Alhamdulillah, meski baru secara acak, beberapa buku tipis hasil perburuan di alun-alun utara itu mulai saya baca dan dalami. Islam dan Socialisme karya Prof. Rasyidi, Dialog Kristen/Islam, Peranan Nabi Ibrahim terhadap Jahudi, Kristen dan Islam antara Kyai Arkanuddin Masruri dan Dr. C. Groenen OFM,Ibnu Khaldun tentang Masyarakat dan Negara karya Prof. Osman Raliby, Kebudayaan Islam Dalam Perspektif Sejarah kumpulan tulisan M. Natsir dan Tinjauan Tentang Agama Masehi karya prof. Syech Abu Zahrah. Ditambah satu copyan buku milik mas Isa Anshory, Di Sekitar Kebatinan, yang merupakan polemik antara Drs. Warsito S, Prof. Rasyidi dan KH. Hasbullah Bakry, SH.
Ketika melakukan kritik terhadap faham Socialisme, Prof. Rasyidi secara dingin menguraikan tentang sejarah kemunculannya, doktrin-doktrin socialism, perkembangan pemikiran dan aliran-alirannya sampai pada konflik antara socialism tradisional dengan kelompok revisionis. Setelah kritik internal dalam tubuh socialism selesai dikupas, barulah Prof. Rasyidi menyampaikan gagasannya tentang prinsip-prinsip keadilan social dalam Islam. Demikian juga ketika beliau berpolemik dengan Dr. Warsito, salah seorang tokoh Kejawen dari Magelang, nampak sekali kedalaman pengetahuan beliau tentang agama Hindu, Budha, Union Mistique dan karya-karya sastra Jawa kuno seperti Serat Sastra Gendhing nya Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Wedhatama nya Mangkunegoro IV. Sehingga argumentasi dari Drs. Warsito yang menyatakan bahwa kejawen yang wujud saat ini merupakan agama asli orang Jawa terpatahkan dan bisa dibuktikan bahwa kejawen yang eksis saat ini merupakan produk kaum Union Mistique yang diintrodusir oleh kelompok freemasonry.
Demikian juga tidak kalah hebat adalah Muhammad Natsir, yang pada usia usia 18 tahun, saat duduk di bangku MULO atau setara SMA, beliau menulis artikel dalam Bahasa Belanda untuk menjawab ceramah pendeta A.C. Christofel yang menyatakan bahwa Muhammad adalah nabi palsu. Nampak sekali kelihaian M. Natsir dalam mematahkan argument pendeta Christofel dengan pemaparan sejarah(Shirah), tafsir ayat, dan kutipan para ahli Al Qur’an. Bahkan Natsir paham bahwa tudingan pendeta tersebut bersumber dari tulisan para orientalis seperti Noldeke, Juynboll dan Snouck Hurgronje, rujukan Al Qur’annya berpedoman pada terjemahan Dr. S. Keijzer yang banyak kesalahan dan kecerobohan di dalamnya. Natsir membandingkannya dengan karya penulis Barat lain seperti Sale yang cukup obyektif terhadap Al Qur’an. Dan itu dilakukannya di usia 18 tahun.
Yang termasuk agak mutaakhirin adalah Kyai Arkanuddin. Yang menarik dalam debat kristologi ala Kyai Arkanuddin adalah kesantunan dalam diskusi. Sehingga aura diskusinya betul-betul berada dalam suasana ilmiah, bukan didominasi milleu emosional. Ketika Dr. C. Groenen, yang dalam penguasaan Bahasa Indonesia nya masih ada kekurangan, sebelum menjawab Kyai Arkanuddin lebih dahulu menjelaskan bagian-bagian yang belum jelas dari uraian Dr. C. Groenen. Selain itu nampak sekali sisi kerendah hatian beliau.
“Lebih dahulu kami memperkenalkan tentang pribadi Pater Dr. C. Groenen. Mungkin sebagian para hadirin kurang dapat menangkap uraian Pater karena bicaranya agak kaku. Maklumlah Pater adalah seorang Belanda. Ulasannya serba ilmiah dan banyak mengandung istilah-istilah yang kebanyakan masih asing bagi kita pada umumnya ……
Adapun kami, kami sendiri pun kurang dapat berbicara lancer, apalagi irama kata kami nampak berbaru pesantren, memang kami adalah kelahiran dalam keluarga pondok pesanteren Jamsaren Sala sini, dari ayah yang berbicaranya juga tidak supel.”
Namun begitu masuk ke materi dialog, nampak sekali keluasan ilmu dari Kyai Arkanuddin ini, mulai dari pemahamannya akan Al Qur’an, Bible, Sejarah maupun pendapat para ahli di bidang agama.
Kesan-kesan kesantunan, kerendah hatian namun kedalaman ilmu dan wawasan adalah hal-hal yang senantiasa kita akan temui pada karya karya para tokoh Islam masa lalu. Prof. Osman Raliby juga berhasil menyajikan ringkasan karya monumental dari Ibnu Khaldun. Berhasil mengambil gagasan pokok yang disajikan dalam bahasa yang sangat simple, sehingga dapat dimengerti oleh orang awam, bukan hanya anak kuliahan. Belum lagi bila kita menelaah karya Hamka, seorang modernis yang ahli tasawuf, yang tak segan mengutip Dostojevski ataupun Leo Tolstoy.
Dan sangat berbeda yang kujumpai saat ini …
Bid’ah … kakfir … Musyrik … Sesat … yang seringkali tanpa diikuti pembedahan secara dingin, tanpa rujukan lmu yang memadai ataupun penilaian yang adil atas fakta yang dihukumi. Seperti layaknya amukan macan yang dideskripsikan Syaikh Jangkung di atas.