Kontroversi Raperda Kota Injil

Written by | Nasional

Meskipun kota ini disebut sebagai kota Injil, warna keislaman penduduk setempat masih tampak. Tengok saja ketika maghrib tiba. Manokwari tampak tak berbeda dengan daerah lain, suara adzan dari sejumlah masjid membahana di sejumlah penjuru kota.

Menurut Kesbangpolinmas Provinsi Papua, Saman Tandakana, tidak terdapatnya larangan adzan merupakan potret toleransi masyarakat Papua yang sudah turun-temurun. Saman juga menyatakan, bahwa sejak dulu Papua mempunyai slogan, “Tiga Batu Satu Tungku”. Maksudnya, Papua terdiri dari tiga agama : Islam, Kristen, Katholik.

Namun, kondisi Manokwari yang secara umum kondusif tetap menjadi sorotan banyak pihak, khususnya Raperda Injil untuk Kota Manowari yang digagas oleh GKI Papua sejak 2005. Hingga kini Raperda Injil tersebut masih dibahas oleh kalangan akademisi dan tokoh masyarakat terkait banyaknya kontroversi yang tertuang dalam draft raperda tersebut.

Beberapa pembahasan Raperda Injil yang kontroversial diantaranya adalah; pemerintah diperbolehkan memasang simbol-simbol agama di tempat umum dan perkantoran, larangan pembangunan rumah ibadah yang sebelumnya sudah berdiri gereja, larangan mengenakan pakaian yang menonjolkan simbol agama tertentu di tempat umum, tempat pendidikan, dan perkantoran. Bahkan Raperda itu juga mengatur larangan aktivitas kerja di hari Minggu, termasuk aktivitas penerbangan di hari besar umat Kristen.

Selain itu, draft itu kini masih belum disepakati oleh sejumlah tokoh terkait. “Jika ini disahkan, saya khawatir malah akan menimbulkan gejolak, jadi memang perlu pemikiran matang,” kata Wabup Manokwari Robert Hammer.

Sejumlah komunitas Muslim akhirnya menggelar pertemuan guna merespon masalah tersebut dan menyimpulkan adanya unsur diskriminasi terhadap Muslim. Meski demikian, pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan bahwa Muslim tidak akan melarang Kota Manokwari dijadikan Kota Injil, jika isi Raperda tersebut tidak mengganggu atau membatasi umat lain dalam menjalankan ibadahnya.

“Kita semua sebagai Muslim hendaknya menahan diri, karena kita berada di kawasan non-Muslim. Dan Papua Barat masih beruntung karena masih ada wakil Muslim di Majelis Adat MRP. Kondisi ini berbeda dengan Papua Utara,” kata Musa Abdul Hakim, Ketua MUI Provinsi Papua Barat. “Jadi nantinya jika terjadi persoalan, bisa langsung dibawa ke Majelis Adat untuk mencari penyelesaiannya, dan pendekatan budaya seperti ini akan jauh lebih efektif,” imbuhnya. (ibadah/Kartika Pemilia)

Last modified: 22/10/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *