“Pemikiran Islam di Malaysia Dinamis Terkendali”

Written by | Nasional

Diskusi rutin yang dimulai pukul 10.00 hingga 12.00 di kantor InPAS itu berlangsung cukup hangat. Abdullah al-Mustofa membagi pengetahuannya tentang pergulatan pemikiran Islam di Malaysia. “Secara umum pemikiran Islam di Malaysia bersifat dinamis-progresif, terbuka tapi terkendali,” kata alumnus STAIL Hidayatullah Surabaya itu.

Suasana alam akademik di Malaysia –menurutnya- cukup hidup. “Kegiatan ilmiah sangat ramai. Hampir setiap hari ada seminar tentang peradaban dan pemikiran, baik yang gratis maupun yang berbayar. Lembaga-lembaga kajian atau kampus kerap mengundang pembicara-pembicara dari luar negeri,” tambah Mustofa yang juga aktif di ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur.

Kajian ilmu di negeri jiran marak, kata Mustofa, karena pemerintah Malaysia sangat mendukung. Melalui Jabatan Berkuasa Agama Malaysia, pemerintah mempermudah penerbitan buku, kajian-kajian aplikatif dan penelitian. Ia bercerita bahwa hampir setiap buku yang terbit dibeli oleh pemerintah, yang kemudian disumbangkan kepada lembaga-lembaga tertentu.

Dengan suasana seperti itu, dinamika pemikiran Islam di Malaysia, simpul Mustofa, cenderung kondusif, terkendali dan dingin. Fatwa-fatwa para ulamanya diikuti dan dilaksanakan oleh pemerintah.

Kebijakan pemerintah ini menguntungkan. Arus pemikiran-pemikiran sesat dan liberal dipersempit dan tidak mendapat tempat. Sebaliknya pemerintah mendukung berdirinya lembaga-lembaga pemikiran.

Abdullah al-Mustofa menyebut ada beberapa lembaga pendidikan dan pemikiran yang berpengaruh di Malaysia. Di antaranya; The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization-University Teknologi Malaysia (CASIS-UTM), International Shari’ah Research Academy for Islamic Finance (ISRA), dan The Worldview of Islam Series (WISE).

Lewat aktivitas dari berbagai lembaga itu, pemikiran-pemikiran liberal gencar ‘dimentahkan’. Itu dilakukan karena tidak dipungkiri aktivis liberal juga ada di Malaysia. Mustofa menyebut mahasiswa IIUM ada juga yang liberal, dan di antaranya ada yang dari Indonesia.

Pemikiran-pemikiran liberal tersebut  dilawan oleh aktivis-aktivis Islam dengan mendirikan lembaga Angkatan Pemuda-pemudi Islam (API) dan Angkatan Bertindak Banteras Islam Liberal (ABABIL).

Dalam sesi diskusi, Rosdiansyah memberikan tanggapan. Dia sepakat bahwa dukungan mantan Wakil PM Malaysia Anwar Ibrahim cukup besar dalam membangun iklim pemikiran Islam. Mustofa-pun melengkapi bahwa Anwar Ibrahim membantu saat pendirian kampus ISTAC dan dia kenal baik dengan Ismail al-Faruqi, cendekiawan muslim penganjur Islamisasi sains.

Kondisi pembelajaran di Malaysia sempat dipertanyakan peserta diskusi. Muhammad Masykur dalam tanggapannya menyatakan bahwa belajar di Malaysia itu terlalu diawasi pemerintah. Sehingga menurut dia hal ini tidak menguntungkan dalam mengembangkan kreatifitas pemikiran.

“Memang pendidikan di Malaysia ada plus-minusnya,” tanggap Mustofa. Menurutnya, terlalu ketatnya hal itu membuat pelajar Malaysia cenderung kurang kritis dalam bertanya.  Kreatifitas dan daya tahannya kurang jika dibandingkan dengan pelajar Indonesia. Namun, jelas Mustofa, metode pendidikan di Malaysia harus diakui relatif lebih maju. Mereka terbuka terhadap inovasi-invovasi dari luar. Pengetahuan-pengetahuannya diaplikasikan secara langsung. Pendidikan Malaysia mengapresiasi metode-metode para ulama’ salaf dan pemikir modern.

Muhammad Saad -mahasiswa tingkat akhir Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Uluwiyah Mojokerto- yang juga hadir di diskusi itu, menceritakan informasi yang pernah ia peroleh. Bahwa kajian-kajian di Malaysia cenderung menyukai pemikiran ulama’ salaf.

“Info tersebut benar memang,” jelas Mustofa. Namun Malaysia juga terbuka terhadap inovasi-inovasi pembelajaran modern dari Barat, selama itu bersesuaian dengan Islam.

Memang, Malaysia sangat ketat dalam memberlakukan tradisi melayu yang identik dengan Islam. Rakyat kebanyakan dan pemerintah menaati etika-etika agama. Hampir tidak dijumpai kelompok yang secara terang-terangan melawan fatwa ulama. Seperti yang diungkap oleh Bahrul Ulum, para mufti di sana ditaati oleh pemerintah. Meski ada kemungkinan terjadi perbedaan fatwa antarmufti Negara bagian, namun tidak sampai terjadi polemik yang kontroversial.

Dalama diskusi itu, peserta juga membincang tokoh-tokoh nasional Indonesia yang memiliki pengaruh di Malaysia. Seperti HAMKA dan M. Natsir, ternyata hingga kini pengaruh kedua tokoh ini masih membekas di kalangan masyarakat Malaysia. Buku-buku mereka dijual dan diminati di Malaysia.

Walhasil, dinamika pemikiran Islam di Malaysia ada plus-minusnya. Meski mempersempit gerakan liberalisme dan pluralisme, akan tetapi – menurut Mustofa- pemerintah Malaysia masih lemah dalam membendung sekularisme dan feminisme. Bahkan cenderung dualis, yakni di satu sisi memerangi pluralisme akan tetapi pada sisi lain menopang kampanye kapitalisme dan materialisme.

Alhasil, di antara hal-hal positif yang bisa kita ambil dari Malaysia, misalnya, pertama, dalam hal besarnya dukungan pemerintah terhadap usaha-usaha mempersempit berkembangnya pemikiran sesat. Kedua, fatwa para ulama’ tidak diabaikan. [kh]

 

 

Last modified: 31/01/2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *