Oleh:Moh. Isom Mudin
Inpasonline.com-Praktek kehidupan sufi identik dengan kehidupan eksklusif dengan mengunci jiwa dari kehidupan dunia. Dalam hal bernegara, peran mereka dianggap sebagai ‘tukang do`a’, bukan tergolong revolusioner. Kenyataanya, mereka juga bergumul dengan dinamika sosial dan politik bahkan Jihad fisik. Sejarahlah yang menjadi saksi ketangkasan sabetan pedang, ketajaman pena, dan kejernihan jiwa mereka.
Dua makna Jihad
Pedang adalah simbul jihad fisik. Bagi ahli taswwuf, jihad bermakna dua, jihad besar dan jihad kecil, dua makna ini tidak bertentangan satu dengan yang lain. Disebut besar karena musuh tidak bisa dilihat dengan kasat mata, sulit dihadapi, tidak banyak yang sanggup memenangkanya. Yang dilawan bukanlah orang lain, melainkan diri sendiri. Bidang ini memang lahan garapan mereka. Konseptualisasi memukau bisa dinikmati dalam karya-karya yang mudah didapatkan.
Makna jihad kecil bagi sufi tidak berbeda dengan makna yang disampaikan oleh ahli fiqh, yaitu perjuangan melawan musuh di medan laga. Tentu dengan syarat dan ketentuan jelas, mana yang boleh diserang, melawan perlu membela, apa saja yang tidak boleh dilakukan dalam peperangan. Konsep dan aplikasi makna kedua ini masih berserakan dalam buku sejarah yang memerlukan pembahasan lebih detail.
Prof. Dr. As’ad al-Khatib menunjukkan bagaimana peran para sufi melawan penjajahan dalam bukunya bertajuk ‘al-Buthulah wa al-Fida` Inda Shufiyah’. Secara apik, buku ini menjelasakan perjuangan dalam medan laga mulai dari sufi-sufi salaf abad pertengahan. Keberhasilan para pasukan menaklukkan hingga mengelola pemerintahan tidak lepas dari peran mereka. Tidak hanya dulu tetapi hingga pegiat-pegiat tarekat di zaman modern.
Dari Hatim Hingga Abu Yazid
Nama Hatim Bin Ashom (w. 237) tidak asing lagi dalam dunia sufi. Terkenal sebagai sufi dengan gelar ‘al-Qudwah. Dia adalah murid spiritual Saqiq al-Balkhy, Rabbany’. Disamping linangan air matanya di malam hari, keringat jihadnya juga membara di siang hari. Ia mengkisahkan bagaimana duel mematikan antara dia dan kafir harby di medan laga. Walaupun menang, dia tetap syahid. (az-Zarkali, al-a`lam, Beirut: Tt, 1935, p. 2/152)
Tokoh lain misalnya ‘Sulthanul `Arifin’; penghulu orang-orang arif. Pemilik gelar ini adalah Abu Yazid al-Busthamy (w.261). Namanya mencuat di Baghdad karena perangai ibadah dan akhlaknya. Ia tidak mudah percaya kewalian seseorang sebelum melihat adabnya dalam menjalankan syari`ah. Dibalik bilik munajatnya pada Allah, dia adalah singa medan laga.
Dia mengatakan; “semenjak empat puluh tahun, saya tidak menyandarkan punggung saya ke tembok kecuali tembok masjid atau ribat”, perkataanya yang lain; “Al-Haqq mentaqdirkanku bersama para mujahid, pedangku kuhempaskan di muka musuh-musuhnya”. Dari perkataanya ini, Bayazid tidak sudi berpangku tangan melihat perjuangan umat Islam di lapanan.
Syaikhul Azhar Abdul Halim Mahmud menguraikan bahwa Bayazid berjihad dalam empat hal; jihad dalam beribadah, jihad dengan pedang, jihad hidup bermasyarakat, dan jihad menjadi panutan. Beliau menemukan rahasia kualitas dan kontinuitas Jihad Bayazid disebabkan karena dia sudah mencapai maqam ‘hubb’; kecintaan tiada mendua terhadap Allah. (Abd Halim Mahmud, Sulthan al-Arifin Abu Yazid al-Busthami, tt, cet: 2, p. 12,73).
Tentu bukan hanya Bayazid, Jihad dalam arti fisik juga banyak telah dilakukan oleh tokoh-tokoh sufi abad ke tiga seperti Junaid al-Baghdadi (297), Abu Hamzah as-Shufi (w.269), Sirry as-Saqathy (w. 253) dan lainya. Bahkan tokoh-tokoh sebelumnya pada abad ke dua juga tidak bisa dilepaskan. Sebut saja nama-nama tenar seperti Hasan al-Bashri, Ibrahim Bin Adham, Syaqiq al-Balky, Abdullan Bin Mubarak dll. (As’ad al-Khatib, al-Buthulah wa al-Fida` Inda Shufiyah: Dirasah Tarikhiyyah, Damaskus: Dar at-Taqwa, cet: 5, p.56-74)
Relasi Zuhud dan Jihad Bagi al-Ghazali
Kebesaran Nama Al-Ghazali tidak asing sebagai ahli zuhud, namun ia sendiri bukanlah tokoh apolitis, atau anti jihad fisik sebagaimana banyak dituduhkan. Uraian ringkas tentang jihad pada pasal tujuh puluh enam dalam bukunya “Mukasyafatul Qulub’ dan beberapa bagian pada kitab ‘Ihya ulumuddin’ menunjukkan posisi dia. Banyak tulisan yang mengupas peran al-Ghazali dibalik kemenangan pembebasan Jerussalem oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Diantaranya makalah ilmiah guru kami Dr. Adian Husaini, “Memahami Konsep dan Kiprah Jihad Imam al-Ghazali”.
Agar lebih ‘afdlal’, satu ibarat penting yang sidikit mewakili pandangan al-Ghazali atas Jihad fisik. Satu buah atsar yang beliau kutip menjadi dasar pemikiranya: “Seorang sahabat Nabi ingin beruzlah dan meminta izin kepada Rasulullah saw tetapi Rasulullah berkata kepadanya; “Kamu jangan melakukanya !, sesungguhnya tempat mulia diantara kalian adalah jihad di jalan Allah. apakah kamu tidak senang mendapatkan ampunan dari Allah dan masuk surga ?. maka berjihadlah”. Sedikit komentar dari beliau; “sahabat yang ta`at diperintah berjihad, bagaimana dengan kita yang masih sedikit taat’.(al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub, 273)
Bagi ‘Hujjatul Islam’, ada korelasi kuat antara penerapan Zuhud dan Jihad. Zuhud bukan berarti tidak butuh pada dunia, tetapi membenci hidup kekal di dunia (az-Zuhd ibarah an ar-rughbah an al-baqa fi ad-dunya). Maka semua kegiatanya diorientasikan untuk akhirat, bahkan aktifitas yang secara kasat mata seperi aktifitas keduniaan bisa menjadi aktifitas menuju akhirat.
Ketika orang munafik diperintahkan berjihad, mereka enggan untuk melaksanakan perintah tersebut karena hanya ingin kekal berfoya-foya di dunia. Berbeda sekali dengan golongan ahli Zuhud ketika mendengar perintah ini mereka langsung bergegas menunaikanya.
Imam Al-Ghazali mengatakan; “orang zuhud yang cinta pada Allah, mereka beperang di jalan Allah seperti bangunan yang sangat kokoh, menunggu dua keindahan (ed: syahid atau menang). Ketika ada perintah berjihad, harumnya surga masuk menyerbak ke dalam rongga hidung. Mereka bergegas dengan cepat seperti orang kehausan menemuan air es…inilah sikap golongan shadiqin..” (al-Ghazali; Ihya Ulumiddin, 4/242).
Bagi al-Ghazali, jiwa zuhud membawa semangat Jihad. Semangat tidak cinta dunia, menganggap dunia sebagai ladang akhirat, dan tidak tidak takut mati adalah jiwa para sufi. Tentara seperti inilah yang sulit dikalahkan dan menggetarkan musuh. Sepuluh pasukan dengan jiwa seperti ini bisa mengalahkan seratus pasukan dengan jiwa takut mati dan cinta buta dunia terhadap dunia. Dua ‘husnayain’ yang diharapkan mujadid sufi; syahid bahagia atau menang membangun peradaban.
Ibn Araby: “Mujahid itu Wali”
Para pengagumnya menyebut ‘Syaikhul Akbar’, Izzuddin Bin Abdissalam memangilnya ‘al-Quthb’. Bagi Ibn Araby, para pejuang jihad termasuk golongan para wali. Katanya “diantara para wali adalah pejuang di jalan Allah”. Aktfitas ini menurutnya bagian dari sedekah jiwa. Sebagian para sufi berpandangan, jika tidak ada seorang pun yang berdzikir kepada Allah dan mentauhidkanya dalam sebuah Negara yang disebabkan penguasa yang merusak, maka harus ada golongan yang melawan kesewengan tersebut dengan jihad fisik.(Ibn Araby, al-Futuhat al-Makkiyyah, 2/33)
Walau tidak terlibat secara langsung dalam perang salib, tetapi Ibn Arabi dalam karya-karyanya selalu mengorbankan semangat juang tinggi. Hal ini terbukti kedekatanya dengan para panglima sekaligus raja-raja semasa hidupnya. Sebut saja Malik Mudzaffar Ghazy bin Abi Bakar (w. 645 M) yang sering mendapat wejanganya bahkan secara khusus mendapat Ijazah langsung. Juga sya`ir – syair perjuangan yang dia tulis untuk panglima Nur Bin Rasyid. Untuk itu, bagi para peneliti seperti Ahmad Amin dan Ibrahim Madzkour, semangat tentara Islam dalam perang Salib juga tidak bisa terlepas dari Ibn Arabi.
Walhasil, Sebuah julukan indah untuk sufi Mujahid, “Kanu rahbanan fi al-lail wa farsanan fi an-nahar”; mereka rahib di malam hari, penakluk kuda di siang hari. Para sufi ternyata bukan hanya duduk bersila menengadahkan kedua tangan untuk menembus langit, tetapi juga berkuda dan menghempaskan pedang di muka bumi. Mereka menggabungkan keduanya. Mereka tidak hanya pandai memerangi nafsu, tetapi paiawai menggerakkan jiwa untuk berjuang.
*Penulis adalah dosen UNIDA Gontor