Oleh: Khoirun Nisa*
Inpasonline.com-S.M.N Al-Attas dalam bukunya Islam and Secularism menjelaskan bahwa sekularisme berasal dari Bahasa Latin Saeculum yang berarti disini dan saat ini[1]. Sebuah kata yang dimaknai sebagai pemisahan kehidupan saat ini (dunia) dengan kehidupan akhirat. Manusia bebas melakukan apa saja di dunia karena tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di akhirat. Paham yang mulanya berkembang di Barat ini memiliki dampak yang serius terhadap ekonomi, politik, sosial, dan disiplin ilmu yang lain.
Dalam bidang ekonomi, sekularisme akan berdampak kepada tindakan manusia yang memiliki prinsip Utilitarianisme. Manusia membedakan “benar” dan “salah”, “baik” dan “buruk” hanya dari kacamata kesenangan belaka. Apa-apa yang membuat diri merasakan kesenangan adalah hal yang baik, sedangkan yang membawa rasa sakit adalah suatu kejahatan. Sehingga tujuan manusia hidup di dunia hanya untuk bersenang-senang dan memperoleh kepuasan[2]. Selain itu, dalam melakukan kegiatan ekonomi manusia hanya didorong oleh Self-interest, memenuhi kepentingan diri sendiri. Manusia dididik menjadi egois dan tidak peduli dengan kesusahan orang lain.
Utilitarisme dan Self-interest pada akhirnya hanyalah menciptakan manusia-manusia yang sangat giat bekerja, ambisius dalam mengakumulasi modal sebanyak-banyaknya dengan cenderung menghalalkan segala cara, tetapi melupakan sesama. Ekonomi hanya membahas tentang fungsi produksi dan konsumsi, tetapi abai terhadap distribusi.
Sebuah kewajaran jika pendapatan yang diperoleh setiap orang berbeda berdasar pada kesempatan dan kapasitas yang dimiliki masing-masing orang. Dalam tradisi kapitalis, seorang yang memiliki pendapatan tinggi tidak memiliki kewajiban untuk mendistribusikan sebagian kecil hartanya kepada mereka yang memiliki pendapatan sangat rendah. Setiap orang akan memperoleh apa yang diusahakan dan tidak perlu merasa khawatir apakah tetangganya bisa makan atau tidak. Kapitalisme malah memotivasi seseorang untuk mengakumulasi modal sebanyak-banyaknya dengan menggunakan segala cara, mengorbankan orang lain, biarkan orang lain menderita asalkan diri sendiri mendapat laba berlimpah.
Sistem ekonomi kapitalisme yang bernafaskan sekularisme memang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan bagi sebagian kecil masyarakat, tapi tidak pernah bisa menciptakan pembangunan yang adil dan merata bagi semua masyarakat. Kesenjangan semakin lebar karena kue ekonomi hanya berputar di kelompok-kelompok elite dalam masyarakat dan dinikmati oleh mereka. Sementara sebagian besar orang miskin harus berjuang keras untuk bisa bertahan hidup.
Tidak diperhatikannya distribusi pendapatan dalam ekonomi kapitalis telah didengungkan sejak lama. Di tahun 1955, seorang tokoh ekonomi kapitalis Sir Arthur Lewis telah menulis bahwa “Pertama-tama harus diketahui bahwa persolan pokok adalah pertumbuhan dan bukan distribusi”. Sedangkan Bauer dan Yamey berpendapat serupa yaitu, “Redistribusi pendapatan dengan memihak kepada yang miskin tidak mungkin untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam arti kata penambahan pendapatan per kapita.”
Pandangan hidup kapitalis yang mengabaikan pemerataan juga didukung oleh Dr. Mahboobul Haq yang menjabat sebagai menteri keuangan dan perencanaan Pakistan dalam tulisannya, “Negara-negara yang terbelakang harus secara sadar menerima suatu falsafah pertumbuhan dan membuang jauh-jauh semua gagasan tentang distribusi pendapatan dan negara kesejahteraan. Harus diakui bahwa semua ini adalah barang mewah yang hanya dapat dinikmati oleh negara-negara maju.”[3]
Padahal keadilan dan pemerataan pendapatan sudah seharusnya menjadi kewajiban bagi semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Pertumbuhan yang mengabaikan pemerataan adalah pertumbuhan yang dzalim. Gagasan yang membolehkan adanya ketidakadilan dalam negara berkembang tidak bisa dibenarkan. Justru masyarakat dalam negara berkembang sebagian besar terdiri dari masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga harus dibantu untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka.
Pembangunan yang Adil Menurut Islam
Tujuan ekonomi Islam adalah mencapai falah. Kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Masing-masing pelaku ekonomi harus mengusahakan yang terbaik supaya kehidupan di dunia terjamin. Tapi yang paling penting adalah segala tindakan ekonomi di dunia harus berorientasi akhirat. Sehingga setiap kegiatan ekonomi adalah potensi untuk mengumpulkan pundi-pundi pahala.
Ketidakadilan merupakan hal yang dibenci dalam Islam. Dalam melakukan kegiatan ekonomi, distribusi yang adil dan merata adalah ruh (jiwa) ekonomi Islam. Salah satu ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang pentingnya distribusi kekayaan adalah Surat Al-Hasyr ayat 7, “…….. agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu” (Q.S. Al Hasyr:7)
Islam tidak melarang manusia untuk menjadi kaya. Tetapi Islam melarang orang kaya yang tidak mau membantu kesulitan saudaranya. Dalam Islam terdapat beberapa saluran distribusi pendapatan diantaranya adalah Ziswaf (Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf). Ziswaf terutama zakat merupakan saluran distribusi pendapatan yang paling efisien yang sudah diterapkan dari masa Rasulullah SAW. Zakat merupakan sebuah instrumen yang berdimensi dunia dan akhirat. Zakat berdimensi akhirat karena merupakan perintah Allah dan salah satu rukun iman yang harus dijalankan oleh orang yang sudah memenuhi syarat. Selain itu dimensi dunia dari zakat juga tidak kalah pentingnya. Dengan adanya zakat, maka proses distribusi pendapatan dari orang yang kelebihan dana (muzakki) kepada orang yang kekurangan dana (mustahik) akan berjalan dengan baik.[4] Begitu pentingnya zakat sebagai instrumen distribusi dalam Islam sehingga Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq pernah memerangi orang-orang Islam yang enggan membayar zakat.
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah, ketika kapitalisme yang membawa semangat sekularisme telah gagal menciptakan pembangunan ekonomi yang adil, sedangkan Islam telah memberikan solusi yang sempurna untuk distribusi pendapatan, tapi mengapa negara-negara dengan penduduk Muslim terbesar malah terdapat disparitas pendapatan yang sangat besar? Apakah karena negara-negara Muslim masih menerapkan sistem kapitalisme dalam menjalankan roda perekonomian? Wallahu a’lam bish shawwab.
*) Penulis adalah Mahasiswa Magister Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga
[1] Al-Attas, S. M. N (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: Art Printing Works Sdn. Bhd.
[2] Chapra, M. Umer. (2000). Islam dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani Press.
[3] Ibid, M Umer Chapra hal.37
[4] Azizy, S. Hibatal. (2015). Mendudukkkan Kembali Makna Kesejahteraan dalam Islam. Ponorogo: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS). P.29