Tayangan televisi di bulan Ramadhan dinilai masih ada yang tidak relevan dengan sipirit Ramadhan. Demikian hasil pantauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap tayangan televisi di bulan Ramadhan 1432 H ini. MUI masih menemukan muatan televisi kurang sejalan dengan standar penyiaran baik yang diatur dalam undang-undang.
“Ciri umum ketidaksesuaian dengan spirit Ramadhan adalah banyaknya dialog dan adegan yang merendahkan, memperolok, melecehkan sesama serta makian kasar. Terutama pada acara komedi yang disiarkan secara langsung,” kata Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Pusat Imam Suharjo pada konferensi pers MUI, KPI dan Kominfo di Kantor MUI Jalan Proklamasi Jakarta, Senin (22/8).
Imam Suharjo memandang pertelevisian sebagai mitra stategis untuk mencerahkan dan membentukkan karakter bangsa. Menurutnya, kecenderungan lawak dan dakwah adalah suatu hal yang kreatif, tapi menurutnya hal tersebut kurang tepat.
“Itu akan dapat mencederai peran mereka sebagai pendakwah. Penampilan ustad sebaiknya biasa saja tidak berlebihan dalam hal pakaian dan make up, dan jangan ikut melawak seperti pelawak dan jangan ikutan nyanyi seperi penyanyi,” ungkapnya.
Menurutnya, kritik dan masukan MUI bukan untuk membunuh industri pertelevisian, tapi dalam rangka membangun media yang bermartabat dan bermanfaat. “MUI menyaksikan antusiasme seluruh pengelola TV untuk menyambut menyemarakkan dan memberi warna Ramadhan baik berupa siraman spiritual, inspirasi untuk mengambil hikmah dari perjalanan hidup, hiburan yang religius maupun informasi yang bermuatan edukasi.”
“Atas semua itu, MUI memberikan apresiasi yang mendalam. Diiringi doa, semoga para pengelola TV terus istiqomah menyajikan tayangan yang membawa kemaslahatan umum,” tutur Imam.
Sementara monitoring langsung Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyebutkan bahwa tayangan dakwah merupakan tipe program yang paling sering ditonton oleh masyarakat. Acara ini dianggap oleh masyarakat dapat menambah pengetahuan, menghibur dan mendidik. Hasil ini diperoleh dari wawancara langsung kepada 200 penonton di 10 kota besar di Indonesia, oleh KPI pada 9-13 Agustus 2011.
“Kebutuhan masyarakat dalam konteks dakwah perlu dipertimbangkan porsi siarannya oleh televisi. Seperti yang kita tahu bahwa di 11 bulan selesai ramadhan, acara ini hanya ditayangkan 30 menit seharian,” ungkap Drs Sadjan, MSi, direktur pengelolaan media publik.
Menurutnya, masyarakat kini sudah mampu memilih acara yang baik untuk meningkatkan kapasitas pribadi dan lingkungannya. Masyarakat sangat menantikan hal-hal yang memberikan nilai kerohanian pada publik.
Media memiliki peranan yang strategis dalam mendukung pendidikan masyarakat. Kepada pengelola media, ia berpesan agar selama Ramadhan program televisi diisi dengan nilai positif. “Dampaknya tidak hanya untuk umat Islam saja, tapi untuk umat lain dalam rangka mewujudkan kerukunan nasional,”katanya.
Ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat menambahkan, pihaknya juga menangkap dua fenomena yang berbeda dalam penayangan program Ramadhan di tahun ini. Fenomena yang pertama adalah adanya iklan dalam adzan dan fenomena ustad yang ikut bergabung dengan berbagai program lawak di televisi ketika sahur.
Berkenaan dengan hal tersebut, KPI sudah berbincang dengan Kementerian Agama dan meminta pertimbangan kepada MUI. “KPI tidak bisa memberikan sanksi terhadap penayangan adzan yang ada iklannya, karena memang tidak ada larangan iklan dalam simbol-simbol keagamaan. Kami hanya mampu menghimbau dan memberikan peringatan untuk segera diganti,” kata Dadang.
Sebelumnya Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abdul Jamil mengimbau agar stasiun televisi menayangkan siaran yang membuat umat semakin bergairah dalam pengamalan agama.Karena itu tayangan layar kaca di bulan suci Ramadhan tidak sepantasnya diisi dengan tayangan yang sia-sia.
“Kami juga meminta agar tayangan Ramadhan yang lebih banyak banyolan untuk dihentikan,” kata Jamil. Kemenag, lanjut dia juga meminta KPI sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk menghentikan siaran yang penuh dengan adegan banyolan tersebut. (dpg/b)