Karya
http://ianaja.multiply.com/reviews/item/17, diambil pada tanggal 8 April 2010
http://islamlib.com/id/artikel/cara-membaca-al-quran/Diposting tanggal 09 Juli 2002
Ibn Katsir, 1999, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Juz I, Daar Thayyibah
Muslih, Mohammad, 2008, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar
O’Donnell, Kevin, 2009, Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisisus
Saenong, Ilham B., 2002, Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, Teraju: Jakarta
Salim, Fahmi, 2010, Kritik terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Perspektif
Shalahuddin, Henri, 2007, al-Qur’an Dihujat, Jakarta: al-Qolam
Shahih al-Bukhari
Sholihan, 2009, Mohammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam: mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan, Semarang: Walisongo Press
Shomad, H.M Idris A., Al-Qu’ran Sebagai Wahyu Ilahi, dalam Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, Vol. 1. No. 1. Januari 2005
Solihu, Abdul Kabir Hussain, Hermeniutika Al-Qur’an menurut Arkoun: Sebuah Kritik, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN I No.2/Juni-Agustus 2004
Sumaryono, E., 1993, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius
Sunan Abu Daud
Syahin, Abdul Shabur, 2007, Tarikh al-Quran, Mesir: Nahdlah Mishr
Wijaya, Aksin, 2004, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Taesir Gender, Yogyakarta: Safira Insani Press
Yusuf al-Qaradawi, 1995, Al-Islam Hadharat Al-Gharb, Cairo: Maktabah Wahbah
Zarkasy, Hamid Fahmy, Barat, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN I No.1/MUHARRAM 1425
————, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005
[1] Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo.
[2] Lihat Abdul Shabur Syahin, Tarikh al-Quran, (Mesir: Nahdlah Mishr, 2007), hal. 23.
[3] M. M. al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis Malik Toha, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 74.
[4] Ibid
[5]Secara bahasa adalah menebalkan bacaan, ibarat kekuatan masuk pada bunyi huruf hingga bunyinya memenuhi mulut. Huruf Tafkhim terdiri dari tujuh huruf yang terkandung di dalam bait syair ( خص ضغط قظ)
[6] Secara bahasa adalah menipiskan bacaan. Secara istilah ilmu tajwid adalah gambaran perubahan yang berlaku pada bunyi huruf yang mengakibatkan bunyi tersebut tidak memenuhi mulut.
[7] Imalah menurut bahasa adalah miring, sedangkan menurut istilah adalah membaca harakat fathah dengan menyandarkan kepada harkat kasrah sekitar dua pertiganya. Ini adalah bacaan yang dikhususkan untuk huruf Ra’ saja. Ra’ dibaca dengan tipis kerana baris atas yang cenderung kepada baris bawah. Huruf Alif yang cenderung kepada Ya’ terdapat di dalam satu kalimah saja di dalam al-Quran yaitu kalimah(مجراها ).
[8] Isymam menurut bahasa adalah moyang, sedangkan menurut istilah adalah mengkombinasikan atau mencampur adukan harakat fathah dengan dammah sambil memoyang (mecucu).
[9] Waqaf menurut bahasa adalah berhenti, sedangkan menurut istilah adalah menghentikan bacaan, baik untuk tidak diteruskan atau mengambil nafas untuk melanjutkan bacaan selanjutnya
[10] Imam al-Muqri’ Abi Muhammad Makkiy bin Abi Talib Hamush ibn Mukhtar al-Qaisi al-Qairuwani al-Qurtubi, Kitab al-Tabsirah fi al-Qiraat al-Sab’ lil Imam al-Muqri’ Abi Muhammad Makkiy bin Abi Talib Hamush ibn Mukhtar al-Qaisi al-Qairuwani al-Qurtubi yang dikutip oleh Ali Ahmadi, Al-Qiraat dan Orisinalitas Al-Quran, dalam Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, Vol. 1. Januari 2005, hal. 51-52.
[11] Banyak kalangan Islam yang merujuk pendapatnya menganai wahyu, diantaranya adalah Ulil Absar Abdala, Abd Muqsith Ghazali, dan Lutfi Assyaukani dalam bukunya yang berjudul ‘Metodolgi Studi Al-Quran” yang mana, nalar berpikirnya persis dengan Arkoun ketika mengatakan wahyu pada masa aural atau oral dan ketika wahyu sudah berubah menjadi tertulis. Lihat Abd Muqsith Ghazali, dkk, Metodolgi Studi Al-Quran, (Jakarta: Gramedia, 2009).
[12] Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, alih bahasa: Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 41.
[13] Muhammad Arkoun, Min Faishal at-Tafriqah lia Fashl al-Maqal: Aina Huwa al-Fikr al-Islamy al-Mu’ashir, alih bahasa: Hasyim Shalih, (Beirut: Dar al-Saqi, 1995), hal. 59.
[14] Lihat Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 65.
[15] Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran, juz I, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1995), hal. 20.
[16] Ibid, hal. 43.
[17] Ibid, hal. 12.
[18] Worldview atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup. Setiap kepercayaan, bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang memiliki worldview masing-masing. Maka dari itu jika worldview diasosiasikan kepada suatu kebudayaan maka spektrum maknanya dan juga termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut. Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005, hal 10-20.
[19] Ibid, hal 13.
[20] Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 221.
[21] Lihat Malki Ahmad Nasir, Dekonstruksi Arkoun…, hal. 61. Dalam pluralisme Agama terdapat dua mazhab, yang pertama adalah aliran John Hick dan yang kedua adalah Fithjof Schuon. Yang pertama, mengemukakan bahwa walau Tuhan memiliki banyak nama, namun sejatinya para penganutnya menyembah pada Wujud yang terakhir. Lihat John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, alih bahasa: Amin Ma’ruf dan Taufik Aminuddin, (Yogyakarta: Interfidei, 2006), hal. 74. Sedangkan Fithjof Schuon punya asumsi bahwa sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, masih ada apa yang ia sebut sebagai “a common ground“. Kesamaan asas ini, olehnya disebut dengan Religion Perennis (Agama abadi). Lihat Adnin Armas, Gagasan Fithjof Schuon tentang Titik-temu Agama-agama, dalam dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 3/SEPTEMBER-NOVEMBER 2004, hal. 9.
[22] Thohatul Choir dkk, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 99
[23] Muhammad Arkoun, Rethinking,… hal. 58.
[24] Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur’an, alih bahasa: M. Faisol Fatawi, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hal. 96.
[25] Asal kata dari istilah singkronis dan diakronis dari kata Yunani, yaitu khronos (waktu) dan dua awalan syn dan dia, masing-masing berarti “bersama” dan “melalui”. Maka dari itu sinkroni dapat dijelaskan sebagai “bertepatan menurut waktu”. Diakroni adalah pendekatan historis sedangkan sinkroni menujukan pandangan yang sama sekali lepas dari perspektif historis; sinkroni adalah peninjauan ahistoris. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 204.
[26] Baedhowi, Antropologi,…hal. 174.
[27] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010), hal. 379.
[28] Contoh perdebatannya adalah mengenai kesadaran. Bagi Descartes, kesadaran merupakan hakikat manusia. Temuan ini kemudian dikembangkan oleh Kant dan Hegel yang berpangkal pada kesadaran yang sering disebut sebagai “filsafat reflektif”. Fenomenologi dan eksistensialisme termasuk dalam tradisi filsafat reflektif ini. Pada puncaknya Nietzsche menproklamirkan “kematian Tuhan”. Namun pendirian ini ditolak oleh penganut strukturalisme, menurutnya manusia tidak lagi merupakan titik pusat otonom yangn tidak dapat diasalkan dari suatu yang lain. Subjektifitas merupakan buah hasil suatu proses strukturisasi yang tidak dikuasai oleh manusia. Jadi manusia berdiri pada ketidaksadaran. Momentum ini dimanfaatkan oleh Foucault dengan ramalanya “kematian manusia”. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat…, hal. 244-245.
[29]Fahmi Salim, Kritik terhadap…, hal. 486.
[30] Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Quran, alih bahasa: Hidayatullah, (Bandung: Pustaka, 1998), hal. 26-27.
[31] Dalam bahasa Inggris, sebagaimana yang diterjemahkan oleh Robert D. Lee dalam Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, Arkoun menyatakan: “It is unfortunate that philosophical critique ofsacred texts – which has been applied to the Hebrew Bible and to the New Testament without thereby engendering negative consequences for the notion of revelation – continues to be rejected by Muslim scholarly opinion. The works of the German school continue to be ignored, and erudite Muslims do not dare draw upon such research even though it would strengthen the scientific foundations of the history of the mushaf and of the theology of revelation. “ Lihat Adnin Armas, Metodologi Bible …, hal.
[32] Nama lengkapnya Muhammad Abdul ‘Adzim az Zarqani, ia termasuk dari keluarga Ja’fariyah dari Propinsi Gharbeyya-Mesir. Namanya dinisbahkan ke daerah yang beranama Zarqan di kawasan propinsi Manovia-mesir. Beliau termasuk Ulama Azhar bermadzhab Asya’iroh.Beliau menimba ilmu Ma’had al-Ahmadi pada tahun 1911 M. beliau kuliah di fakultas Ushuludin al-Azhar skaligus menadapat gelar Syeh pada tahun 1925. Ia menjadi guru di Ma’had Zagozig tahun 1926. Kemudian pindah ke Ma’had Thanta dan terpilih menjadi Imam, kemudian pindah ke Ma’had Kairo dan mengajar di kuliah Ushuludin tahun 1939. Buku beliau yang lain adalah ‘Al Manhal Al Hadits Fi ‘Ulumil Hadis. Beliau wafat tahun 1367 H.
[33] Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, juz II, hal. 12-13
[34] Maryam Jameela (Lahir di New York, Amerika Serikat, 3 Mei 1934) adalah seorang muallaf. Sebelum masuk Islam, ia bernama Margaret Marcus. Dia seorang pemikir dari keluarga Yahudi yang dibesarkan dalam masyarakat multinasional. Ia adalah seorang intelektual dan penulis di bidang agama, filsafat, sejarah dan peradaban. Ia meyakini teks-teks al-Qur’an dengan keimanan yang tinggi. Lihat http://ianaja.multiply.com/reviews/item/17, diambil pada tanggal 8 April 2010.
[35] Lihat Hamid Fahmy Zarkasy, Barat, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN I No.1/MUHARRAM 1425, hal. 119.
[36] Yusuf al-Qaradawi, Al-Islam Hadharat Al-Gharb, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1416 H/1995 M), hal. 13-14.
[37] Hamid Fahmy Zarkasy, Barat, hal. 119.
[38] Fahmi Salim, Kritik terhadap…, hal. 260.
[39] Ibid
[40] Ibid, hal. 490.
[41] Ibid, hal. 486.
[42] Ibid, hal. 487.
[43] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik…,hal. 292.
[44] Ibid, hal. 199.
[45] H.M Idris A. Shomad, Al-Quran Sebagai Wahyu Ilahi, dalam Al–Insan, Jurnal Kajian Islam, Vol. 1. No. 1. Januari 2005, hal. 86.
[46] Ortodoksi didefinisikan oleh Arkoun sebagai sistem kepercayaan dan representasi-representasi mitologis yang melaluinya, dan dengannya, sebuah kelompok masyarakat yang telah ada menerima dan menghasilkan sejarahnya sendiri. Dengan kata lain, ia adalah sebuah sistem nilai yang fungsi utamanya adalah untuk menjamin perlindungan dan keamanan kelompok tersebut. Lihat Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer…, hal. 102.
[47] Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya atau menurut ungkapan Husserl: zuruck zu den sachen selbt (kembalilah kepada realitas itu sendiri. Seorang fenomenolog harus menanggalkan segenap teori, praanggapan serta presangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya. Fenomenologi Husserl bertujuan untuk mencari yang essensial atau eidos (essensi) dari apa yang disebut fenomena. Metodenya adalah dengan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan perasangka (presuppositionlessness) Lihat Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008), hal. 146. Lihat juga Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, alih bahasa: Soejono Soemargono, cet. Kedua, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001), hal. 105.
[48] Dekonstruksi adalah ide dari filsuf asal Perancis, Derrida, ia menekankan bahwa dekonstruksi tidak sama dengan destruksi (pemusnahan), karena ia tidak memusnahkan atau menghapuskan sesuatu wacana. Dekonstruksi adalah menggoyang, menjungkirbalikkan, mencemaskan, tetapi ia hanya mengobrak-abrik dengan tujuan memberi peluang membangun hal-hal baru dan menemukan makna baru. Ia membuka pemikiran yang tertutup. Lihat Kevin O’Donnell, Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisisus, 2009), hal. 58. Tesisnya Derrida oleh Arkoun lebih diperjelas dengan menyatakan bahwa dekonstruksi (pembongkaran) harus disertai rekonstruksi (pembangunan kembali) suatu wacana atau kesadaran yang meninggalkan keterbatasan, pembekuan dan penyelewengan wacana sebelumnya. Lihat juga Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat bahsa, Makna dan Tanda, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006), hal. 231.
[49] Pengertian wahyu dalam Perjanjian Lama diartikan sebagai “Firman Tuhan” dalam pengertian yang benar-benar harfiah. Sehingga dalam tradisi mereka sering dikatakan, “Thus say the Lord…” demikian Tuhan berfirman. Dalam Bible (terutama di kalangan kaum fundamentalis Kristen) juga demikian. Meskipun dalam perkembangan belakangan, wahyu dalam pengertian Kristen dimaknai bukan melulu secara verbal-redaksional dalam bentuk firman tertulis, tetapi pribadi Yesus juga dianggap sebagai wahyu yang “mendaging”. Dalam perkembangan yang lebih belakangan, Wahyu dilingkungan Kristeb dimengerti sebagai “tindakan” atau “karya” Tuhan secara keseluruhan. Dalam agama-agama non-Semit, seperti agama-agama Timur, wahyu cenderung dimengerti sebagai rekamang sabda yang diucapkan oleh orang-orang bijak atau guru-guru suci dalam sejarah agama yang bersangkutan. Lihat Moqshit GHazali, Metodologi…, hal. 56-58.
[50] Muhammad Arkoun, al-fikr al-Islamy Naqd wa Ijtihad, alih bahasa hasyim Shalih, (London: Dar al-Saqi, 1998), hal 89.
[51] Istilah parole ini diadopsi dari pemikirannya Saussure. Menurut Saussure fenomena bahasa secara umum ditunjukkan dengan istilah langage. Dalam langage terdapat dikotomi antara parole dan langue. Parole adalah tindakan individu kegiatan seleksi dan aktualisasi,[51] ia adalah bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Pertama-tama parole terdiri atas kombinasi-kombinasi yang digunakan si subjek agar bisa menggunakan kode langue untuk mengungkapkan pemikiran pribadinya, dan selanjutnya parole terdiri atas mekanisme psiko-fisik yang memungkinkan si subjek tadi meng-eksterior-kan kombinasi-kombinasi tadi. Satu hal yang menjadi karakteristik dari parole adalah adanya keunikan bahasa dari tiap pribadi. Sedangkan Langue adalah suatu institusi sosial dan sistem valuer-valuer (nilai). Sebagai institusi sosial, Langue sama sekali bukan suatu tindakan. Secara esensial, Langue adalah suatu kontrak kolektif, siapapun yang ingin menggunakannya untuk berkomunikasi maka harus tunduk sepenuhnya pada aturan-aturannya.[51] Ia adalah sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut, seolah-olah kode-kode tersebut telah disepakati bersama di masa lalu di antara pemakai bahasa tersebut. Lihat Roland Barthes, Petualangan Semiologi, alih bahasa: Stephanus Aswar Herwinarko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 17.
[52] Konsepsi ini sama dengan pemikirannya Nasr Hamid, menurutnya teks yang mutlak dan suci (al-Qur’an), hanyalah yang berada di al-lauh al-mahfudz. Teks suci tersebut ridak pernah diketahui oleh seorang muslim pun. Lihat Henri Shalahuddin, al-Qur’an Dihujat, (Jakarta: al-Qolam, 2007), hal. 27.
[53] Dasar istilahnya adalah Firman Allah yang artinya: “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam al-Lauh al-Mahfuzh.” (al-Buruj [85]: 21-22)
[54] Dasar istilahnya adalah Firman Allah yang artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (Ar-Rad [13]: 39).
[55] Abdul Kabir Hussain Solihu, Hermeniutika Al-Qur’an menurut Arkoun: Sebuah Kritik, dalam ISLAMIA: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Thn I No 2, Juni-Agustus 2004, hal. 22.
[56] Sholihan, Mohammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam: mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan, (Semarang: Walisongo Press, 2009), hal. 72.
[57] Wacana Qur’an adalah sebuah hubungan komunikasi yang terkait dengan situasi wacana. Situasi wacana bukan suasana lingkungan pewahyuan (asbab al-nuzul). Ia adalah pengujaran yang mengandaikan adanya seorang pembicara dan pendengar dengan niat dari yang pertama untuk menyampaikan kepada yang kedua suatu pesan, dan kemungkinan bagi yang kedua untuk bereaksi secara langsung. Hubungan komunikasi antara Tuhan dan Nabi selalu terkait dengan situasi wacana atau lingkungan semiologis ketika pelepasan dan penangkapan pesan berlangsung, yang terjadi sekali untuk selamanya dan tidak bisa diulang lagi. Lihat Thohatul Choir dkk, Islam dalam…, hal. 105. dan lihat juga Cecep Ramli Bihar Anwar, Mohammed Arkoun, Cara membaca al-Qur’an, dalam situs http://islamlib.com/id/artikel/cara-membaca-al-quran/Diposting tanggal 09 Juli 2002.
[58] Dalam hal ini, pemikiran Arkoun mirip dengan kajiannya Nasr Hamid Abu Zayd. Nashr Hamid memanfaatkan pembedaan dari Ferdinand de Saussure, antara “langue” (lughah) dan “parole” (kalâm), Nashr Hamid mengatakan bahwa teks al-Qur’an merupakan parole dan bahasa arab adalah langue.[58] Dengan kata lain Kalam Tuhan tunduk kepada bahasa manusia.
[59] Abd Moqsith Ghazali dkk., Metodologi…, hal. 40-41.
[60] Baedhowi, Antropologi…, hal. 169.
[61] Muhammad Arkoun, Min Faishal…, hal. 59.
[62] Fahmi Salim, Kritik terhadap…, hal. 161-162.
[63] Statemen Arkoun yang menyatakan bahwa teks al-Qur’an sudah mensejarah mirip dengan gagasan Wilhem Dilthey. Dilthey menggambarkan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya. Lihat Ilham B. Saenong, Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, (Teraju: Jakarta, 2002), hal. 36.
[64] Dalam kajian semiotika, istilah korpus dimaksudkan untuk suatu koleksi terbatas material-material yang ditentukan sebelumnya oleh si analis, menurut suatu arbitrer tertentu (yang tidak terhindarkan) dan atas korpus itulah si analis akan bekerja. Lihat Roland Barthes, Petualangan Semiologi…, hal. 87.
[65] Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer…, hal. 13
[66] Muhammad Arkoun, Rethinking…, hal. 50.
[67] Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer…, hal. 16.
[68] Ibid, hal. 17.
[69] Ibid, hal. 17-18
[70] Muhammad Arkoun, Min Faishal…,hal. 59.
[71] Abdul Kabir Hussain Solihu, Hermeniutika Al-Qur’an…, hal 23.
[72] Gagasan Arkoun mengenai kaitannya produksi teks dengan konteks ideologi sama dengan gagasan Nasr Hamid Abu Zayd. Al-Qur’an dalam tataran immanen tidak lepas dari proses budaya dan dipahami dalam konteks budaya tertentu. Zayd juga melihat proses ideologi (talwiin) dibalik pembakuan ushlf fiqh yang disusun oleh as-Syafi’i, dengan sentralitas bahasa Arab Qurays sebagai standar pemahamannya. Zayd menyebut proses tersebut sebagai “pemihakkan ideologis”. Lihat Thohatul Choir dkk, Islam dalam…, hal. 106.
[73] Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Taesir Gender, (Yogyakarta: Safira Insani Press, 2004), hal. 90-91.
[74] Ibid, hal. 107-108.
[75] Baedhowi, Antropologi…, hal. 201.
[76] Dasarnya adalah Firman Allah yang artinya: “Kami menurunkan adh-Dhikra (al-Quran) dan Kami yang memeliharanya.” (Al-Hijr [15]: 9)
[77] Dasarnya adalah Firman Allah yang artinya: “Dia (Nabi) tidak berkata dari hawa nafsunya, tidak lain ia adalah wahyu yang diwahyukan (Allah) kepadanya.” (al-Najm [53]: 3-4)
[78] H.M Idris A. Shomad, Al-Quran Sebagai …, hal. 87.
[79] Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hal. 55.
[80] Ibid,
[81] Sebagaimana yang dialami oleh nabi Musa as. Proses pewahyuannya berupa pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara langsung tanpa perantara. Dasarnya Firman Allah yang artinya: “….dan (ketahuilah) Allah telah berbicara langsung dengan Musa.” (Al-Nisa’ [4]: 164 ).
[82] Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer…, hal. 41.
[83] Redaksi haditsnya lihat Shahih al-Bukhari, Lihat, Shahih al-Bukhari, Bad’ul Wahyi, hadits nomor 2. Hadits diriwayatkan oleh al-Harits bin Hisyam.
[84] Siti ‘Aisyah, Ummul Mu’minin ra. mengatakan: “Pada suatu hari yang amat dingin kulihat beliau sedang menerima wahyu. Kulihat dahi beliau bercucuran keringat.” Lihat, Shahih al-Bukhari, Bad’ul Wahyi, hadits nomor 2. Hadits diriwayatkan oleh al-Harits bin Hisyam.
[85] Redaksi haditsnya lihat Shahih al-Bukhari, Lihat, Shahih al-Bukhari, Bad’ul Wahyi, hadits nomor 2. Hadits diriwayatkan oleh al-Harits bin Hisyam.
[86]Diantaranya adalah Firman Allah: وَبِالْحَقِّ أَنْزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ yang artinya: “Dan Kami turunkan (Al Qur’an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran”. (al-Isra’ [17]: 105)
[87] Diantaranya adalah hadits : إن هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف yang artinya: “sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf” (HR. Al-Bukhari) no. 4706.
[88]Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hal. 38.
[89] Dalam ‘ilmu qira’at, bacaan lafadh al-Mahfuzh diriwayatkan dengan dua versi bacaan yang berbeda. Pertama kata Mahfuzh dibaca dengan katsratain Mahfuzhin sebagai kata sifat dari kata lauhin yaitu penulisan al-Qur’an pertama kali. Maksudnya ialah bahwa apa yang terkandung dan tertulis di dalam lauh sungguh-sungguh terpelihara. Bacaan kedua adlah kata Mahfuzh dibaca marfu’ (dammatain) yakni Mahfuzhun berarti posisinya sebagai kata sifat dari kata Qur’anun, sehingga berarti bahwa al-Qur’an terpelihara di lauh. Lihat jalaludin as-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jus 1, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 1988), hal. 116 yang dikutip oleh H.M Idris A. Shomad, Al-Quran Sebagai …, hal. 84-85.
[90] Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hal. 39.
[91] Dasarnya adalah Firman Allah yang artinya: “ Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu…”. (al-‘Araf [7]: 145)
[92] Lihat Ibn ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, jus 16, hal. 202.
[93] Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hal. 18.
[94] Adian Husaini dan Henri Salahudin, Studi Komparatif: Konsep al-Qur’an Nasr Hamid dan Mu’tazilah, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 2/JUNI-AGUSTUS 2004, hal. 41.
[95] Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hal. 21.
[96] Penamaan bait al-‘izzah berdasarkan keterangan Ibn Abbas r.a. beliau berkata: “Allah menurunkan al-Qur’an sekaligus (dari al-lauh al-makhfud), dan meletakkannya di bait al-‘izzah di langit dunia baru kemudian diturunkan oleh Mmalaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk menjawab perkataan manusia dan segala amalnya” lihat at-Thabrani, Mu’jam al-Kabir, Juz 12, (Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1983), hal 32. dalam riwayat yang lain Ibn Abbas berkata; “Al-Qur’an dipisahkan dari ad-Dzikr (al-lauh al-makhfud) kemudian diletakkanya di bait al’izzah di langit dunia baru kemudian Malaikat Jibril as menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.” Lihat Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hal. 40. Menurut Imam Suyuti, hadits ini dianggap shahih, karena diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas yang dinilai marfu’ kepada Nabi Muhammad saw. Dan diperbolehkan berhujjah dengan hadits ini. Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hal. 40.
[97] Dasarnya adalah Firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam lailatul qadar.” (al-Qadr [97]: 1)
[98] Ibid, hal. 40.
[99] Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Juz I, (Daar Thayyibah, 1999), hal 105.
[100] Lihat al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Juz II, (tp, tt), hal. 297.
[101] Lihat as-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I, (tp, tt), hal. 240.
[102] Lihat Fahrudin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 17, (tp, tt), hal. 125.
[103] Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hal. 42.
[104] Ibid, hal. 48-52.
[105] Azh-Zhahabi menambahkan sekaligus dengan maknanya. Tanzil al-Qur’an dengan lafadh dan maknanya adalah definisi yang digunakan oleh jumhur ulama ahli syariah. Lihat Muhammad Husain Azh-Zhahabi, Buhuts fi ‘Ulum Tafsir wa al-Fiqh wa ad-Da’wah, (Mesir: Dar al-Hadits, 2005), hal. 267.
[106] Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hal. 20.
[107] Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad memberi interuksi kepada para penulis tentang letak ayat pada setiap surah. Usman menjelaskan baik wahyu itu mencakup ayat panjang maupun satu ayat terpisah, Nabi Muhammad selalu memanggil penulisanya dan berkata, “Letakkan ayat-ayat tersebut ke dalam surah seperti yang beliau sebut.” Zaid bin Tsabit menegaskan, “Kami akan kumpulkan al-Qur’an di depan Nabi Muhammad.” Menurut Usman bin Abi al-‘As, Malaikat Jibril menemui Nabi Muhammad memberi perintah akan penempatan ayat tertentu. Lihat M. M. al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis Malik Toha, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 75.
[108]Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hal. 43-44.
[109] Ibid., hal. 43. Dasarnya adalah Firman Allah, yang artinya: “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: “Datangkanlah Al Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”. Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat).” (Yunus [10]: 15)
[110] Ada yang mengatakan bahwa Jibril menghafalnya dari al-lauh al-Mahfuzh. Selain itu ada yang mengatakan bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafadh-nya adalah redaksi dari Malaikat Jibril, atau dari lafadh-nya Nabi Muhammad saw. Menurut Manna’ Khalil al-Qattan, pendapat pertama tidak bisa dijadikan pegangan, sebab adanya al-Qur’an di al-lauh al-Mahfuzh itu seperti hal-hal ghaib lainnya. Dan pendapat ketiga lebih sesuai untuk Hadits, sebab Hadits itu wahyu dari Allah kepada Malaikat Jibril, kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad saw secara maknawi saja. Kemudian hal itu diungkapkan dengan ungkapan beliau sendiri. Dan oleh sebab itulah diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut maknanya, sedang al-Qur’an tidak. Lihat Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits…, hal. 35-36.
[111] Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hal.12.
[112] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan…, hal. 341.
[113] Ayat al-Qur’annya adalah surat al-Hujuraat ayat 13 yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
[114] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan…, hal. 342.
[115] Lihat Adnin Armas, Kritik terhadap Teori al-Quran Nasr Hamid, dalam http://insistnet.com/index.php?ption=com_content&view=article&id=46:kritik-terhadap-teori-al-quran-nasr-hamid-&catid=8:adnin-armas diambil tanggal 6 Juni 2010.
[116] Lihat selengkapnya M. M. al-A’zami, Sejarah Teks…, hal. 74.
[117] Ibid, hal. 76
[118] Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hal. 19.
[119] Lihat al-Maidah ayat 3 yang artinya: “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu…”
[120] Isma’il Raji al-Earuqi, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), hal. 29.
[121] Syamsudin Arif, Orientalis…, hal. 10.
[122] Abdul Shabur Syahin, Saat al-Qur’an Butuh Pembelaan, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 110.
[123] Ibid, hal. 25.
[124] Para ahli baca al-Qur’an tempo dulu mengatakan, “Janganlah kalian mempelajari dari orang mushafi. Dan jangan pula kalian mengambil ilmu dari seorang shahafi.” Yang dimaksud dengan mushafi adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan ia bersandar pada bacaan yang terdapat dalam mushaf, tanpa ada seorang ahli bacaan yang memperbaiki dan meluruskan bacaannya. Sedang yang dimaksud dengan shahafi adalah orang yang mengambil ilmu dari mushaf-mushaf, bukan dari ulama. Lihat Ibid, hal. 25-26.