Di Jombang dan daerah-daerah lainnya di Jawa Timur, menyalakan petasan sudah menjadi tradisi menjelang Idul Fitri dan H+7 Idul Fitri. Tradisi ini bukannya tidak memakan korban. Tiap kali pesta petasan digelar, pasti ada saja korban yang jatuh. Setidaknya seorang warga Karangrejo kakinya hancur akibat terkena ledakan petasan.
Puncak pesta petasan adalah pada H+7 Idul Fitri, yakni saat lebatan ketupat diselenggarakan. Saat itu, orang dari berbagai wilayah Jombang, dan dari daerah-daerah lain seperti Kediri, Tulungagung, Jember, Banyuwangi dan Surabaya beramai-ramai datang untuk menyaksikan perang petasan yang akbar.
Tradisi ini bisa dikatakan sudah merebak sejak tahun 1940-an, ketika ada seorang tentara angkatan 45 yang memiliki keahlian meracik petasan kemudian mengajarkan skill-nya tersebut kepada warga desa yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Bermula dari sebuah keisengan untuk meramaikan datangnya Idul Fitri, masyarakat Jombang alumni “perguruan petasan” tersebut kemudian mengadakan pesta petasan di malam takbiran dan H+7 Idul Fitri.
“Tradisi ini bisa dibilang membahayakan sehingga tidak selayaknya diteruskan. Bertakbir (keliling) dan qiyamul lail saya rasa jauh lebih positif karena mendekatkan diri kepada Alloh dan pahalanya besar,” tutur Nurkholis Abdul Munib, salah seorang warga Jombang. (Kartika Pemilia)