Nativisasi di Lereng Merapi Jadi Sorotan Islamia November

Inpasonline, 3/12/10

Islamia-Republika november kemarin mengulas sebuah fakta menarik seputar nativisasi dan islamisasi di lereng Merapi. Melalui investigasi dari para penulisnya, yang memang berasal dari Jawa Tengah, Islamia ternyata berhasil menunjukkan beberapa fakta yang selama ini masih menjadi misteri bagi banyak orang, termasuk penduduk asli lereng merapi sendiri. Beberapa fakta tersebut antara lain terkait dengan kehebohan Mbah Petruk yang konon muncul ketika merapi meletus. Di samping itu, mereka telah menunjukkan sejarah dan mitos beberapa ritual tolak bala dari Gunung Merapi yang selama ini dicitrakan sebagai wajah asli penduduk Merapi. Dan yang terpenting, investigasi alumni dan mahasiswa Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ini, berhasil membuka kabut yang tertutup selama ini terkait dengan islamisasi di lereng Merapi.

Terkait dengan Mbah Petruk, yang menjadi buah bibir pasca letusan Merapi, memang menjadi salah satu mitos yang tidak bisa dipisahkan dari warga yang mendiami wilayah sekitar gunung Merapi. Ia sering dikaitkan sebagai penguasa gaib Merapi yang bertanggungjawab terhadap dunia gaib Merapi. Di samping itu, ada pula yang mengaitkannya sebagai pemuka jin yang dipundaknya keselamatan penduduk Merapi bergantung. Padahal, menurut Susiyanto, salah seorang penulis di Islamia-Republika ini, mitos itu tidak punya dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Justru Mbah Petruk, jelas Susiyanto, sebenarnya adalah seorang penyebar Islam di Merapi pada sekitar era 1700-an. Hal ini didasarkan pada sumber cerita warga Cepogo bagian atas, yang dulu menjadi basis dakwah Mbah Petruk ini.

Nama asli Mbah Petruk ini sebenarnya Kyai Handoko Kusumo. Namun karena beliau mempunyai hidung yang lebih mancung daripada kebanyakan orang Jawa, maka orang-orang biasa meyebutnya Mbah Petruk sebagaimana tokoh wayang punakawan yang bernama Petruk.  Tapi menghubungkan Mbah Petruk dengan Petruk pewayangan jelas keliru, tegas Susiyanto. Karena Mbah Petruk yang dimaksud ini adalah seorang ulama yang dimungkinkan murid dari Sunan Kalijaga. Di masa Mbah Petruk inilah ritual penceburan manusia ke kawah merapi sebagai penolak mara bahaya dan bencana diganti dengan kepala kerbau. Hal ini, tentu saja sebuah perubahan yang signifikan dan membutuhkan pendekatan yang panjang. Proses ini seharusnya dilanjutkan oleh para pendakwah selanjutnya agar tidak terjadi lagi praktik bid’ah tersebut. Namun, maraknya gerakan nativisasi menyebabkan riwayat ini stagnan dan bahkan terkesan dihidup-hidupkan lagi bahkan lebih menarik dengan berbagai alasan, salah satunya sebagai penarik wisatawan.

Arif Wibowo, yang juga penulis Islamia-Republika ini, mencatat bahwa kedatangan Islam di daerah lereng Merapi ini memang agak belakangan dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa Tengah. Dari segi topografi, wilayah ini memang relatif lebih sulit untuk dijangkau. Koordinator Pusat Studi Peradaban Islam ini memperkirakan sekitar tahun 1700-an M. baru dimulai dakwah Islam. Hal itu berdasarkan wawancaranya dengan KH. Muhammad Sholikhin dan pembacaannya terhadap buku Kareel Steenbrink. Para penyebarnya antara lain, Kyai Handoko Kusumo, Kyai Ragasari, Kyai Hasan Munadi dan Kyai Rohmadi. Arif memperkirakan nama-nama tersebut adalah para pendakwah Islam generasi kedua murid Sunan Kalijaga.

Selang tidak berapa lama dari proses dakwah Islam tersebut, Kolonial Belanda datang menghambat dan mencabik-cabik dakwah yang telah diritis tersebut. Disamping itu, proses Islamisasi yang pendek dan belum tuntas di lereng Merapi ini juga diperparah oleh sejumlah tokoh misionaris Kristen/Katolik yang menyebarkan agamanya dan melestarikan budaya-budaya pra-Islam ini. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya ritual dan tradisi pra-Islam di wilayah lereng Merapi ini masih sangat dominan. Arif mencatat, meskipun Islam sudah diterima sebagai agama baru, tetapi sisa-sisa Hindu masih terlihat dari aneka kesenian rakyat dan ritus budaya penduduk seperti wayang orang, jathilan, jalantur, seni pahat, seni lukis, jangkrik ngentir, kobro dan slawatan. Dari ragam kesenian tersebut, hanya slawatan yang mencerminkan wujud kesenian Islam, sedangkan yang lain masih sangat jelas corak sinkretisnya. Bahkan parahnya lagi, praktek mistik seperti ritual tari telanjang untuk menolak bala masih eksis sampai sekarang, yang dilakukan tiap awal bulan syura di candi Lumbung.

Anehnya, tradisi dan ritual kuno tersebut justru dikomersialisasikan oleh oknum pemerintah daerah setempat dengan berlindung di balik slogan “kearifan lokal” dan menjaga tradisi. Padahal, jika dilihat dari sejarahnya tradisi ini sangat menjijikkan dan tidak manusiawi. Sebagaimana dipaparkan Isa Anshori, beberapa ritual kuno di wilayah lereng Merapi adalah pengaruh ajaran Bhairawa Tantra yang mempunyai bentuk ritual dengan sebutan ma-lima atau panca-makara. Ritual ma-lima ini terdiri dari matsiya (ikan), mamsa (daging), madya (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang terkadang erotis atau melibatkan makhluk halus hingga kerasukan), dan maithuna (seks bebas). Di samping itu, ada juga tradisi di lereng Merapi itu berupa seks bebas dan minum-minuman keras yang dilakukan di tempat peribadatan berupa lapangan bernama lemah citra atau setra. Belum lagi ritual telanjang dan penyembelihan gadis perawan yang sisa-sisanya masih bisa ditemukan hingga sekarang. Kedatangan Islam telah mengubah ritual-ritual tersebut, dan menggantinya dengan tradisi yang lebih manusiawi seperti sekarang.(mm/rep)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *