Manajemen Kekayaan Islam: Sebuah Kajian Analisis Dari Pemikiran Ekonomi Islam Ibn Sina

Menurut Essid (E, 1995), manajemen rumah tangganya terdiri dari pengantar tentang perlunya administrasi dan pengelolaan aspek kehidupan manusia. Konsep ini haruslah menjadi panduan bagi laki-laki seperti membahas mengapa pria membutuhkan hunian dan mengapa mereka harus berkumpul dalam keluarga. Selain itu, konsep manajemen hartanya yang bersusaian dengan perspektif Islam memberikan kita bagaimana kekayaan harus dikeluarkan secara efisien yang khususnya ditujukan kepada keluarga sebagai unit terkecil dari ekonomi rumah tangga. Kekayaan manusia haruslah diperoleh dan dialokasikan dengan cara yang tepat sesuai dengan Syariat dalam rangka memberikan dampak positif terhadap ekonomi ummat pada umumnya.

Tulisan ini mencoba mempelajari sisi lain dari pemikiran ekonomi Islam dari teori ekonomi Islam Ibnu Sinā. Kajian ini akan membatasi pada konsep manajemen harta Ibn Sinā yang sangat penting jika di implementasikan dalam unit rumah tangga pada khususnya dan unit-unit lain dari ekonomi pada umumnya. Oleh karena itu, bagaimana konsep ini dapat diimplementasikan dalam zaman modern ini, sedangkan konsep ini telah lama diperkenalkan pada abad yang kesepuluh.

 

KONSEP MANAJEMEN HARTA IBN SINĀ

Ibnu Sinā menegaskan bahwa manajemen harta atau kekayaan yang dapat dilakukan oleh manusia ke dalam dua kategori: (1) mencari atau mendapatkan kekayaan (kasb) yang dikenal dengan istilah ekonomi yaitu pendapatan dan (2) menggunakan atau membelanjakan kekayaan yang diperoleh (infaq) atau yang dikenal dengan istilah ekonomi sebagai pengeluaran.[1] Kedua nya harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan aturan-aturan syari’ah. Seperti disebutkan dalam buku politik Ibnu Sina bahwa hidup manusia harus diperoleh dengan cara yang benar dan baik, dan jauh dari sifat tamak dan pelit dan dari keinginan yang tamak dan rakus. Oleh karena itu, kekayaan atau pendapatan yang diterima harus mengikuti syariat yang dinyatakan dalam Qur’an dan hadits.

Dari sisi infaq (pengeluaran), Ibnu Sinā menjelaskan jenis-jenis infaq dengan pernyataan sebagai berikut: Jika manusia memperoleh kekayaan hanya dengan cara yang baik, maka ia harus membelanjakan atau mengeluarkan sebagian dari kekayaannya untuk shodaqoh, zakat, kebajikan yang baik (al-ma’ruf), dan sebagian yang lain harus disimpan untuk masa depan dikarenakan peristiwa-peristiwa yang terjadi kebetulan atau peristiwa yang berlaku pada masa itu.[2] Dengan kata lain, di bawah naungan Tauhid, manusia bisa mengkonsumsi sesuai dengan kebutuhannya. Sisa pendapatannya atau kekayaan harus digunakan untuk amal di jalan Allah, atau diinvestasikan kembali dalam bisnis.[3] Dalam al-Qur’an berkata: “… mereka bertanya kepadamu berapa banyak mereka nafkahkan: Katakanlah:. Apa yang di luar kebutuhan anda …” Penjelasan ayat ini menurut Yusuf Ali bahwa kita harus menggunakan harta yang sesuai yang kami butuhkan dan kelebihan yang lain kita harus keluarkan untuk pekerjaan baik atau amal.[4]

Konkritnya, masyarakat Muslim harus mendapatkan dan mengeluarkan hartanya sesuai dengan cara-cara yang islami. Ini akan memberi mereka manfaat di dunia dan akhirat. Di zaman sekarang, banyak orang-orang yang memperoleh kekayaannya dengan cara yang salah seperti korupsi, perjudian, dan penipuan. Efeknya bagi pengeluaran akan digunakan untuk sesuatu yang tidak bermanfat. Mereka yang melakukan perbuatan yang salah ini akan dihukum di dunia nyata maupun akhirat. Sebagai contoh, mereka kalah dalam perjudian akan dihukum dalam bentuk hukuman kemiskinan, masalah keluarga dan hidup yang tidak nyaman. Selanjutnya, mereka akan dihukum dalam bentuk siksaan yang sangat berat dari Allah SWT di akhirat nanti.

 

PENDAPATAN DAN PEMBAGIAN KERJA

Kegiatan ekonomi dalam kehidupan manusia semakin meningkat ketika ragam kebutuhan juga semakin meningkat oleh manusia. Implikasinya yaitu beberapa jenis-jenis pekerjaan atau profesi bermunculan untuk memenuhi penghidupan manusia itu. Menurut Ibnu Sina, kekayaan atau pendapatan dapat diperoleh oleh manusia melalui dua cara: al-warātsah (warisan) dan al-kasb (pekerjaan). Mereka yang memperoleh kekayaan atau pendapatan dari warisan tidak perlu mengupayakannya dengan cukup gigih. Warisan dapat diperoleh dari ayah atau leluhurnya dengan kondisi yang cukup untuk dipergunakan hidup, tanpa perlu bekerja. Bagi mereka yang harus bekerja, mereka harus bekerja dengan berjuang untuk mendapatkan rizq tersebut.[5] Perbedaan-perbedaan ini tidak berniat untuk memanjakan mereka yang menerima warisan, tetapi bermaksud untuk membedakan dua kelompok utama yang menerima kekayaan.

Pada penjelasan tersebut, maka beliau membagi pekerjaan menjadi dua kategori: perdagangan (al-tijarah) dan profesi (al-sinā’at). Menurutnya, profesi lebih kuat dan lebih stabil daripada perdagangan, karena perdagangan menggunakan harta dan harta bisa menjadi punah dan mudah hancur, dan memiliki banyak bahaya.[6] Hal ini juga berkaitan perdagangan atau sistem keuangan lainnya yang digunakan pada saat ini, karena menggunakan kekayaan untuk investasi lebih berisiko daripada profesi manusia yang digeluti dalam hidupnya. Namun demikian, jika kekayaan itu dikelola dengan sangat baik dalam perdagangan, maka akan memperoleh keuntungan lebih dari apa yang manusia upayakan dalam bentuk sebuah profesi. Sebenarnya pernyataannya tentang perdagangan yang lebih berisiko daripada profesi adalah sebuah peringatan kepada manusia agar lebih hati-hati dalam mengelola kekayaannya dalam betuk perdagangan ataupun investasi.

Menurutnya, profesi yang diperoleh oleh manusia dibagi menjadi tiga kategori: Pertama, dari wilayah intelektual (hiyaz al-‘aql) yaitu pendapat yang baik dan saran yang tepat dan tata pemerintahan yang baik, seperti profesi menteri, manajer, kebijakan pembuat, dan raja. Kedua, dari bidang sastra (hiyaz al-adab) yaitu menulis, al-Balaghah, astronomi, dan kedokteran, yang disebut sebagai orang sastra. Ketiga, dengan penggunaan tangan dan keberanian (hiyaz wa al-yad-syajā’a) adalah seperti ksatria dan profesi pengrajin.[7] Mereka yang menginginkan salah satu profesi tersebut harus menguasai keakuratan dan perbaikan yang berkelanjutan dalam rangka menjadi berkualitas sebagai ahli dalam profesi tertentu. Oleh karena itu, pembagian kerja menekankan bahwa orang harus menguasai bidang spesialisasinya agar efektivitas kerja lebih bermanfaat.

Profesi yang diuraikan Ibn Sinā hanya ditujukan kepada profesi administrasi, sastrawan, dan militer, tanpa menyebutkan pekerjaan yang berkaitan dengan produksi. Beberapa orang mengatakan bahwa pembagian profesi pada teori Ibnu Sina sangat komprehensif yang juga memasukan profesi yang berhubungan dengan produksi (‘amal al-yad).[8] Hal ini didukung oleh asal kata yad (tangan) yang berasal dari yadaya-yadyan yadi-yang berarti untuk membantu, untuk menjadi dermawan dan berbuat baik kepada. Dari pengertian tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa pekerjaan tangan adalah yang menggunakan tangan untuk menghasilkan sesuatu. Hal ini didukung oleh pernyataan Ibn Khaldun mengatakan bahwa tangan disediakan atau dipersiapkan untuk pekerja (al-shonā’i).[9]Selain itu, pembagian kerja nya sangat detail dan spesifik dibandingkan dengan para ulama Islam dahulu seperti Al-Ghazali dan Ibn Khaldun. Al-Ghazali dan Ibn Khaldun menekankan pembagian kerja pada pekerjaan tangan saja. Mereka menjelaskan bahwa beberapa kebutuhan akan menciptakan berbagai macam pekerjaan seperti petani, kuli, pandai besi, dan tukang kayu. Jenis-jenis pekerjaan ini muncul karena kebutuhan manusia yang beragam untuk mendapatkan rizq dari Allah SWT dalam bentuk kekayaan atau pendapatan.

 

PEMBAGIAN PENGELUARAN

Pengeluaran adalah kekayaan atau penghasilan yang dihabiskan untuk konsumtif maupun tabungan. Menurut Ibnu Sinā, infaq (pengeluaran) dapat dibagi menjadi tiga kategori:

1. Infaq (pengeluaran) yang digunakan untuk manusia itu sendiri dan keluarganya tanpa adanya kekikiran, kelalaian dan pemborosan. Hal ini disebut sebagai infaq ijtimā’I atau ‘am.

2. Infaq (pengeluaran) yang digunakan untuk pintu kebajikan (abwāb al-ma’ruf), shodaqoh, dan zakat. Hal ini disebut sebagai infaq atau Khas Dīni.

3. Al-iddikhār (tabungan) yang digunakan untuk mempredeksi kejadian-kejadian yang terjadi di masa mendatang seperti bencana, kecelakaan, atau kebutuhan mendesak lainnya.

Kategori pertama menjelaskan bahwa manusia harus menggunakan pengeluaran konsumtifnya (nafaqah) secara ekonomis. Pada saat itu, pengeluaran ini harus dikoreksi dan direformasi dari masalah pemborosan dan kekikiran. Manusia rasional harus menyetujui  pemahaman masyarakat tentang arti pemborosan dan kekikiran dan harus berhati-hati dan waspada pada pengeluaran yang dapat dimasukkan dalam kategori boros atau pelit. Ibn Sinā mengatakan bahwa banyak orang memuliakan pemborosan daripada orang-orang yang berhemat dan yang memiliki penaksiran, sedangkan orang-orang yang memuliakan sifat hemat dan lebih memilih taksiran mempunyai kesempurnaan akal dan argumen yang kuat.

Pengeluaran kedua dapat dilakukan jika orang itu memiliki kekayaan berlebih. Misalnya, zakat yang harus dibayarkan jika telah mencapai nisabnya atau orang tersebut dikategorikan sebagai muzakki, sedangkan sodaqoh tidak perlu nisab. Selain itu, zakat dan sodaqoh harus dikeluarkan dengan semangat, niat yang baik, kebahagiaan, dan keyakinan bahwa pengeluaran baik dari zakat atau sodaqoh adalah persiapan yang suatu saat nanti akan dibutuhkan.[10] Untuk pintu kebajikan (abwāb al-ma’ruf), harus memenuhi persyaratan yang Ibnu Sina menyatakan: pertama, ini harus diberikan segera, karena akan meyakinkan orang-orang yang membutuhkan. Kedua, ini harus diberikan diam-diam, karena memberikan cara rahasia lebih jelas untuk membantu. Ketiga, harus dianggap sebagai kecil, karena itu berarti lebih besar ketika memberikan al-ma’ruf. Keempat, harus dilakukan secara berkelanjutan. Terakhir, ini harus diberikan di tempat yang tepat dan kepada orang-orang yang memenuhi syarat.[11]

Untuk kategori terakhir adalah al-iddikhār (tabungan). Menurut Ibnu Sina bahwa orang tidak boleh melupakan tabungan bila ada kemungkinan. Memang, ketika manusia menghadapi  peristiwa yang terjadi dan ia tidak bisa mengatasi kondisi tersebut, maka ia membutuhkan sumber daya atau tabungan di masa depan. Padahal, ia memotong satu demi satu tali kesulitan yang mengikatnya meskipun tabungan tersebut nantinya akan habis. Tapi, manusia harus berkeyakinan bahwa Allah adalah yang Maha memberikan kecukupan dan Maha penolong.[12]

 

ANALISA KONSEP MANAJEMEN HARTA MENURUT IBN SINĀ

Kekayaan atau pendapatan (Y) yang diperoleh oleh manusia baik dari perdagangan nya atau profesi akan dikonsumsi untuknya dan dikeluarkan untuk masa yang akan datang. Dalam Islam, hal tersebut perlu ditambahkan satu unsur pengeluaran yang disebut sebagai infāq dīni (pengeluaran dari sisi agama), karena ada hak orang lain didalam kekayaan seorang manusia. Penjelasan ini disebutkan dalam surah al-Ma’ārij 24-25: “Dan orang-orang yang dalam hartanya ada haknya ditentukan bersama untuk pengemis dan miskin” Istilah al-iddikhār (tabungan) sama dengan investasi menurut definisi modern. Selanjutnya untuk melihat hubungan tersebut, dapat didefinisikan bahwa arti menabung adalah sebagai bagian dari penghasilan yang tidak dikonsumsi.[13] Dari definisi ini, persamaan dari konsep manajemen harta Ibn Sina dapat diperoleh sebagai berikut:

Y – C – B = I (i)

Sisi kiri dari persamaan ini adalah total kekayaan yang tersisa setelah membayar pengeluaran konsumtif (C) dan infaq Dini (B). Jumlah ini disebut sebagai tabungan (S) yang menggantikan Y – C – B, sehingga persamaan terakhir sebagai:

S = I (ii)

Jadi, seorang Muslim yang rasional harus memaksimalkan keberhasilannya baik di sini dan akhirat dengan mengeluarkan harta atau kekayaannya dengan cara yang tepat dan tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam. Menurut Khaf, orang Muslim harus memilih kombinasi dari ketiga komponen ini dalam rangka memaksimalkan falah, yaitu: (1) tabungan (s), (2) tindakan kebajikan (b) dan (3) konsumsi (c).[14] Ketiga konsep ini sangat simetris dengan konsep Ibn Sinā mengenai manajemen atau alokasi kekayaan. Jadi, pendapatan (kasb) mesti digunakan dengan tiga kombinasi  yang dijelaskan secara detail dari persamaan sebagai berikut:

Y = C + B + S (iii)

Untuk persamaan ini (iii) dapat diberikan ilustrasi agar memberikan penjelasan yang konkrit tentang ide Ibnu Sinā tentang pengelolaan kekayaan: Misalnya, ada kepala keluarga yang berprofesi sebagai dosen di sebuah universitas dengan jumlah gaji RM 7000/bulan. Untuk total pendapatan tahunan RM 84,000. Sebagai Muslim, ia dikenakan wajib zakat 2,5% setiap tahun karena penghasilannya telah mencapai nisab yang berjumlah RM 9,300. Nisab tersebut  berdasarkan pada harga emas RM 109.41/gram  yang dikalikan dengan 8,5 gram. Keputusan ini diterbitkan oleh Pusat Pungutan Zakat (PPZ) pada tahun 2010.[15] Dengan asumsi, pengeluaran minimal konsumtif nya rumah tangga (C) adalah RM 40.000, maka dengan menggunakan persamaan yang sederhana (iii): Y = (C + B) +S, di mana C + B = FS (pengeluaran akhir).[16] Lihat Gambar 1.1.

 

 

 

 

 

 

 

 

R’

 

R”

 

 

 

 

Gambar 1.1

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kasus 1: Budget Line YY menunjukkan garis S lebih disukai daripada FS, di mana konsumsi minimal rumah tangga (C) adalah RM 40.000 dan pengeluaran zakat (B) RM 2,100. Jadi, pengeluaran akhir (FS) setara dengan RM. 42.100/tahun. Sisanya sebesar RM 41,900 dihabiskan untuk menyimpan atau berinvestasi dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan atau return yang dapat digunakan di masa depan.

Kasus 2: Budget Line YY ‘ menunjukan bahwa pengeluaran akhir (FS) dari sisi pengeluaran konsumtif lebih banyak dikeluarkan daripada tabungan (S). Ini karena peningkatan konsumsi  pada masa itu, di mana C adalah RM 50.000 dan infaq Dini yang hanya terdiri dari pembayaran zakat adalah RM 2,100, sehingga FS setara dengan RM 52,100. Untuk tabungan (S) adalah 31.900/tahun.

Kasus 3: Budget Line  YY “menunjukkan bahwa pengeluaran akhir (FS) dari sisi infaq Dini (B) lebih banyak digunakan daripada tabungan (S). Infaq dinī (B) meningkat karena pengeluarannya tidak hanya pada sisi zakat, tetapi juga sodaqoh  yang berjumlah RM 15.000, sedangkan C adalah RM 45.000. Kemudian, pengeluaran akhir (FS) adalah RM 60.000, sedangkan tabungan (S) adalah 24.000/tahun.

Ketiga kasus ini adalah kombinasi dari pengalokasian kekayaan yang disebut Indeferrent curve (IC) yang digunakan untuk memilih keunggulan dan manfaat antara satu sama lain dengan maksud untuk memaksimalkan kesuksesan di dunia dan akhirat. Pada tingkat agregat, persamaan ini (iii) akan berkontribusi bagi kesejahteraan negara. Dengan tidak melakukan konsumsi yang berlebihan dan boros akan menciptakan distribusi kekayaan yang efisien dan pertumbuhan ekonomi Negara tinggi melalui infaq dinī (B) dan tabungan yang diperbolehkan dalam Islam (S). Dari sisi individu, pahala infaq dinī akan diberikan di akhirat, sedangkan untuk di dunia akan memperoleh pahala dalam bentuk laba atau return dari tabungan atau investasi. Kemudian, untuk kepentingan masyarakat, infaq dinī akan membantu mustahik atau orang miskin untuk memperbaiki kehidupan ekonominya. Adapun tabungan atau investasi akan meningkatkan sektor ekonomi riil melalui instrumen keuangan Islam dan pasar modal seperti seperti produk-produk perbankan Islam, takaful atau instrumen-instrumen ekonomi Islam lainnya.

 

KESIMPULAN

Pengelolaan kekayaan Ibnu Sina sangat detail yang menjelaskan dari aspek fundamental dari pekerjaan dan bagaimana kekayaan harus diperoleh dan dihabiskan dalam cara yang tepat dari prinsip dan nilai-nilai Islam. Menurutnya kekayaan bisa diperoleh dengan dua cara, yaitu: al-warātsah (warisan) dan al-kasb (produktif). Kedua dua harus dikeluarkan secara efisien dengan tiga langkah mengalokasikan pengeluaran untuk masa depan, yang terdiri dari belanja konsumtif, belanja agama dan tabungan. Memang, konsep ini Ibn Sina manfaat apa yang berasal dari sumber-sumber Islam: al-Qur’an dan al-Hadits. Sebagai contoh di dalam surah al-Baqoroh 219 Allah berfirman: “… mereka bertanya kepadamu berapa banyak mereka nafkahkan: Katakanlah: apa yang di luar kebutuhan anda ….”

Pada zaman modern ini, konsep manajemen harta oleh Ibn Sina sangat mungkin untuk dapat  diterapkan seperti dalam rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Hal ini berbeda dengan konsep barat yang menghilangkan agama yang terdiri dari konsumsi dan tabungan. Dalam Islam, itu harus ditambahkan dengan pengeluaran dari sisi keagamaan (infāq dīni) seperti zakat, sodaqoh dan al’ma’ruf. Tujuan pengelolaan kekayaan tersebut dalam Islam bukan hanya untuk tujuan dunia, tetapi juga untuk mempersiapkan diri untuk akhirat. terakhir, mari kita kembali ke sumber Islam dalam rangka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

 

REFERENSI

1.     Ahmad, Zainal Abidin. (1974). Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena. Jakarta; Penerbit Bulan Bintang.

2.     Al Fārūqi, Ismāil Rājī. (1998). Al Tawhid: Its Implication for Thought and Life. IIIT: USA.

3.     Karim, Adiwarman. (2003). Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: IIIT Indonesia.

4.     Kahf, Monzer.  The Demand Side or Consumer Behavior: Islamic Perspective, http://monzer.kahf.com/, (accessed 10 September, 2010).

5.     Khaldun, Ibn. (1984). Muqaddimah Al-‘Allāmah Ibn Khaldun. Matba’a  Musthafa Muhammad: Egypt.

6.     Murād, ‘Ali Abbas. (1999). Daulah al-Shari’ah: Qirāatu fi Jadilah al-Din wa al-Siyasah ‘inda Ibn Sina. Beirut: Darul al-Talī’ah.

7.     Nagval, C.S. (1995). Dictionary of Economics. Malaysia: Crescent News Sdn, Bhd.

8.     Sinā, Ibn. (1911). Kitab al-Siyāsah. ed. Louis Ma’luf, in Louis Cheikho et. al,  Maqālat Falsafiyyah Qadīmah li Ba’di Masyāhīrih Fālāsifah al-‘arab Muslimin wa Nasara, Beirut: al-Matba’ al-Kātsūlīkiyyah lil Abāi al-yasū’iyyin.

9.     http://zakat.com.my/fatwa-zakat. (Accessed 15 September, 2010).

 

 


* Mahasiswa Pasca Sarjana di Iinternational Institute of Islamic Thought (ISTAC),IIUM dan Dosen STEI Tazkia.

[1]Ibn Sinā, Kitab al-Siyāsah. ed. Louis Ma’luf, in Louis Cheikho et. al,  Maqālat Falsafiyyah Qadīmah li Ba’di Masyāhīrih Fālāsifah al-‘arab Muslimin wa Nasara, Beirut: al-Matba’ al-Kātsūlīkiyyah lil Abāi al-yasū’iyyin, 1911, 9—10.

[2] Ibid, 9—10.

[3]Ismāil Rājī al Fārūqi, Al Tawhid: Its Implication for Thought and Life, IIIT: USA, 1998, 180.

[4] Qur’an, Al-Baqoroh: 219, Text, Translation and Commentary by Abdullah Yusuf Ali, Dārul Arābiyyah: Beirut.

[5] Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena, Jakarta; Penerbit Bulan Bintang, 1974. 188—190.

[6] Ibid, 9—10.

[7] Ibid, 9—10.

[8] ‘Ali Abbas Murād, Daulah al-Shari’ah: Qirāatu fi Jadilah al-Din wa al-Siyasah ‘inda Ibn Sina, Beirut: Darul al-Talī’ah, 1999, 137.

[9] Ibn Khaldun, Muqaddimah Al-‘Allāmah Ibn Khaldun, Matba’a  Musthafa Muhammad: Egypt, 42.

[10] Ibid, 10.

[11] Ibid.

[12] Ibid, 11.

[13] C.S. Nagval, Dictionary of Economics, Malaysia: Crescent News Sdn, Bhd, 1995,306.

[14]Monzer Kahf, The Demand Side or Consumer Behavior: Islamic Perspective,  http://monzer.kahf.com/, (accessed 10 September, 2010), 23.

[15] See. http://zakat.com.my/fatwa-zakat.

[16] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003, 142—143.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *