Namun ternyata tidak sedikit umat Islam yang tidak perduli dengan teladan yang diberikan tokoh-tokoh terkemuka umat Islam dan justru terkesima dengan paham-paham yang berasal dari Barat. Paham feminisme dan kesetaraan gender misalnya, yang merupakan respon atas kondisi lokal terkait dengan masalah politik, budaya, ekonomi dan sosial yang dihadapi masyarakat Barat dalam menempatkan perempuan di ruang publik, justru marak didengung-dengungkan di dunia Islam. Padahal umat Islam memiliki tradisi, khazanah keilmuan dan latar belakang permasalahan yang berbeda dengan Barat. Ini tentu tidak terlepas dari hegemoni Barat, yang memang pada zaman ini menjadi sebuah kawasan yang sedang maju dalam bidang teknologi, persenjataan dan pembangunan fisik-empirik lainnya, sehinga mempengaruhi kawasan-kawasan yang belum maju. Hal ini sudah menjadi sunnatullah bahwa pihak yang kalah akan meniru yang menang, sebagaimana disindir oleh Ibnu Khaldun (1332-1406M) dalam pernyataannya: “Si Pecundang akan selalu meniru pihak yang mengalahkannya, baik dalam slogan, cara berpakaian, cara beragama, gaya hidup serta adat istiadatnya”.[2]
Derasnya arus globalisasi budaya, menyebabkan gerakan feminisme di Barat menyebar cepat ke seluruh pelosok dunia. Feminisme atau paham kesetaraan gender semakin kuat pengaruhnya, terlebih setelah digelarnya Konferensi PBB IV tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Di Indonesia, hasil konferensi tersebut dilaksanakan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah, seperti tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, maupun melalui LSM-LSM yang kian menjamur. Di ranah pendidikan tinggi, telah didirikan institusi-institusi Pusat Studi Wanita (PSW/PSG). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dalam www.mennegpp.go.id, melaporkan jumlah PSW hingga tahun 2005 telah mencapai 132 di seluruh universitas di Indonesia. Feminisme pun seolah-olah telah menjadi global theology dan semakin mengakar pengaruhnya di Indonesia setelah masuk dalam 10 program PKK dan diresmikannya UU Pemilu 2003 Pasal 65 Ayat 1 yang menyatakan batas minimal keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR/DPRD dari setiap partai adalah 30%.[3]
Di Indonesia, feminisme bak sebuah franchise yang telah merasuk jauh kedalam lingkungan institusi-institusi pendidikan tinggi. Kurikulum pendidikan, diktat-diktat perkuliahan, beragam seminar dan pelatihan, serta tugas akhir akademis baik yang berupa skripsi, tesis maupun disertasi disusun untuk mendukung paham ini. Kuatnya pengaruh feminisme dalam pendidikan, di antaranya bisa dilihat dari festival Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) VII di Pekanbaru, 21-24 Nopember 2007 yang diprakarsai oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI dan UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Acara ini diikuti oleh utusan universitas-universitas Islam di Indonesia. Banyak makalah tentang isu kesetaraan gender dibentangkan untuk mengkaji ulang hukum Islam yang berkenaan dengan hak-hak perempuan.[4]
Artikel ini secara ringkas akan difokuskan pada pembahasan kesetaraan gender dalam studi Islam, seperti metode mendudukkan al-Qur’an dalam kerangka jender, beberapa contoh hasil penafsiran feminis terhadap ayat-ayat al-Qur’an, serta diskripsi ringkas tentang perkembangan gerakan gender di perguruan tinggi. Namun demikian, kajian ini tidak menyinggung kasus-kasus yang bukan merupakan substansi paham kesetaraan gender, seperti pelanggaran hukum dan kriminal terhadap perempuan, serta pembelaan terhadap nasib buruh perempuan.
Definisi
Feminisme adalah paham yang beragam, bersaing dan bahkan bertentangan dengan teori-teori sosial, gerakan politik dan falsafah moral. Kebanyakan paham ini dimotivasi dan difokuskan perhatiannya pada pengalaman perempuan, khususnya dalam istilah-istilah ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. Salah satu tipe utama dari feminisme secara institusional, difokuskan pada pembatasan atau pemberantasan ketidakadilan gender untuk mempromosikan berbagai hak, kepentingan dan isu-isu kaum perempuan dalam masyarakat. Tipe lainnya yang berlawanan dengan feminisme modern, -dengan akar sejarahnya yang mendalam-, memfokuskan pada pencapaian dan penegakan hak keadilan oleh dan untuk perempuan, dengan dihadap-hadapkan dengan laki-laki, untuk mempromosikan kesamaan hak, kepentingan dan isu-isu menurut pertimbangan gender. Jadi, seperti halnya suatu ideologi, gerakan politik atau filsafat manapun, tidak pernah didapati bentuk feminis yang tunggal dan universal yang mewakili semua aktivis feminis.
Dalam menggemakan feminis anarkhis, seperti Emma Goldman, telah berasumsi bahwa hirarkhi dalam bisnis, pemerintahan dan semua organisasi perlu dirombak dengan desentralisasi ultra-demokrasi. Sebagian feminis lainnya berpendapat bahwa pemimpin pusat (central leader) dalam organisasi apapun berasal dari struktur kekeluargaan yang andosentrik. Maka struktur seperti ini perlu dirombak. Oleh sebab itu, para sarjana tersebut melihat bahwa esensi feminisme sebenarnya adalah isu seks dan gender.
Para aktivis politik feminis pada umumnya mengkampanyekan isu-isu seperti hak reproduksi, (termasuk hak yang tidak terbatas untuk memilih aborsi, menghapus undang-undang yang membatasi aborsi dan mendapatkan akses kontrasepsi), kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan keibuan (maternity leave), kesetaraan gaji, pelecehan seksual (sexual harassment), pelecehan di jalan, diskriminasi dan kekerasan seksual (sexual violence). Isu-isu ini dikaji dalam sudut pandang feminisme, termasuk isu-isu patriarkhi dan penindasan.
Sekitar tahun 1960an dan 1970an, kebanyakan dari feminisme dan teori feminis telah disusun dan difokuskan pada permasalahan yang dihadapi oleh wanita-wanita Barat, ras kulit putih dan kelas menengah. Kemudian permasalahan-permasalahan tersebut diklaim sebagai persoalan universal mewakili seluruh wanita. Sejak itu, banyak teori-teori feminis yang menantang asumsi bahwa “perempuan” merupakan kelompok individu-individu yang serba sama dengan kepentingan yang serupa. Para aktivis feminis muncul dari beragam komunitas dan teori-teorinya mulai merambah kepada lintas gender dengan berbagai identitas sosial lainnya, seperti ras dan kelas (kasta). Banyak kalangan feminis saat ini berargumen bahwa feminisme adalah gerakan yang muncul dari lapisan bawah yang berusaha melampaui batasan-batasan yang didasarkan pada kelas sosial, ras, budaya dan agama, yang secara kultural dikhususkan dan berbicara tentang isu-isu yang relevan dengan wanita dalam sebuah masyarakat.[5]
Sedangkan pengertian paham kesetaraan jender –seperti yang dikutip Nasaruddin Umar dari Women’s Studies Encyclopedia–, adalah “konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”.[6] Ada beberapa definisi jender lainnya yang dia kutip, namun mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda, yang pada intinya tidak terlepas dari tiga kata kunci: laki-laki, perempuan dan kebudayaan.
Perkembangan Wacana Kesetaraan Gender dalam Studi Islam di Indonesia
Di atas telah disinggung sekilas tentang usaha-usaha membumikan paham kesetaraan gender di lingkungan pendidikan tinggi, seperti penyusunan kurikulum, diktat perkuliahan, tugas akhir akademis baik yang berupa skripsi, tesis maupun disertasi, serta penyelenggaraan seminar dan pelatihan. Pada sub bab ini, penulis akan menguraikan sebagian kecil contoh dari gerakan feminisasi pendidikan, khususnya dalam penerbitan buku.
1) Pengantar Kajian Gender yang ditulis oleh Tim Penulis Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku yang diterbitkan atas kerjasama dengan McGill-ICIHEP ini merupakan kumpulan makalah yang menjadi bahan pengajaran mata kuliah gender di tingkat universitas. Buku ini menguraikan sejarah, konsep dan perkembangan fahaman feminisme, sejarah pergerakan perempuan di Indonesia, metode penelitian berasaskan gender, analisis gender, dan kajian gender dalam Islam.
2) Pengarusutamaan Gender dalam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ditulis oleh Andayani, dkk., dan diterbitkan oleh Pusat Studi Wanita UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang bekerjasama dengan Mc.Gill IISEP. Buku ini menguraikan panduan (guidance) untuk melaksanakan kaedah pengarusutamaan gender dalam strategi pembelajaran dan sistem manajemen di UIN Sunan Kalijaga.
3) Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender ditulis oleh Aksin Wijaya. Buku ini asalnya merupakan tesis master di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia menguraikan perlunya memandang al-Qur’an secara terpisah, antara kedudukannya yang sakral-absolut di satu sisi dan yang profan-fleksibel/relatif di sisi lain. Menurut Aksin bahwa yang sakral dalam al-Qur’an hanyalah pesan Tuhan yang ada di dalamnya, dan itu pun masih belum jelas, karena masih dalam tahap pencarian. Oleh sebab itu tidak salah jika manusia bermain-main dengan mushaf al-Qur’an.
4) Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menulis beberapa elemen dasar ajaran Islam yang mengukuhkan landasan teori gender melalui bukunya yang berjudul Gender Dalam Perspektif Islam. Di dalam bukunya yang diterbitkan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan ini, dia menguraikan prinsip-prinsip tauhid dan ajaran Islam yang tidak membedakan jenis kelamin dan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sebagai pintu masuk untuk menjustifikasi kesetaraan gender. Di samping itu dia juga menjelaskan perlunya penafsiran ulang terhadap al-Qur’an dan al-Hadith. Ini karena tafsiran yang ada merupakan rekayasa dan konspirasi ulama untuk menempatkan perempuan sebagai korban, baik di dalam rumah tangga maupun di ranah publik. Penolakan terhadap formalisasi shari’ah di beberapa kawasan di Indonesia juga dibincangkan untuk menjamin adanya keadilan terhadap hak-hak perempuan.
5) Dra. Hj. Sri Suhandjati Sukri (editor) mengedit kumpulan makalah yang diterbitkan dalam buku berjudul: Bias Jender Dalam Pemahaman Islam (Jilid I) dan Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender (Jilid II). Buku ini menguraikan adanya ketidakadilan jender dalam memahami teks-teks keagamaan. Kedua buku ini ditulis oleh para dosen IAIN Walisongo Semarang dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang merupakan aktivis di dalam Pusat Studi Jender (PSJ). Dengan menggunakan metode kritik sejarah dan hermeneutika, pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadith yang dipandang merugikan perempuan, dipermasalahkan kembali. Isu-isu berkenaan dengan hak perempuan sebagai wali kawin, imam shalat, pemimpin negara dan rumah tangga, relativitas batasan aurat perempuan, kebolehan perempuan pergi tanpa mahram, kesaksian perempuan setengah laki-laki, menolak perbedaan lelaki dan perempuan di dalam aqÊqah, air kencing bayi dan hak waris dibahas dalam perspektif gender.
6) Isu-Isu Gender Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar & Menengah diedit oleh Waryono Abdul Ghafur, M.Ag dan Drs. Muh. Isnanto, M.Si. Buku ini mengkritisi buku-buku pelajaran agama, khususnya Fiqh, Tafsir dan Hadith yang diajarkan di berbagai sekolah dasar hingga menengah yang dianggapnya menindas perempuan. Buku yang diterbitkan atas kerjasama antara PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan McGill IISEP Jakarta ini merupakan salah sebuah upaya untuk menghilangkan unsur-unsur patriarkhisme dalam kurikulum pendidikan. Isu-isu yang diangkat sebagai bentuk benih-benih penindasan terhadap perempuan di antaranya yaitu adanya ilustrasi gambar anak-anak yang sedang mengerjakan ÏahÉrah, shalat berjama’ah, adhÉn, iqÉmah, puasa, tadarrus al-Qur’an, imam, aktivitas membangun masjid, memotong hewan kurban dan lain-lain didominasi laki-laki. Di samping itu, buku ini juga memaparkan kritik terhadap pembedaan lelaki dan perempuan dalam gerakan shalat, pakaian iÍrÉm, kurangnya ditampilkan perawi hadith dari kalangan perempuan, dst. Metode pembahasan yang digunakan dalam buku ini adalah analisis gender dan tafsir hermeneutika.
7) M. Nuruzzaman menulis buku berjudul Kyai Husein Membela Perempuan. Kajian buku ini awalnya merupakan tesis masternya di Universitas Indonesia di fakultas sosiologi. Dalam bukunya ini, dia menguraikan pandangan-pandangan Kyai Husein Muhammad, seorang kyai feminis di Cirebon, tentang paham kesetaraan gender. Pembahasan buku ini hanya terbatas kepada kajian kasus di kalangan pondok pesantren sebagai institusi pendidikan Islam klasik yang berwawasan gender dan menghargai kesetaraan antara lelaki dan perempuan.
8) Zunly Nadia dalam bukunya yang berjudul Waria, Laknat atau Kodrat!?, menguraikan pembelaan terhadap eksistensi waria (mukhannath) yang terasing dari ruang sosial, budaya dan politik. Buku ini pada awalnya adalah hasil skripsi (tesis) sarjana S1 di fakultas Ushuluddin, bagian Tafsir Hadith. Argumen dan dukungan terhadap kaum waria dalam buku ini dilengkapi dengan teks-teks al-Qur’an dan al-Hadith, kemudian dipahami berdasarkan konteks realitas sosial masyarakat setempat.
9) S. Edy Santosa (Ed.,) mengedit kumpulan makalah dalam buku yang berjudul Islam dan Konstruksi Seksualitas. Buku ini awalnya merupakan himpunan kertas kerja dalam seminar Nasional yang berjudul: “Islam, Seksualitas dan Kekerasan terhadap Perempuan”, yang diprakarsai oleh PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang bekerja sama dengan Ford Foundation, 26-29 Juli 2000. Buku ini menguraikan berbagai realitas sosial dan tafsiran agama berkenaan dengan wujudnya diskriminasi, marjinalisasi dan kekerasan terhadap perempuan.
10) Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) menerbitkan buku berjudul Wajah Baru Relasi Suami-Istri, Tela’ah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn melalui kerjasamanya dengan The Ford Foundation. Buku ini mengkritik Kitab ‘Uqud al-Lujjayn yang ditulis oleh Syaikh Nawawi al-Bantani yang membahas hubungan suami-isteri, masalah-masalah rumah tangga, kewajiban dan hak suami-isteri, ibadah dan tingkah laku perempuan. Kajian buku ini hanya terbatas pada kritik dan ulasan terhadap hadith-hadith yang dipandang turut mengekalkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, kemudian membahasnya dengan pendekatan kontekstual melalui metode kritik sejarah.
11) Dr. Nasaruddin Umar, MA, menulis buku berjudul: Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an. Buku ini awalnya adalah tesis Ph.D-nya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN). Dia menguraikan kritik terhadap berbagai metode dan pendekatan dalam memahami teks keagamaan, seperti tafsir, ‘UlËm al-Qur’Én dan fiqh yang dinilainya bercorak patriarkhis. Metode pemahaman nas al-Qur’an dan al-Hadith yang ada sejak zaman Sahabat diklaim turut memberi dukungan atas munculnya ketidakadilan jender, seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca dan QirÉ’at; pengertian kosa kata; penetapan rujukan kata ganti (ÌamÊr); penetapan batasan pengecualian; penetapan arti huruf ‘aÏf, pengaruh riwayat isra’iliyyat, ketidakadilan jender dalam struktur bahasa Arab, kamus bahasa Arab, metode tafsir, dan pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqh. Kemudian dia mengusulkan perlunya metode dan pendekatan baru dalam memahami teks-teks wahyu, seperti metode kritik sejarah dan tafsir hermeneutis.
12) Srinthil, Media Perempuan Multikultural: merupakan jurnal yang membahas masalah-masalah perempuan dan hubungannya dengan agama dan realitas sosial. Edisi IV jurnal ini misalnya, mengangkat tema: “Ketika Aurat Dikuasai Surat”. Di sini diuraikan tentang hak dan kebebasan perempuan yang dirampas oleh aturan-aturan agama dan perundang-undangan negara, termasuk hak perempuan berekspresi dalam bidang seni, hak memiliki suami lebih dari seorang, hak melakukan kawin kontrak (kawin mut’ah), dan isu-isu lainnya terkait dengan ketidakadilan gender dalam perkawinan.
13) Jurnal Perempuan merupakan media akademik yang terbit setiap 3 bulan untuk mendukung perjuangan kesetaraan gender. Kajian jurnal ini mencakup isu-isu gender yang dipandang merugikan perempuan, baik berkenaan dengan realitas sosial, pemikiran keagamaan, budaya, ekonomi atau politik. Sebagai media untuk menolak hegemoni patriarkhi, maka isu-isu yang dikaji berasaskan analisis dan perspektif gender, termasuk kajian tentang pemikiran Islam, seperti metode penafsiran, fiqh, ilmu hadith dan seumpamanya.
14) Diah Ariani Arimbi menulis tesis Ph.D di Fakulti Art and Social Sciences University of New South Wales berjudul Reading the Writings Contemporary Indonesian Muslim Women Writers: Representation, Identity and Religion of Muslim Women in Indonesian Fictions. Tesis ini menguraikan isu-isu perempuan tentang kesetaraan gender di Indonesia yang didasarkan pada tulisan-tulisan empat tokohnya. Pembahasan dalam tesis ini dititikberatkan pada masalah bagaimana permasalahan gender dikonstruksi dan bagaimana konsepsi-konsepsi tentang identitas, peranan (role) dan status perempuan Indonesia dibentuk, baik sebelum atau sesudah zaman kemerdekaan.
Selain penerbitan buku-buku karya pengusung feminisme lokal, juga dilakukan penterjemahan buku feminisme manca negara. Di antaranya adalah sebagai berikut:
15) Buku “Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate” karya Leila Ahmed telah diterjemahkan dengan judul Wanita dan Gender dalam Islam: Akar-akar Historis Perdebatan Modern. Dalam bukunya ini, Leila menguraikan tentang akar-akar sejarah yang menjadi perdebatan hingga kini tentang pandangan Islam terhadap perempuan. Pembahasan buku ini dimulai dari kondisi kawasan Timur Tengah sebelum Islam, zaman kedatangan Islam dan penghargaannya terhadap perempuan. Selain itu juga dibahas masalah penafsiran dan kejumudan Islam abad pertengahan, sehingga munculnya wacana perubahan sosial dan intelektual berkenaan dengan hak dan kebebasan perempuan.
16) “Women’s Rebellion & Islamic Memory” karya Fatima Mernissi telah diterjemahkan dengan judul: Pemberontakan Wanita! Peran Intelektual Kaum Wanita Dalam Sejarah Muslim. Buku ini menguraikan fenomena ketidakadilan sosial dan budaya yang dihadapi perempuan di negara-negara muslim. Mernissi lebih banyak mengkaji isu-isu fiqh, masalah kesehatan, politik dan peranan sosial yang dipandang merugikan perempuan. Sebagai justifikasi atas idenya tentang kesetaraan gender, dia memaparkan kisah-kisah kepahlawanan para perempuan sejak masa Sahabat dan peran sosial mereka.
17) “Islam and Democracy, Fear of the Modern World” karya Fatima Mernissi ini telah diterbitkan dalam edisi Indonesia berjudul Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan. Mernissi menguraikan sejarah hitam peradaban Islam yang dipenuhi dengan pembunuhan politik, karena ketakutan para penguasa terhadap kebebasan berfikir. Buku ini juga menganalisis ketakutan di kalangan umat saat ini untuk membahas wacana demokrasi dan hak asasi manusia yang disebabkan adanya trauma sejarah dalam menempatkan perempuan di balik jilbab dan tembok-tembok pergundikan.
18) Karya Fatima Mernisi lainnya juga telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berjudul Menengok Kontroversi Peran Wanita Dalam Politik. Di buku ini dia menjelaskan masalah peran politik kaum perempuan dan realitas ketidakadilan terhadapnya. Pembahasan isu perempuan dalam berpolitik dalam buku ini lebih terfokus kepada jilbab yang merupakan indikasi perampasan hak dan kebebasan perempuan di ruang publik.
19) Haideh Moghissi menulis buku berjudul: Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Buku ini adalah terjemahan dari judul aslinya, “Feminism and Islamic Fundamentalism, The Limits of Postmodern Analysis”. Haideh memamparkan realitas sosial di kawasan Iran dan Timur Tengah tentang masalah hak dan kebebasan perempuan. Kajian buku ini didasarkan pada analisis postmodernis dan menempatkan fundamentalisme dalam Islam sebagai “rival antagonis” pembahasan untuk mengekalkan adanya kekecewaan muslim feminis dan seruan kepada perubahan sosial.
20) Budhi Munawar Rachman dkk menulis buku Rekonstruksi Fiqh Perempuan yang diterbitkan atas anjuran Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (UII). Buku ini adalah kumpulan kertas kerja yang dibentangkan dalam seminar nasional berjudul “Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Modern” di UII Yogyakarta. Ringkasnya, buku ini menguraikan perlunya perubahan fiqh konvensional yang dianggap membelenggu kaum perempuan dalam mengembangkan perannya di berbagai sektor kehidupan secara makro. Hal ini dikarenakan bangunan fiqh yang sarat dengan norma dan doktrin di satu sisi dan di sisi lainnya bernuansa permasalahan zaman klasik, sehingga fiqh klasik dipandang tidak relevan dan menghambat aktualisasi potensi kaum perempuan dalam transformasi sosial. (mm)
* Penulis adalah peneliti INSISTS dan pengajar di STID M. Natsir, DDII Jakarta serta dosen tamu di program Pascasarjana PKTTI-UI Salemba dan UIK Bogor. Tulisan ini berasal dari Makalah yang disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah Reguler InPAS ke-5 di Surabaya, pada 21 Maret 2009 dan diedit ulang oleh tim editor inpasonline.
[1] Sheikh Muhammad Nawawi ibn ‘Umar, SharÍ ‘UqËd al-Lujjayni fi BayÉn ×uqËq al-Zawjayni, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Jakarta, 1428H/2007M, hal. 9
[2] Ibn KhaldËn, al-‘AllÉmah ‘Abdurrahman ibn Muhammad, 2004, Muqaddimah Ibn KhaldËn, editor Dr. Muhammad al-IskandarÉni, DÉr al-KitÉb al-‘Arabi, Beirut, hal. 146. Teks aslinya: “Al-MaghlËb mËla‘un abadan bi l-iqtidÉ’ bi l-ghÉlib fi shi‘Érihi wa ziyyihi wa niÍlatihi wa sÉ’iri aÍwÉlihi wa ‘awÉ’idihi”
[3] Ninuk Mardiana, Kompas, 16/4/07
[4] Di antara tema-tema makalah dalam festival ACIS VII ini ialah: “Mengubah Wajah Fikih Islam”, “Syahrur, Poligami dan Perlindungan Anak di Indonesia”, “Pelanggaran Hak-hak Perempuan dan Anak dalam Praktek Poligami. Studi Kasus di Jawa Indonesia”, “HAM (Hak Asasi Manusia) dan Hak Perempuan”, “Praktik Sunat Perempuan (Female Circumission): Sebuah Dilema Islam Kontekstual dan Hak Asasi Perempuan”, dan seumpamanya.
[5] Wikipedia, the free encyclopedia
[6] Helen Tierney (ed.), Women’s Studies Encyclopedia, vol. 1, New York: Green Wood Press, h. 153 dalam Dr. Nasaruddin Umar, MA, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an, Paramadina, Jakarta: 2001, hal. 33-34, selanjutnya disingkat Argumen
Seperti yg kita ketahui bahwa kesetaraan Feminisme adalah paham yang beragam, bersaing dan bahkan bertentangan dengan teori-teori sosial, gerakan politik dan falsafah moral. Kebanyakan paham ini dimotivasi dan difokuskan perhatiannya pada pengalaman perempuan, khususny istilah-istilah ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi. atau biasa di sebut debgan fenimisme