Inpasonline, 6/7/11
Wafathya KH. Zainuddin MZ pada Selasa, 5 Juli 2011 selain memberikan kesedihan tersendiri, juga memberikan motivasi kepada umat Islam Indonesia untuk bergiat mencetak ulama pengganti ulama-ulama yang telah wafat. KH. Zainuddin MZ pernah menjadi sebuah fenomena pada era 1980-an dan 1990-an. Tepat kiranya jika KH. Zainuddin MZ dijuluki ‘dai sejuta umat’. Di era dimana TV belum menjadi focus of view, ribuan umat Islam berbondong-bondong menuju lapangan atau gedung pertemuan demi mendengarkan ceramah beliau. Bukan itu saja. Suara beliau yang sangat khas berkumandang dimana-mana, baik public space maupun domestic place lewat kaset-kaset yang berisi ceramah beliau.
Kehilangan satu orang ulama merupakan bencana atau musibah bagi seluruh umat Islam. Namun umat Islam Indonesia tentunya berharap akan lahir ulama-ulama pengganti yang telah wafat. Maka, harus dimulai sebuah gerakan mencetak kader ulama masa depan, apalagi di negeri yang populasi penduduk Muslimnya paling banyak di dunia seperti Indonesia, kebutuhan terhadap ulama sangat besar. Oleh karena itu, ustadz Yusuf Mansyur berharap para da’i yang saat ini kerap muncul di stasiun TV atau media massa lain, tidak berhenti belajar. “Saya sering berpesan kepada rekan-rekan yang serating dengan saya, agar Bahasa Arab terus dipelajari, kitab kuning terus dikaji, dan Al-Qur’an terus dibaca”, imbuh ustadz yang lewat PPPA Darul Qur’an yang didirikannya telah sukses mencetak ribuan hafizh (penghapal Qur’an) ini.
Ustadz Yusuf Mansyur menambahkan, bahwa krisis ulama yang tengah melanda umat Islam Indonesia bisa dibilang kesalahan umat Islam sendiri. Pasalnya, terjadi penurunan kualitas iman dan takwa anak bangsa yang dipicu antara lain oleh ketidakmampuan orang tua Muslim mendidik anak-anaknya. “Masya Alloh, ibu-ibu yang berjilbab itu pada pengantar anaknya nonton konser Justin Beiber. Ini kan ga bener,” tukas ustadz yang dikenal dengan logat Betawinya yang khas ini. Saat ini sulit sekali bagi orang tua untuk memberikan memberikan uswatun hasanah kepada anak-anaknya. Hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi para orang tua Muslim untuk memperbaiki kualitas diri.
Krisis ulama juga tidak lepas dari prinsip “demand menghasilkan produk”. Televisi yang semakin digdaya meniscayakan sebuah cara instan untuk mencetak ulama. Berkat “jasa” televisi, kemudian muncul para “ulama“ yang sebenarnya tidak layak disebut ulama karena ilmunya masih belum seberapa. Namun karena televisi terus-menerus memblow upnya dengan kemasan yang menarik (lucu, red), maka lama-kelamaan umat Islam Indonesia menganggap para “ulama” hasil bentukan media ini sebagai ulama sejati yang ucapannya didengarkan karena gaya penyampaian mereka lucu dan menggemaskan. “Kejahatan televisi antara lain menjadikan seseorang yang tidak pantas disebut ulama atau kyai menjadi sosok yang seolah pantas mendapatkan gelar tersebut”, kata ustadz Yusuf Mansyur. Ustadz yang terkenal dengan filosofi sodaqohnya ini sendiri sering takut jika jama’ahnya menyebut dia ‘kyai’ karena merasa ilmunya belum sebrapa. Doktrin televisi ini akhirnya menghasilkan demand alias permintaan – atau bisa juga disebut pengharapan – akan adanya sosok penceramah yang tidak penting berlimu atau tidak, yang penting lucu.
Hal inil juga menjadi keprihatinan Adian Husaini. Peneliti INSISTS ini juga menyoroti menurunnya krisis ulama di negeri ini. dalam sebuah kesempatan terbatas di pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (28/5), Adian menyatakan bahwa sekarang ini terjadi gerakan pembusukan serta upaya delegitimasi terhadap ulama. Oleh karena itu, merujuk pada Imam Ghazali, Adian menjelaskan empat kriteria seorang ulama yang dibutuhkan umat di masa kini dan masa mendatang. “Kriteria pertama ialah menguasai ilmu diniyyah. Kedua, menguasai ilmu dan wacana kontemporer. Ketiga, bersedia terlibat di tengah-tengah umat dan peka terhadap persoalan umat. Keempat, zuhud”, tegasnya. (Kar)
Last modified: 06/07/2011