Ustadz Ihya’ menambahkan, bahwa banyak hal yang harus mendapat perhatian saat Ramadhan berakhir dan Idul Fitri datang. Saat perayaan Idul Fitri dan sesudahnya, para sahabat mengucapkan “taqabbalallohu minna wa minkum” selama 6 bulan. Hal ini dilakukan karena mereka khawatir amal mereka selama Ramadhan tidak diterima, meski amalan puasa pasti diterima oleh Allah SWT karena sudah menjadi ketetapan Allah SWT yang pasti bahwa puasa adalah amal yang berstandar ikhlas. Namun Rasulullah SAW mengajarkan agar membangun sikap khouf dan roja’ , sekaligus berharap agar diterima. Sikap khouf dan roja’ adalah sikap yang selayaknya dibangun.
Sementara saat merayakan Idul Fitri, berbagai macam luapan kegembiraan ditampakkan. Hati-hati, kegembiraan selalu diiringi dengan penyakit hati berupa kesombongan. Muncul pula Riya’, ujung-ujungnya “cek dijunjung menungso” (ujung-ujungnya supaya dipuji manusia, red), kemudian muncul pula penyakit ujub, dengan ciri-ciri takhqirul khoir fi qolbi (meremehkan orang lain). “Ojo duwe penyakit rumongso”, tegas ustadz Ihya’. Penyakit ujub ini bukan hanya orang lain yang tidak tahu, tapi dirinya sendiri juga tidak tahu. Contohnya ketika Qorun berkata bahwa seluruh kekayaan yang dia peroleh adalah karena kemampuannya, sedangkan Nabi Sulaiman berkata bahwa “hadza min fadhli Robbi” (ini semua karena karunia Tuhanku, red).
Pada kesempatan tersebut hadir pula KH. Ahmad Fauzi dari MUI Surabaya yang didapuk memberikan tausiyah. “Saya sering geregetan terhadap Fatayat. Masa’ kitab HAM dianggap lebih tinggi dari kitab al-Qur’an? Fatayat nganggo kitab HAM iku ndek endi mondok’e? Kitab HAM lahir untuk lindungi manusia, tapi tidak boleh untuk lindungi maksiyat!”, kata ustadz Fauzi geram.
Di tempat terpisah, ustadz Hari Susanto, Lc., MA memberikan tausiyah pada halal bi halal keluarga Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) Sidoarjo pada Minggu, 25 September 2011 di Masjid Sholahuddin Perumahan Puri Suryajaya, Gedangan Sidoarjo.
Ustadz Hari menekankan bahwa Alloh SWT ketika bicara tentang orang-orang yang bertakwa, Alloh menyebutkan bahwa mereka suka memaafkan kesalahan orang baik diminta maupun tidak. “Cukuplah kita pahami bahwa kehadiran kita di sini ada itikad baik untuk melebur dosa”, tukas ustadz yang putri pertamanya yang baru berusia tujuh tahun namun hapal al-Qur’an ini. Kalau dosa kepada Alloh SWT bisa selesai dengan taubatan nasuha. Tapi dosa sesama manusia, harus dapat maaf dari orang yang bersangkutan. Kehormatan tidak bisa dibeli dengan harta.
“Ketakwaan yang sebenar-benarnya, taatlah kepada Alloh sesuai dengan maqomnya Alloh SWT. Jadi ketakwaan yang sempurna. Namun itu mustahil, tidak mungkin manusia bisa seperti itu, sehingga Alloh SWT menyediakan pengampunan karna kelemahan manusia tersebut”, tambah ustadz Hari. Implikasi dari sebuah ketakwaan itu adalah i’tishom kita dengan Alloh SWT. Sumber kejayaan umat adalah dekat kepada Alloh SWT kemudian bersatu.
Ustadz Hari menandaskan bahwa salah satu akhlak adalah bagaimana kita menjaga persatuan kita. Pada masa sekarang ini jumlah jama’ah bertambah banyak saja, sayangnya arah menuju persatuan malah semakin jauh. (Kartika Pemilia)