PKI dan Dendam Ideologis

Oleh: Ainul Yaqin

komunisme-images (5)Inpasonline.com-Rame-rame soal isu kebangkitan komunis di Indonesia, sejumlah kalangan meragukannya, bahkan menepis isu tersebut. Tak kurang di sini ada Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif termasuk intelektual yang meragukan isu ini. Sejumlah kalangan yang menepis isu kebangkitan komunis beralasan, komunisme sudah bangkrut. Bahkan di negara tempat kelahirannya sendiri Uni Sovyet, idiologi komunis sudah porak-poranda.  China yang disebut dengan negara komunis terbesar pun telah berevolusi menjadi negara kapitalis. Memang, jika di lihat dari sisi ini idiologi komunis itu absurd. Bahkan sebelum menjadi idiologi komunis pun pemikiran Karl Marx yang meramal terbentuknya diktator protelariat juga absurd.

Teori Marx menjelaskan bahwa masyarakat dalam sistem kapitalis pada awalnya berkelas-kelas berdasarkan kepemilikan modalnya. Ada kelas orang kaya, kelas agak kaya, kelas agak miskin, sampai kelas paling bawah, kelas paling miskin. Dari kelas yang bertingkat-tingkat pada akhirnya mengerucut hanya tinggal dua kelas saja yaitu  kelas kapitalis yang terdiri dari para pemilik modal dan yang kedua adalah kelas buruh. Banyak kaum pemilik modal yang berada di posisi kelas menengah akhirnya bangkrut. Kebangkrutannya terjadi karena tidak bisa berproduksi secara efisien sehingga kalah bersaing dengan kelas yang lebih tinggi yang mempunyai modal besar yang mampu berproduksi lebih efisien. Kelas menegah yang bangkrit ini kemudian tumbang sehingga bergeser menjadi kelas buruh.

Karl Marx meramalkan, kaum buruh yang awalnya sedikit makin lama makin banyak karena banyak dari kalangan kelas-kelas di atasnya yang berjatuhan. Kaum buruh pada gilirannya semakin miskin. Mereka tidak berdaya karena ditekah oleh para pemilik modal yang ingin memenangkan persaingan, karena untuk memenangakan persaingan para pemilik modal harus berusaha melakukan efisiensi dengan cara menekan biaya produksi melalui cara menekan upah buruh.

Kondisi kaum buruh yang semakin tidak berdaya telah membuat mereka semakin solid. Pada akhirnya solidaritas kaum buruh semakin kuat, tuntutan mereka bukan semata-mata kenaikan upah tetapi menumbangkan kaum kapital dengan merebut hak milik dan aset-aset produksi yang dimiliki oleh kaum kapital. Kemiskinan yang dialami kaum buruh sampai pada keadaan mereka dihadapkan pada dua pilihan, mati atau berontak. Maka menurut Karl Marx, pemberontakan yang akan menjadi pilihannya dengan tujuan untuk menciptakan diktator menumbangkan kapitalisme. Kediktatoran ini hanya sementara yang pada akhirnya terbentuk masyarakat tanpa kelas, mereka pemilik aset produksi sekaligus pengguna dan menikmati hasilnya secara bersama-sama.

Ramalan Karl Marx bahwa akan terbentuk kekuasaan kaum proletar secara otomatis, pada kenyataannya tidak pernah terjadi. Hal ini karena prediksi Marx bahwa untuk menciptakan produk yang kompetitif kaum kapital melakukannya dengan menekan upah buruh, pada kenyataannya tidak benar, bahkan malah berkebalikan. Pada kenyataannya untuk membangun semangat kerja kaum buruh, kaum kapital justru berupaya meningkatkan kesejahteraan buruh dengan menaikkan upah dan memberikan tambahan failitas lain. Kapitalisme diam-diam telah berevolusi menuju pseudo kapitalisme, yang tidak serta merta seperti analisis Karl Marx. Inilah salah satu sisi yang absurd dari pemikiran Karl Marx.

Menyadari kelemahan teori Marx ini, Vladimir Ilyich Ulyanov yang dikenal dengan Lenin mencoba mengubah teori Marx ini. Lenin melihat, bahwa kaum buruh tidak serta merta akan bergerak untuk memberontak tanpa diorganisir dan diberikan sentuhan agitasi. Lenin kemudian menjadikan teori penjuangan kelas sebagai idiologi politik untuk membangun agitasi kaum buruh membuat permusuhan dengan kaum kapital yang endingnya adalah merebut kekuasaan atas nama kaum proletar. Dengan dalih hendak menciptakan masyarakat tanpa kelas, setiap tokoh elit di masyarakat adalah musuh, termasuk tokoh agama. Karena itu semboyan PKI yang berhaluan komunis adalah “hancurkan tiga setan kota’ dan sebagainya. Gabungan pemikiran Karl Marx dan Lenin inilah yang kemudian disebut komunisme. Jadi komunisme adalah sebutan untuk idiologi yang berbasis pada pemikiran Marx dan Lenin.

Lenin berhasil mewujudkan negara komunis pertama yaitu Uni Sovyet 26 Oktober 1917 melalui revolusi Bolshevik 24-25 Oktober 1917. Namun, setelah 74 tahun negara Uni Sovyet berdiri sebagai salah satu negara adikuasa, tepatnya bulan Agustus 1991 negara ini akhirnya bubar setelah kelompok komunis garis keras Uni Soviet melancarkan kudeta terhadap Presiden Mikhail Gorbachev.  Ini menandai kebangkrutan idiologi komunis di dunia.

China sendiri yang secara politik mengakui sebagai negara komunis, diam-diam telah membuat kebijakan yang kapitalistik. Dengan kebijakan ini China telah berhasil mengundang para investor untuk andil dalam pembangunan di China. Tanpa itu, China tentu akan terbelakang, meskipun idiologi komunisme masih tetap digunakan sebagai alat untuk menekan rakyat agar mudah dikendalikan dengan dimonifikasi.

Ide komunisme yang ingin membangun masyarakat sama rata dan sama rasa tidak pernah bisa terwujud. Masalah penghapusan pembagian kerja adalah hal yang paling tidak realistis dari pemikiran komunisme. Pada kenyataannya ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak mungkin secara otomatis bisa dilakukan tanpa adanya pembagian kerja. Dengan demikian konsep mayarakat tanpa kelas yang diperjuangkan oleh komunisme tidak masuk akal. Konsep ini telah berubah menjadi kekusaan diktator yang sangat otoriter yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi keberlangsungan idiologi komunis itu sendiri. Komunisme bangkrut bukan karena diserang oleh idiologi lain, tetapi atas kegagalannya sendiri.

Kebangkrutan komunisme di negara asal berdirinya, telah melahirkan pertanyaan: “apakah dengan demikian ancaman laten Partai Komunis Indonesia dengan sendirinya juga sudah selesai”. Pertanyaan ini lah yang hari-hari ini diperdebatkan. Untuk menjawabnya sebaiknya dirunut mulai awal dengan memperhatikan catatan sejarah masa lalu.

Seperti halnya gerakan komunisme di tempat-tempat lain, catatan sejarah menunjukkan bahwa PKI sebagai gerakan idiologi yang radikal telah beberapa kali melakukan pemberontakan dan aksi-kasi sepihak. Sejak sebelum kemerdekaan PKI dikenal beberapa kali melakukan pemberontakan  antara lain 12 November sampai 5 Desember 1926  di  Banten, tanggal 12-18 November 1926 di daerah Surakarta,  tanggal 12 November sampai 15 Desember 1926 di   Kediri Jatim, dan tanggal 1 Januari  1926  sampai  akhir Februari 1927 di Silungkung, Sumbar. Pada tahun 1935 Moeso masuk kembali ke Indonesia dan mengadakan gerakan pemberontakan lagi tapi tidak berhasil lalu lari ke  keluar negeri lagi.

Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945,  PKI menjadi dalang kerusuhan di beberapa kota di Jawa Tengah yang dikenal sebagai peristiwa “TIGA DAERAH” yaitu Tegal, Brebes dan Pemalang. Bulan Januari 1946 orang-orang komunis di Cirebon dipimpin oleh Moh Yusuf mencoba mengambil alih kepemimpinan pemerintahan setempat mulai tingkat Desa, Kecamatan dan Kawedanan. Gerakan ini gagal karena ditumpas Tentara Keamanan Rakyat.

Pada bulan Februari 1948 tokoh PKI Amur Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) sebagai oposisi Kabinet Syahrir. FDR akhirnya melakukan  kudeta pada 18 September 1948, dengan melakukan aksi di Yogja, Solo, Sragen, dan Madiun.  Sumarsono bersama Supardi dan kawan-kawannya memproklamirkan “Soviet Republik Indonesia” di Madiun. Peristiwa ini dikenal dengan pemberontakan PKI Madiun. Monumen di desa Soco Magetan menjadi saksi kebiadaban PKI. Terdapat dua  sumur pembantaian, lubang yang satu berisi 78 jenazah dan lubang ke dua berisi 30 jenazah. Sebagian besar adalah Kiai,  Ulama dan tokoh masyarakat.

PKI juga melakukan aksi pembantaian di desa Cigrok sebelah selatan Takeran. Beberapa orang dipukuli lalu dimasukkan ke dalam sumur tua. Kebanyakan mereka masih dalam keadaan hidup langsung sumur tersebut ditimbuni tanah dan bebatuan. Di antara korban kebiadaban PKI ini adalah K.H Imam Sofwan, Kiai Zubair  dan Kiai Bawani dari pesantren Kebonsari.  Selain itu juga pembakaran Masjid Agung Trenggalek.

Sepanjang tahun 1960-1965 PKI banyak melakukan Aksi sepihak seperti kasus penyerobotan tanah di Jember, Banyuwangi, Garum-Blitar, Nganjuk, Ngawi, Jombang, penyerobotan tanah wakaf milik Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern Gontor (YPPWPMG) seluas 163.876 hektar, dan lain sebagainya.

Sekitar tahun 1965 para aktivis PKI juga melancarkan aksi teror di beberapa daerah. Tepatnya di bulan puasa kegiatan Training Centre Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kanigoro Kediri diserbu oleh orang-orang PKI bersenjata tajam. Beberap  aktivis PII yang sedang menjalankan shalat subuh di sebuah masjid terpaksa lari karena tidak bersenjata. Di tahun yang sama juga terjadi penyerbuan Masjid Kembangkuning Surabaya.

Puncaknya pada tanggal 30 September 1965 orang-orang PKI membantai  enam  orang jenderal dan seorang perwira pertama dalam satu malam, diantara korban itu adalah Jendera Ahmad Yani,  Letjen Suprapto, Letjen Haryono, Letjen S. Parman dan Mayjen D.I. Pandjaitan. Mereka dimasukkan ke dalam sebuah sumur  tua di daerah    Lubang Buaya dekat Lanud Halim Perdana   Kusuma  Jakarta. Menyusul pada  2 Oktober 1965, Kolonel Katamso Danrem 072 dan Letnan Kolonel Sugiyono diculik dari rumahnya masing-masing oleh gerombolan G 30 S/PKI di bawah pimpinan Pembantu  Letnan Satu Sumardi. Kemudian tanggal 18 Oktober 1965 Dewan Revolusi PKI membantai  62 orang pemuda Ansor di desa Cemethuk, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi. Mereka dimasukkan ke dalam tiga  lubang sumur. Sumur pertama diisi 11 orang, sumur kedua 11 orang dan sumur ketiga 40 orang.

Aksi-aski biadab yang telah dilakukan oleh PKI dalam beberapa tahun terutama sejak 1948 telah memantik reaksi keras yang berupa penumpasan PKI oleh TNI yang didukung oleh rakyat. Pasca 1965 Partai Komunis Indonesia dikubur berdasarkan Kepres No: 1/3/1966 dan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966. Pasca reformasi terbit UU No. 27 tahun 1999 yang mencantumkan di dalamnya larangan setiap kegiatan penyebaran paham komunis.

Kegagakan PKI yang telah beberapa kali melakukan percobaan kudeta dan aksi-aksi sepihak yang berujung pada pembubaran serta pembasmiannya selama masa Orde Baru, telah melahirkan dendam idiologis. Era pasca reformasi yang ditandai dengan demokratisasi dan pengakuan semakin kuat terhadap HAM, telah dimanfaatkan oleh mantan aktivis PKI dan simpatisannya untuk melampiaskan dendam idiologinya itu. Maka berbagai upaya telah mereka lakukan antara lain membuat opini dengan memutarbalikkan sejarah bahwa peristiwa masa lampau yang melibatkan PKI sebagai pelaku pemberontakan telah diputarbalikkan sebagai peristiwa rekayasa politik yang dilakukan oleh para elit. Beberapa kejahatan dan kebiadaban PKI di masa lalu dicoba untuk di lupakan dengan bersembunyi dibalik isu meruntuhkan otoritarianisme orde baru. Di saat bersamaan mereka berusaha memotret fakta sejarah masa lalu hanya sebatas pasca 1965 yaitu peristiwa penumpasan G 30 S PKI yang oleh mereka peristiwa penumpasan tersebut disebut sebagai pelanggaran HAM berat dan aktivis PKI sebagai korbannya.

Para mantan aktivis PKI dan simpatisannya juga membentuk beberapa organisasi seperti Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) Sekretariat Bersama Korban 1965, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR KROB), Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 1965), dll. Semua lembaga-lembaga tersebut dibentuk untuk memberikan citra bahwa PKI adalah korban bukan pelaku pemberontakan. Organisasi-organisasi ini pula yang memelopori tuntutan untuk mencabut TAP MPRS No XXV/1966  melalui Sidang Umum MPR bulan Agustus 2003 di Jakarta. Seorang anggota DPR RI dari PDIP Bambang Beathor Suryadi pada HUT RI ke-69 mengatakan:  “Hanya dengan mencabut TAP MPRS No XXV/1966, bangsa ini kembali “mampu” membentengi Bangsa, Negara dan Rakyat dari rongrongan ideologi dan maksud bangsa lain,”(http://www.aktual.co/politik/183652anggota-dpr-ri-gulirkan-isu-pencabutan-tap-mprs-no-xxv-1966).

Upaya-upaya lain yang dilakukan mereka dianataranaya: menuntut yudicial review ke Mahkamah Konstitusi dan berhasil mancabut undang-undang no. 12 tahun 2003 tentang pemilu pasal 60 huruf g tentang persyaratan anggota DPR-RI, DPR-D, DPD. Atas pencabutan tersebut, maka eks PKI dapat dipilih dan memilih pada pemilu 2009. Mereka juga melakukan gugatan class action di PN Jakarta Pusat yang mengklaim jumlah korban orang-orang PKI tahun 1965-1966 sebanyak 20 juta orang dengan tuntutan ganti rugi per orang sebesar Rp 937,5 juta sampai dengan Rp 2,5 milyar rupiah, tergantung dari kedudukan dan berat ringannya korban. Gugatan class action tersebut  ditolak oleh PN Jakarta Pusat.

Para mantan aktivis PKI dan simpatisannya juga membuat konspirasi melalui jalur pendidikan dengan mencoret peristiwa pemberontakan 1948 di Madiun dan pemberontakan G30-S-PKI dengan berusaha menghapus keberdaan PKI dalam peristiwa tersebut pada mata pelajaran sejarah kurikulum 2004. Sebaliknya, pemberontakan DI-TII, PRRI, Permesta, RMS, dan lain-lain lebih ditonjolkan. Untunglah pemerintah akhirnya sadar dan mengembalikan kurikulum pendidikan sejarah sesuai dengan kurikulum 1994, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional no. 7 tahun 2005.

Eks PKI juga membangun konspirasi melalui jalur-jalur non yudicial yaitu menginisiasi terbitnya Undang-undang no. 27 tahun 2004 tentang Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU-KKR). Dipastikan UU KKR dimanfaatkan oleh eks PKI sebagai alat untuk memperjuangkan bangkitnya PKI setelah gagal melalui jalur politik dan hukum. UU KKR akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui proses uji materi di MK.

Diduga kuat gerakan massa buruh dan mahasiswa serta kelompok miskin kota yang bersifat anarkhis, tidak terlepas dari peran aktivis PKI seperti gerakan aktivis kiri dari Partai Buruh pimpinan Mukhar Pakpahan, Dita Indah Sari, dan PNBI, Papernas, PRD, dan SMID.

Sejak era Presiden Susilo bambang Yudoyono sampai era Presiden Joko Widodo, mereka secara konsisten berusaha membuat tuntutan agar presiden meminta maaf atas pelanggaran HAM tahun 1965 dengan memposisikan PKI sebagai korban.

Mencermati upaya maupun aksi yang dilakukan oleh para aktivis eks PKI dan simpatisannya, patut untuk ditegaskan bahwa sekalipun idiologi komunisme telah tumbang, dendam idiologis yang ada dalam benak para aktivis dan simpatisan PKI belum reda. Maka perlu ada kesadaran mengawal sejarah bahwa peristiwa tahun 1965 adalah penumpasan pemberontak PKI sehingga sudah menjadi kewajiban negara dan masyarakat untuk melakukan bela negara menyelamakan dari kaum pemberontak, sehingga negara tidak ada relevansinya meminta maaf. Dalam penumpasan pemberontakan apa yang dilakukan oleh TNI tidak bisa dituduh sebagai pelanggaran HAM. Pemahaman HAM harus dibaca secara utuh, bahwa HAM tidak tak terbatas, negara bisa membatasinya sesuai dengan UUD 1945 pasal 28j dan pasal 73 uu no. 39 th 1999 tentang HAM.

Hal yang juga penting, mengajak semua fihak untuk obyektif melihat masa lalu, tidak anakronis yaitu melihat dengan dasar kondisi saat ini dimana PKI merengek seperti orang tak berdaya. Generasi saat ini harus ditunjukkan padaa sejarah bangsa yang benar. Sejarah harus dibaca secara  utuh tidak hanya pada saat tahun 1965. Generasi muda perlu diberitahu bahwa pemberontakan dan teror yang dilakukan PKI telah berlangsung bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *