Oleh: Ainul Yaqin
Inpasonline.com-Kata phobia atau fobia berasal dari bahasa Yunani “phobos” yang berarti lari (fight), takut dan panik. Kemudian kata ini berkembang menjadi istilah psikologi, untuk menggambarkan kondisi ketakutan psikis. Ahli psikologi mengartikan fobia adalah kondisi ketakutan yang tidak terkendalikan, tidak normal kepada suatu hal atau kejadian tanpa diketahui sebabnya. Sementara ada juga yang mendefinisikan, phobia adalah ketakutan atau kecemasan abnormal, tidak rasional dan tidak bisa di kontrol terhadap situasi atau objek tertentu merupakan ketakutan khas neurotik. Sebagai simbol dari konflik-konflik neurotis, yang kemudian menimbulkan ketakutan dan kecemasan.
Dari istilah psikologi, kata ini berkembang lebih condong ke istilah sosiologi untuk menjelaskan kondisi ketakutan atau kecemasan kelompok orang kepada suatu fenomena atau kepada kelompok lain yang tidak mendasar. Berkembang istilah islamophobia untuk menyebut kondisi ketakutan yang tidak mendasar terhadap Islam.
Kata islamophobia mula-mula dipakai sekitar 1912 dalam bahasa Perancis “islamophobe”. Étienne Dinet dan Sliman Ben Ibrahim menggunakan istilah ini dalam buku La Vie de Mohammed, Prophete d’Allah (Kehidupan Muhammad, Sang Nabi Allah). Kedua penulis itu menyebut kebijakan politik resmi Prancis ketika menghadapi tentara-tentara muslim dalam perang dunia pertama sebagai islamophobia.
Islamophobia bisa tampak dari sikap-sikap yang tidak bersahabat terhadap Islam dan orang Islam, seperti yang diperlihatkan oleh sosok presiden Amerika Donald Trump. Ia sempat mengatakan kepada media menjelang kampanyenya, jika terpilih dalam pemilu akan serius menghentikan orang Islam untuk dapat masuk ke Amerika Serikat. Kebencian Trump yang berlebihan juga terlihat dari perilakunya yang arogan dalam kasus penetapan Yerosalem sebagai ibukota Israel walaupun dia berasalah keputusannya adalah melaksanakan keputusan kongres.
Islamophobia juga diperlihatkan dari munculnya stigma negatif yang diarahkan kepada Islam dan Umat Islam, seperti stigma teroris, radikal, kolot, stigma terbelakang, dan sebagainya. Penerapan standar ganda demokrasi, seperti kasus pembatalan hasil pemilu di beberapa negara ketika yang memenangkannya partai Islam, adanya larangan berjilbab bagi perempuan muslimah yang diperlihatkan oleh pemerintas Perancis, penghinaan kepada Nabi Muhammad Saw yang terjadi di Denmark dan sebagainya.
Ketakutan dan kebencian yang tidak mendasar terhadap Islam bisa terjadi karena salah faham, karena kecemburuan, atau karena mindset yang keliru atau kacau terhadap Islam. Dahulu, disaat Rasulullah Saw awal-awal menjalankan dakwah, ada orang-orang yang ketakutan terhadap dakwah beliau karena salah faham. Bahkan ada sosok sahabat Nabi Saw yang tangguh menjadi pendamping beliau, sebelumnya termasuk orang yang salah faham. Tetapi setelah mendapatkan informasi yang benar tentang Islam, akhirnya berbalik menjadi pembela Nabi. Itulah dia sahabat Umar ibn al-Khatthab.
Ada banyak juga orang-orang yang benci terhadap Islam karena cemburu. Misalnya seorang orientalis Ignaz Goldziher. Ia orientalis asal Hongaria, lahir pada 22 Juni 1850, berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Goldziher pernah berkunjung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874. Di Mesir, ia berkenalan dengan Dor Bey, seorang pejabat keturunan Swiss yang bekerja di Kementerian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey, Goldziher bisa berkenalan dengan Menteri Pendidikan Mesir, Riyad Pasha yang pada akhirnya bisa bertemu Mufti Masjid al-Azhar. Setelah bertemu dengan Mufti Masjid al-Azhar yang saat itu ia mengaku bernama Ignaz al-Majari (Ignaz dari Hungaria) dan mengaku dirinya Muslim, serta dengan kemampuannya berdiplomasi, Goldziher bisa menem-bus al-Azhar. Ia menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar, seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, dan beberapa syaikh al-Azhar lainnya.
Ignaz Goldziher hanya pura-pura masuk Islam. Dalam catatan hariannya Goldziher menyampaikan uneg-unegnya bahwa sebenarnya dia kagum dengan Islam, dengan kesempurnaannya. Tapi dia cemburu, kenapa kesempurnaan itu tidak ada pada agama yang dianutnya, agama Judaisme. Kecemburuannya itu membuat dia kagum tapi juga benci. Dengan pengalamannya belajar Islam kepada pada syeikh di al-Azhar, pengetahuannya itu tidak membuat dia menemukan hidayah, tapi malah dia gunakan untuk menciptakan keragu-raguan terhadap Islam. Produk pemikirannya yang banyak dianut para orientalis belakangnya adalah studi kajian kesejarahan terhadap al-hadits, yang intinya menciptakan keraguan terhadap otentisitas al-hadits. Bukunya yang diberi judul Muhammedanische Studien (Muslim Studies) yang diterbitkan tahun 1890, menjadi rujukan para orientalis sesudahnya.
Dewasa ini ketakutan terhadap Islam tidak hanya menghinggapi orang-orang di luar Islam. Bisa ditemukan ada juga orang Islam yang takut dengan Islam, takut jika norma atau hukum Islam menjadi aturan dalam kehidupan. Ada bayang-bayang yang tergambar seolah-olah jika Islam ditegakkan akan ada kekejaman, kekerasan, hukuman mati, pembrangusan terhadap kebebasan dan sebagainya. Muncul stigma-stigma negatif terhadap aktivis dakwah misalnya stigma Islam radikal, Islam formalis, Islam idiologis dan sebagainya.
Aneh memang, diberbagai tempat kadang disuarakan istilah Islam rahmatan lil alamiin, tapi Islam rahmat yang bagaimana yang dimaksud tidaklah jelas, karena dimana-mana menyebut Islam yang rahmat, disaat yang sama pula menolak kehadiran Islam sebagai tuntunan dalam kehidupan.
Ide penegakan syari’at Islam dianggap benih radikalisme dan tindakan intoleransi sampai-sampai ada yang menolak pendidikan Islam diajarkan di sekolah. Contohnya kata Musdah Mulia, adanya lembaga pendidikan Islam dan sekolah Islam yang berkembang ditakutkan akan memunculkan orang jihad seperti “Nurdin M Top”.
Belakangan ini ada sebuah riset yang dimotori oleh PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tujuannya memetakan literatur keislaman yang tersebar dan diakses kalangan pelajar SMA dan mahasiswa Indonesia. Peneliti mencermati peran literatur keislaman dalam persemaian ideologi Islamis di kalangan pelajar dan mahasiswa sangatlah signifikan. Ideologi Islamis umumnya menyusup melalui buku-buku dan bacaan keagamaan yang menyebar di kalangan pelajar dan mahasiswa. Pada kenyataannya, literatur yang berusaha menjajakan ideologi Islamis—yang berpusat pada tuntutan tentang totalitas penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Peneliti akhirnya merekomendasikan untuk mengimbangi penyebaran pengaruh literatur keislaman ideologis yang disebarkan jaringan penerbit Islamis, pemerintah perlu memperkuat literatur keislaman yang mengemban misi menyemai Islam arus-utama bercorak moderat, yang dapat dijadikan buku pegangan tambahan bagi pelajar dan mahasiswa dalam mempelajari Islam.
Tapi apa yang dimaksudkan dengan Islam moderat, apakah seperti kata Angel Rabasa dari Rand Coorporation? Atau yang bagaimana. Rabasa mendefinisikan muslim moderat adalah yang mau menerima pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender, demokratisasi, humanisme dan civil society.
Kemudian soal istilah Islamis, ada ideologi Islamis, ada penerbit Islamis, dan sebagainya, mengesankan seolah-olah kata Islamis menjadi momok yang menakutkan. Bukanlah Islamis artinya bersifat atau bercorak Islam, lalu ada apa dengan itu. Ada apa jika umat Islam mempunyai harapan untuk menjalankan Islam dalam seluruh aspek kehidupannya, dan ada apa pula jika memang Islam benar-benar diterapkan dalam kehidupan. Kekhawatiran ini hanyalah benih-benih islamophobia, sebuah ketakutan yang tidak mendasar yang menjangkiti sebagian dari umat Islam ini akibat mindset yang keliru.
Islam memang bukanlah hanya tuntunan budi pekerti atau tuntunan rohani. Tetapi Islam mengatur bagaimana manusia menata kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya, bagaimana mengajarkan tentang kepemimpinan, juga bagaimana manusia mengatur ekonomi atau mengais rezeki dengan cara yang benar, untuk diri dan keluarganya, dan sebagainya. Seperti penjelasan Syeikh Mahmud Syaltut, syariat Islam adalah sistem aturan yang diturunkan oleh Allah untuk manusia, yang dengannya manusia mengatur bagaimana berinteraksi dengan Tuhannya, berinteraksi dengan sesama muslim, berinteraksi dengan sesama manusia, serta berinteraksi dengan alam dan kehidupan.