Lebih Dekat dengan Al-Hadist dan Al-Sunnah

Dalam makalah ini akan ditelusuri pengertian sunnah dan hadits serta penggunaannya dalam masing-masing disiplin, perkembangan penggunaan kedua istilah tersebut serta perbedaan keduanya. Di samping itu, makalah ini juga akan meninjau kedudukan Sunnah Nabi saw dalam syariat Islam. Penelusuran ini tentu dimaksudkan untuk memperjelas kekaburan pengertian sunnah dan hadits.

II. Pengertian Hadits dan Sunnah

a. Hadits

            Kata hadits merupakan isim (kata benda) yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan.[i] Bentuk jamak dari hadits yang lebih populer di kalangan ulama muhadditsin adalah ahadits,  dibandingkan bentuk lainnya yaitu hutsdan atau hitsdan. [ii]  Masyarakat Arab di zaman Jahiliyyah telah menggunakan kata hadits ini dengan makna “pembicaraan”, hal itu bisa dilihat dari kebiasaan mereka untuk menyatakan  “hari-hari mereka yang terkenal” dengan sebutan ahadits.[iii]

            Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata hadits lalu mereka menggunakannya sebagai lawan kata qodim (lama), dengan memaksudkan qodim sebagai Kitab Allah, sedangkan yang “baru” ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. Dalam Syarah al-Bukhari, Syaikh Islam Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan hadits menurut pengertian syara’ ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan al-Qur’an adalah qodim.[iv]

            Di dalam al-Qur’an kata hadits disebut sebanyak 28 kali dengan rincian 23 dalam bentuk mufrad dan 5 dalam bentuk jamak (ahadits). Kata ini juga digunakan dalam kitab-kitab Hadits di banyak tempat. Di dalam karyanya Studies in Hadith Methodology and Literature, M.M. Azami,[v] menguraikan pengertian hadits secara lebih rinci. Menurutnya, kata hadits yang terdapat dalam al-Qur’an maupun kitab-kitab Hadits secara literal mempunyai beberapa arti sebagai berikut:

  1. Komunikasi religius, pesan, atau al-Qur’an, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Zumar: 23

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا

Artinya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an”

Juga dalam Hadits Nabi yang diriwiyatkan oleh al-Bukhari: “Sesungguhnya sebaik-baik hadits (cerita) adalah Kitab Allah (al-Qur’an)”

  1. Cerita duniawi atau kejadian alam pada umumnya, seperti dalam al-Qur’an QS. al-An’am: 68:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ

Artinya: “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain”.

            Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: “Dan orang-orang yang mendengar hadits (cerita) sedangkan mereka benci terhadapnya”

  1. Cerita Sejarah (historical stories) sebagaimana terdapat dalam QS. Taha: 9

وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى

Artinya: “Dan apakah telah sampai kepadamu kisah Musa”.

            Dan juga terdapat dalam Hadits Nabi: “Ceritakanlah mengenai Bani Israil dan tidak mengapa”

  1. Rahasia atau pecakapan yang masih hangat sebagaimana terdapat dalam QS. at-Tahrim: 3

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا

Artinya: “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa”

            Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmizy: “Apabila seseorang mengungkapkan hadits (rahasia) kemudian kemudian dia mengembara maka kata-katanya adalah suatu amanah”

Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri pada umumnya mendefinisikan hadist sebagai segala sabda, perbuatan, taqrir (ketetapan), dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.[vi] Masuk ke dalam pengertian “hal ikhwal” segala yang diriwayatkan dalam kitab-kita tarikh, seperti hal kelahirannya, tempatnya, dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diutus maupun sesudah diutus. Berdasarkan definisi tersebut, maka bentuk-bentuk Hadits dapat dibedakan sebagai berikut: 1. sabda, 2. perbuatan, 3. taqrir, dan 4. hal ikhwal Nabi saw. Kalangan ulama Ushul mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, tidak masuk dalam kategori hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum seperti urusan pakaian.[vii]

Jika kita membuka Kitab-kitab Hadits, maka akan segera kita dapatkan banyak riwayat yang tidak berkenaan dengan ucapan, perbuatan, taqrir Nabi, melainkan berkenaan dengan sahabat-sahabat Nabi. Bahkan ada beberapa riwayat yang berkenaan dengan tabi’in. Jalaluddin Rahmat dalam artikelnya[viii] memberikan contoh tentang hal ini melalui hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan an-Nasa’i yang berisi tentang khutbah yang disampaikan oleh Marwan bin Hakam, juga tentang tangkisan Abu Hurairah kepada orang-orang yang menyatakan bahwa dirinya terlalu banyak meriwayatkan Hadits. Hal ini jelas menjadikan definisi hadits di atas tersebut rancu.

Itulah sebabnya maka muncul istilah hadits mauquf, dan hadits maqtu’, suatu istilah yang mengandung kontradiksi terma, karena bukan hadits bila tidak berkenaan dengan Nabi. Kenyataan ini kemudian mendorong sebagian ulama memperluas definisi hadits. Nur al-Din ‘Itr misalnya, menganggap definisi hadits yang paling tepat adalah “apa yang disandarkan kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik atau etik dan apa saja yang dinisbatkan kepada para sahabat dan tabi’in”. Akan tetapi definisi ini kurang populer di kalangan Muhadditsin.[ix] Di samping itu, Hasbi As-Shiddieqy juga mengutip pendapat At-Thiby yang berpendapat bahwa: “Hadits itu melengkapi sabda, perbuatan, dan taqrir Nabi saw; melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi pula perkataan, perbuatan, dan taqrir tabi’in.” Dengan demikian, terbagilah hadits kepada sembilan bagian.[x]

b. Sunnah

            Secara etimologi, Sunnah berarti tata cara.[xi] Dalam kitab Mukhtar al-Shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji maupun tercela.[xii] Hasbi Ash-Shiddieqy[xiii] menambahkan bahwa suatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.

Di dalam al-Qur’an kita dapat menjumpai beberapa ayat yang menyebutkan kata “sunnah”. M.M. Azami[xiv] menelusuri pengertian istilah “sunnah” di dalam al-Qur’an, menurutnya kata “sunnah” disebutkan dalam beberapa ayat berikut ini:

  1. Surat an-Nisa’: 26

يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya: “Allah hendak menerangkan hukum syari’ah-Nya kepadamu dan menunjukkanmu ke jalan yang orang-orang sebelum kamu (yaitu para nabi dan orang-orang saleh), serta hendak menerima taubatmu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

  1. Surat al-Anfal: 38

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ

Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir, apabila mereka menghentikan perbutannya maka dosa-dosa mereka yang telah lalu akan diampuni, dan apabila mereka tetap kembali untuk melakukan perbuatan itu maka sunnah (aturan) orang-orang dahulu sudah berlaku.”

  1. Surat al-Isra’: 77

سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا

Artinya: “(Kami menetapkan hal itu) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam ketetapan Kami.”

  1. Surat al-Fath: 23

سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا

Artinya: “Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam sunnatullah itu.”

Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam al-Qur’an kata-kata “sunnah” dimaknai dengan arti secara etimologis, yaitu tata cara dan kebiasaan.

            Secara terminologi, para ulama ahli hadits mendefinisikan “sunnah” sebagai sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya. Adapun ahli Ushul Fiqih mendefinisikan “sunnah” adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang bukan berasal dari al-Qur’an, pekerjaan, atau ketetapannya. Berbeda lagi dengan ahli fiqih yang mendefinisikan “sunnah” sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw. baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.[xv]

            Orang-orang orientalis juga memberikan definisi terhadap sunnah. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa sunnah adalah istilah animisme. Ada juga yang berpendapat bahwa sunnah berarti “masalah ideal dalam suatu masyarakat”. Ada juga yang berpendapat bahwa periode-periode pertama sunnah berarti “kebiasaan” atau “hal yang menjadi tradisi masyarakat”, kemudian pada periode belakangan pengertian sunnah terbatas pada “perbuatan Nabi saw”.[xvi]

            Karena adanya perbedaan-perbedaan dalam menentukan pengertian sunnah, baik secara etimologi maupun terminologi, berikut adanya dampak dari perbedaan-perbedaan itu, maka perlu diteliti lebih dulu apa sebenarnya maksud kata “sunnah” itu.

III. Perkembangan Pengertian Hadits dan Sunnah

a. Perkembangan Pengertian Hadits

            Istilah “hadits” pada awalnya tidaklah serta merta dipahami sebagai sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwal Nabi saw., sebagaimana definisi di awal. Jika diperhatikan, istilah “hadits” mengalami beberapa perkembangan pengertian yang sangat signifikan. M. Syahudi Ismail mencatat, mula-mula hadits mengandung pengertian berita-berita atau cerita-cerita (kisah), baik berhubungan dengan masa lampu atau maupun yang baru saja terjadi.[xvii] Pengertian seperti ini paralel dengan ucapan Abu Hurairah kepada kaum Anshar. “Apakah kamu ingin aku ceritakan kepadamu tentang hadits (kisah) dari kisah-kisah Jahiliyah”.[xviii]

            Pada tahap selanjutnya, istilah hadits digunakan untuk menunjuk khabar (berita-berita) yang berkembang dalam masyarakat keagamaan secara umum, yakni belum dipisahkan antara khabar yang berupa al-Qur’an dan kahabar yang berupa sabda Nabi saw. Hal ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan: “Sesungguhnya sebaik-baik hadits adalah Kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.”[xix] Dalam Hadits tersebut, Ibnu Mas’ud mensifatkan al-Qur’an dengan sebaik-baik hadits.

            Pada akhirnya, hadits digunakan secara ekslusif untuk menunjuk Hadits-hadits Rasulullah saw. saja. Penyempitan makna hadits, yakni khusus untuk menunjuk pada Hadits Nabi saja ini, bahkan telah dimulai pada masa Nabi. Hal ini bisa dilihat dari sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yakni ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw. “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’atmu di hari kiamat?”…Kemudian Rasul menjawab, “Wahai Abu Hurairah, sungguh aku telah menyangka bahwa tak ada seorangpun yang bertanya kepadaku mengenai hadits ini yang lebih dahulu dari kamu, karena aku melihat dari perhatianmu terhadap Hadits.”[xx]

            Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa penggunaan istilah hadits mengalami perkembangan. Pada awalnya, hadit dipergunakan untuk menunjuk pada cerita-cerita dan berita-berita secara umum, kemudian mengalami pergeseran, hadits dimaksudkan sebagai khabar-khabar yang berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari konteks yang umum dan pada akhirnya, hadit secara ekslusif digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah saw.

            Mengapa pergeseran pengertian hadits ini terjadi? Mustafa Azami menjelaskan, bahwa pada masa awal Islam, cerita-cerita dan perkataan Nabi mendominasi atas segala macam komunikasi dan cerita-cerita yang lain di kalangan masyarakat pada waktu itu. Kata hadits semakin lama menjadi semakin ekslusif dan sering digunakan di kalangan bangsa Arab untuk memaksudkan hal-hal yang bersumber pada nabi. Sampai akhirnya dengan berlalunya waktu, perkataan hadits menjadi khusus dipergunakan untuk segala informasi dan komunikasi yang datang dari Nabi saw.

b. Perkembangan Pengertian Sunnah

            Istilah sunnah semula telah berkembang dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyyah dengan makna jalan yang benar dalam kehidupan personal maupun komunal.[xxi] Tradisi-tradisi Arab dan hal-hal yang sesuai dengan kebiasaan nenek moyang, oleh mereka disebut sunnah. Pengertian ini tetap dipakai dalam masa Islam di Madrasah-madrasah lama di Hijaz dan Irak. Sunnah dimaknai sebagai praktik yang telah menjadi tradisi, walaupun bukan sunnah Nabi saw.

            Pada akhir abad kedua Hijriah, khususnya di masa Imam as-Syafi’i, kata sunnah dipakai untuk arti terminologis dengan menambahi “alif dan lam” di depannya, yaitu tata cara dan syari’at Rasulullah saw. Dan ini tidak berarti pengertiannya yang etimologis itu terhapus tetapi tetap digunakan dalam arti luas. Adapun pengertian yang khusus as-Sunnah adalah tata cara dan syari’at Rasulullah saw. Sunnah dalam pengertian terminologis inilah yang mempunyai kedudukan hukum dalam syari’at Islam.[xxii]

IV. Perbedaan Hadits dan Sunnah

            Ulama muhadditsin sebagaimana telah ditunjukkan di awal, berpandangan bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang identik. Keduanya adalah sinonim sehingga sering digunakan secara bergantian untuk menyebut hal ikhwal tentang Nabi saw. Akan tetapi kajian terhadap berbagai literature awal menunjukkan bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang berbeda.

            Ketika memberi penjelasan tentang reputasi dan daya intelektual tiga tokoh, yakti Sufyan at-Tsaury (w.161), al-Awza’iy (w.157), dan Malik Ibn Anas (w.179), seorang kritikus terkenal, Abd al-Rahman al-Mahdi (w.198) mengatakan : “Sufyan at-Tsaury adalah pakar dalam hadits tapi bukan pakar dalam sunnah dan al-Awza’iy adalah pakar dalam sunnah tetapi bukan pakar dalam hadits, sedangkan Malik Ibn Anas adalah pakar keduanya.”[xxiii] Pernyataan al-Mahdi ini secara jelas menunjukkan bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang berbeda.

            Imam Ahmad Ibn Hanbal ketika mengomentari sabda Rasulullah saw. tentang seorang Muslim yang meninggal dunia dalam keadaan ihram mengatakan: “dalam hadits ini terdapat lima sunnah”. Demikian juga Aisyah ketika mengomentari hadits tentang barirah (budak wanita) mengatakan dalam barirah terdapat tiga sunnah.[xxiv]

            Ketika menyandarkan suatu hadits kepada Anas Ibn Malik, Abu Dawud menyatakan: “apabila hadits itu telah disandarkan kepada Rasul, maka tentulah demikian, tetapi menurut sunnah adalah begini”.[xxv] Subhi as-Shalih mencatat, ulama muhadditsin terkadang mengatakan: hadits ini menyalahi qiyas, sunnah, dan ijma’.[xxvi]

            Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan secara jelas bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang berbeda. Dalam kaitan ini, Hasbi Ash-Shiddieqy menyimpulkan bahwa hadits adalah amrun ‘ilmiyun nawadhirun: berita yang merupakan pengetahuan dan merupakan kunci, sedangkan sunnah amrun ‘amaliyun: perbuatan yang sudah berlaku di dalam masyarkat Muslim walaupun mengetahuinya memerlukan riwayat.[xxvii]

            Senada dengan Hasbi ash-Shiddieqy, Syuhudi Ismail juga memberikan kesimpulan yang jelas tentang perbedaan hadits dan sunnah. Ia membagi kesimpulannya menjadi dua, pertama: bila ditinjau dari segi kualitas amaliyah dan periwayatannya, maka hadits berada di bawah sunnah, sebab hadits merupakan suatu berita tentang suatu peristiwa yang disandarkan kepada Nabi walaupun hanya sekali saja Nabi mengerjakannya dan walaupun diriwayatkan oleh seorang saja. Adapun sunnah merupakan amaliyah yang terus-menerus dilaksanakan Nabi beserta para Sahabatnya, kemudian seterusnya diamalkan oleh generasi-generasi berikutnya sampai pada kita. Kedua: sebagai konsekuensinya, maka ditinjau dari segi kekuatan hukumnya, hadits berada satu tingkat di bawah sunnah.[xxviii] Meskipun keduanya berbeda, tetapi ditilik dari segi subjek yang menjadi sumber asalnya, maka pengertian keduanya adalah sama, yakni sama-sama berasal dari Rasulullah saw. dengan dasar inilah jumhur ulama muhadditsin memandang identik antara sunnah dan hadits.

V. Sunnah dalam Syariat Islam

a. Kedudukan Rasulullah dalam Syariat Islam

            Untuk mengetahui kedudukan sunah Rasulullah saw. dalam syari’at Islam, kita perlu melihat dasar-dasarnya dalam al-Qur’an yang menjelaskan kedudukan Rasulullah saw. Di dalam al-Qur’an kita bisa melihat bahwa Rasulullah mempunyai tugas dan peran sebagai berikut:

  1. Menjelaskan Kitabullah

Allah berfirman:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan. (an-Nahl: 44).

  1. Rasulullah merupakan Teladan Baik yang wajib dicontoh oleh setiap Muslim.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan Hari Kiamat dan ia banyak menyebut Allah (al-Ahzab: 21)

  1. Rasulullah wajib ditaati

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Artinya: Wahai orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. (al-Anfal: 20)

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

Artinya: Barangsiapa taat kepada Rasulullah maka berarti ia taat kepada Allah. (an-Nisa’: 80)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Artinya: Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (an-Nisa’: 69)

  1. Rasulullah Saw mempunyai wewenang (kekuasaan) untuk membuat suatu aturan.

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آَمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Artinya: Orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, yang namanya mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan selain Dia. Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya), dan ikutilah dia supaya kamu mendapatkan petunjuk.” (al-A’rof: 157-158)

            Dari keterangan ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa taat kepada Rasulullah saw adalah suatu kewajiban, sebab taat kepada Allah juga disyaratkan taat kepada Rasulullah. Dan setelah Rasulullah wafat kataatan itu diwujudkan dalam menerima dan mengikuti sunnah-sunnahnya. Oleh karena itu umat Islam sejak periode-periode pertama secara praktis telah sepakat untuk menerima dan memakai Sunnah-sunnah Rasulullah saw. Sebagai perwujudannya, hukum-hukum yang mereka terapkan sejak zaman Nabi tidak pernah menyimpang dari ketentuan-ketentuan itu.

b. Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an

            Sunnah berfungsi menopang al-Qur’an dalam menjelaskan syari’at Islam. Bentuk penopang tersebut dapat dirumuskan ke dalam tiga hal sebagai berikut:

Pertama, Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, merinci ayat yang mujmal, mentakhsis ayat yang umum –meskipun kekuatan sunnah dalam mentakhsis ayat al-Qur’an yang umum masih diperselisihkan ulama, dan menjelaskan ayat al-Qur’an yang nasikh dan mansukh- menurut jumhur ulama yang berpendapat adanya kemungkinan nasakh pada sebagian hukum-hukum al-Qur’an. Diantara contoh-contoh sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an adalah seperti pejelasan tentang shalat, zakat, dan lain-lainnya. Misalnya, Imam Syafi’i menganggap bahwa hadits di bawah ini

لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا وَلاَ عَلَى اِبْنَةِ أُخْتِهَا وَلاَ اِبْنَةِ اَخِيْهَا

Artinya: Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama dengan bibi dari jurusan bapak, bibi dari jurusan ibu, kemenakannya (anak dari saudara perempuannya), dan kemenakannya (anak dari saudara laki-laki). (HR. Imam Ahmad)

Hadits ini menurut Imam Syafi’i, mentakhsis firman Allah:

وَاُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذلِكُمْ

Artinya: Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (QS. an-Nisa’: 24)

Nampaknya Imam-imam yang lain sependapat dengan asy-Syafi’i dalam kaitannya dengan hadits tadi, mseki masih diperselisihkan tentang kekuatannya, apakah tergolong hadits ahad atau hadits masyhur.

            Kedua, sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah ditetapkan nash al-Qur’an. Misalnya, Sunnah datang dengan membawa hukum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuan-ketentuan pokok tersebut. Di antara contoh hadits semacam ini adalah masalah li’an. Al-Qur’an telah menerangkan dengan jelas dan sempurna masalah ini, kemudian sunnah memberikan ketetapan untuk memisahkan suami-isteri itu dengan jalan perceraian. Perceraian ini mengandung hikmah, karena tsiqoh (kepercayaan) yang menjadi dasar kehidupan berumah tangga telah hilang dari suami-isteri itu.

            Ketiga, Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Qur’an, tidak pula merupakan tambahan terhadap nash al-Qur’an. Di antara contoh sunnah semacam ini adalah pelarangan memakan keledai kampung (al-humur al-ahliyah), daging binatang buas, dan  beberapa ketentuan tentang diyat[xxix].

            Dari keterangan tersebut di atas jelaslah bahwa memakai al-Qur’an saja dan meninggalkan Sunnah adalah sesuatu yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-hukum yang diwajibkan oleh Allah maka berarti ia menerima Sunnah-sunnah Rasul-Nya serta menerima hukum-hukumnya. Begitupula orang yang menerima sunnah-sunnah rasul, ia berarti menerima perintah-perintah Allah. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam kaitannya dengan kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok (ashl) yang satu, yakni nash. Keduanya saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan syari’ah.[xxx]

            Dalam konteks ini Imam asy-Syatibi berkata: “Di dalam melakukan istinbath hukum, tidak seyogyanya hanya membatasi dengan memakai dalil al-Qur’an saja, tanpa memperhatikan pejabaran (syarah) dan penjelasannya (bayan), yaitu sunnah. Sebab di dalam al-Qur’an terdapat banyak hal yang masih global seperti keterangan tentang sholat, zakat, haji, puasa dan lain-lainnya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus menengok keterangan dari sunnah.”

c. Kehidupan Keseharian Nabi

            Telah dijelaskan di depan bahwa Sunnah Nabi meliputi perkataan, perbuatan, dan keputusan (ketetapan) Nabi. Dan tidak diragukan lagi, bahwa setiap perkataan dan keputusan nabi termasuk ajaran dan hujjah dalam agama. Jika begitu, apakah setiap perbuatan Nabi dalam hal pakaian dan makanan juga termasuk ajaran agama?

            Para ulama telah membagi perbuatan-perbuatan Nabi kepada tiga macam:

Pertama, perbuatan yang menyangkut penjelasan syari’at, seperti shalat, puasa, haji, aqad muzara’ah (bagi hasil) dan hutang piutang yang dilakukan Nabi. Aneka ragam perbuatan Nabi semacam itu merupakan syari’at yang harus diikuti. Misalnya, praktek-praktek jual beli yang dijalankan Nabi berarti menunjukkan bahwa jual beli tersebut hukumnya mubah. Dan, setiap perbuatan-perbuatan keagamaan (amal diniyah) yang dilakukan Nabi tidak lain merupakan rincian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal (global).

            Dengan demikian dapat kita katakan, bahwa perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan terhadap syari’at terbagi dua macam :

  1. Perbuatan-perbuatan yang menjelaskan syari’at yang masih mujmal
  2. perbuatan-perbuatan Nabi yang menunjukkan bahwa perbuatan itu hukumnya mubah.

Kedua macam perbuatan ini, hukum-hukumnya berlaku umum, tidak hanya berlaku terbatas pada Nabi saja.

            Kedua, perbuatan yang dilakukan Nabi, yang berdasar dalil dinyatakan bahwa perbuatan itu khusus berlaku untuk Nabi, seperti perkawinannya yang lebih dari empat isteri.

            Ketiga, perbuatan Nabi yang dikerjakan yang merupakan tuntutan tabi’at kemanusiaan atau adat istiadat yang berlaku di negeri Arab, seperti memakai pakaian, makanan, dan barang-barang halal yang diperoleh serta cara-cara memperolehnya dan sebagainya. Itu semua merupakan perbuatan-perbuatan Nabi yang dilakukan sesuai dengan tabi’at kemanusiaannya dan adat istiadat kaumnya.

Diantara hal-hal yang masih diperdebatkan oleh sebagian ulama, dari segi apakah perbuatan atau kebiasaan Nabi itu termasuk dalam konteks menjelaskan hukum syara’ ataukah dalam konteks adat kebiasaan masayarakat Arab, seperti perbuatan Nabi merawat jenggot. Kebanyakan ulama menganggap bahwa perbuatan itu termasuk Sunnah yang harus diikuti. Mereka menguatkan pendapatnya itu dengan sabda Nabi saw:

قَصُّوا الشَّارِبَ وَاعْفُوا الِّلحْيَ

Artinya: Cukurlah kumismu dan biarkanlah tumbuh panjang jenggotmu

            Dengan dalil hadits ini, mereka berpendapat bahwa mencukur kumis dan memelihara jenggot bukanlah merupakan adat, akan tetapi terkait dengan hukum syara’.

            Sedang para ulama yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi memelihara jenggot itu termasuk adat, bukan penjelasan hukum syara’, mengemukakan alasan bahwa larangan (nahi) tidak mesti mengandung arti keharusan, berdasarkan ijma’ ulama. Perbuatan Nabi itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh hal lain, yaitu larangan menyerupai atau meniru orang Yahudi dan orang-orang ‘ajam (non-Arab) yang memelihara kumis dan mencukur jenggot. Alasan ini memperkuat bahwa perbuatan Nabi itu dapat dilihat dari segi adat.

VI. Kesimpulan

            Meskipun istilah Hadits dan Sunnah telah umum di kalangan umat Islam bukan berarti keduanya sudah dipahami dengan baik. Justru terdapat beberapa perbedaan pendapat dalam mendefinisikan Hadits dan Sunnah. Hal itu Karena disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dari para ulama. Antara ulama ahli Fiqh dan ulama ahli Hadits mempunyai definisi tersendiri yang berimplikasi pada penyikapan terhadap keduanya. Belum lagi perbedaan antara Hadits dan Sunnah yang juga terdapat perbedaan di kalangan ulama. Sebagian ada yang menyamakan antara keduanya dan sebagian yang lain membedakan keduanya dengan menyertai dalil masing-masing.

            Adapun kedudukan Sunnah dan Hadits dalam syari’at Islam tidaklah banyak perbedaan pendapat. Jumhur ulama sepakat bahwa Sunnah-Hadits merupakan sumber kedua dalam hukum Islam setelah al-Qur’an. Hal itu sudah diakui oleh kalangan ulama Fiqh dan ulama Hadits, kecuali segelintir kelompok yang membantahnya, yaitu kelompok inkar-sunnah. Berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an maupun Hadits sendiri, tidaklah benar hanya berpegang pada al-Qur’an tanpa mempertimbangkan Sunnah-sunnah Rasulullah saw.

DAFTAR PUSTAKA

            Al-Qaradhawi, Yusuf. 1997. Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan. (terj). (Surabaya: Dunia Ilmu)

            Al-Syafi’i. 1358/1940. ar-Risalah, Editor Ahmad Syakir, (Cairo:)

            As-Shalih, Subhi. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (terj). (Jakarta: Pustaka Firdaus)

            As Shiddieqy, M. Hasbi. 1967. Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah. (Jakarta: Bulan Bintang)

             As Shiddieqy, M. Hasbi. 1991. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Jakarta: Bulan Bintang)

            As Siba’i, Musthafa. 1978. As Sunnah Wa Makanatuha fi  At Tasyri’ Al Islami. (Cetakan kedua) (Dimasyq: al-Maktab al-Islami)

            Azami, Muhammad Mustafa. 1977. Studies in Hadith Methodology and Literature (Indianapolis: Islamic Teaching Centre)

            Azami, M.M. 2006. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus)

            Goldziher, Ignaz. 1981. Introduction to Islamic Theology and Law. (terj). (Princeton: Princeton University Press)

            Ham, Mashadi. 2000. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Hukum Islam. (Semarang: Aneka Ilmu)

            Ismail, M. Syuhudi. 1988. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. (Jakarta: Bulan Bintang)

            Munawwir, A.W. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. (Edisi Kedua). (Surabaya: Pustaka Progresif)

            Rahman, Fazlur. 1979. Islam. (edisi kedua). (Chicago: University of Chicago Press)

            Rahmat, Jalaluddin. “Pemahaman Hadis: Perspektif Historis” dalam Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam. (Bandung: Yayasan Muthahhari, 17 Vo;. VII / Tahun 1996)

            Rasyid, Daud. 2002. Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan. (Jakarta: Akbar)

            Zahrah, Muhammad Abu. 2005. Ushul Fiqih. (cetakan ke-9) (Jakarta: Pustaka Firdaus)

            Zuhri, Muh. 2003. Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologi. (Yogyakarta: Tiara Wacana)

 

                [i] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi Kedua, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),  hlm. 242

                [ii] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 20

                [iii] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits (terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 15

                [iv] Ibid., hlm 16

                [v] Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Indianapolis: Islamic Teaching Centre, 1977), hlm. 1-2.

                [vi] Demikian pendapat al-Hafidh dalam Syarah al-Bukhari, M. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit. hlm. 22

                [vii] Ibid., hlm. 23

                [viii] Jalaluddin Rahmat, “Pemahaman Hadis: Perspektif Historis” dalam Al-Hikmah Jurnal Studi-Studi Islam, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 17 Vo;. VII / Tahun 1996), hlm. 21-31

                [ix] Mashadi Ham, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Hukum Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hlm. 33

                [x] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 23

                [xi] Lisanul al-‘Arab: kata “sunan”

                [xii] Mukhtar al-Shihah, hlm. 339. Lihat Juga M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit. hlm. 24.

                [xiii] Ibid, hlm. 24

                [xiv] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 16-18.

                [xv] Ibid., hlm. 14

                [xvi] Fazlurrahman, Islam

                [xvii] M. Syuhudi Ismail, Pengantar, hlm. 7; lihat juga M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm.35

                [xviii] Ibid., hlm. 7-8

                [xix] HR. Imam al-Bukhari

                [xx] HR. Imam al-Bukhari

                [xxi] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 37

                [xxii] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, op.cit. hlm. 20

                [xxiii] Mashadi Ham, Evolusi Konsep Sunnah, op.cit. hlm. 40. Hasbi ash-Siddieqy, op.cit. hlm.37

                [xxiv] Ibid., hlm 41

                [xxv] M Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, op.cit., hlm. 38 

                [xxvi] Subhiy as-Shaleh, op.cit. hlm. 6

                [xxvii] M Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar, op.cit., hlm. 37 

[xxviii] M. Syuhudi Ismail, Pengantar, op.cit., hlm. 16

[xxix] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pusataka Firdaus, 2005 cetakan ke-9), hlm. 162

[xxx] Al-Syafi’i, ar-Risalah, Editor Ahmad Syakir, (Cairo: 1358/1940), hlm. 33

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *