Tiga Tahap Gerakan Islah Umat Syekh Abdul Qodir al-Jilani

Written by | Sejarah Peradaban

Oleh : Amir Sahidin*

inpasonline.com – Bagi para pengkaji tasawuf, nama Syekh Abdul Qadir al-Jilani tidaklah asing, pasalnya Syekh Abdul Qadir al-Jilani merupakan seorang ulama sufi yang sangat terkenal hingga beliau digelari dengan berbagai gelar kemuliaan, seperti Sulthân al-Auliyâ’, al-Syaikh, al-Âlim, al-Zâhid, al-Ârif, al-Qudwah, Syaikh al-Islâm, Ilmu al-Auliyâ’, dan Muhyiddîn (Siyar a’lâm al-Nubalâ’, 20/439). Nama beliau pun sangat masyhur di berbagai belahan dunia, khususnya di Indonesia dengan berbagai karamahnya.

Karenanya, kajian ilmiah terhadap Syekh Abdul Qadir al-Jilani merupakan kajian menarik hingga kini. Di antara kajian menarik tentangnya adalah gerakan ishlâh yang beliau pelopori pada masanya. Di saat banyaknya kerusakan dan guncangan-guncangan pada saat itu, berupa kefanatikan terhadap madzhab, ketidakstabilan politik, teror para pengikut kebatinan Syi‘ah, dan ditambah dengan serangan pasukan Salib (Hakadza Dhahara Jail Shalâhuddîn wa Hakadza ‘Âdat al-Quds, 180-181; Shalâhuddîn al-Ayyûbi wa Wujûduhu fî Qadha’ ‘ala ad-Daulah al-Fâthimiyyah wa Tahrîr Bait al-Maqdis, 35), Syekh Abdul Qadir al-Jilani dengan kezuhudannya mampu memainkan peran dengan baik dalam gerakan ishlâh (Implementation of Zuhd in the Ishlâh Movement of Shaykh Abdul Qadir al-Jilani, 125).

Oleh sebab itu, penulis akan membahas secara khusus tentang gerakan ishlâh Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Makalah ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dan sekaligus menjadi bahan renungan serta motivasi untuk melakukan gerakan ishlâh, mengingat banyakanya kerusakan di zaman ini.

Gerakan Ishlâh

Dalam Islam gerakan ishlâh merupakan kewajiban, ia termasuk dalam kategori al-amru bi al-ma‘rûf wa al-nahyu ‘an al-munkar atau menyuruh kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Kata ishlâh, secara bahasa berasal dari kata shalaha-yashluhu-shulhun-shalâhan, artinya adalah lawan dari kerusakan. Sedangkan ishlâh adalah lawan dari membuat kerusakan atau ifsâd (Lisân al-‘Arab, 2/517). Adapun secara istilah, ishlâh adalah merubah keadaan dari yang buruk menuju yang baik; juga dari kekacauan dan perselisihan menuju kelaziman dan keistiqamahan (Ishlâh al-Ummah fî Dhau’i al-Kitâb wa al-Sunnah, 477).

Oleh karenanya, Syekh Abdul Qadir al-Jilani berpendapat bahwa ishlâh merupakan kebutuhan sangat mendasar untuk keberlangsungan suatu masyarakat yang Alah ridhai, sebaliknya, jika tidak dijalankan maka masyarakat tersebut akan hancur dan jauh dari ridha-Nya. Misi ini juga merupakan kewajiban atas setiap Muslim sesuai dengan status serta kemampuannya; seorang sultan harus mencegahnya dengan tangan (kekuatan), ulama mencegahnya dengan lisan, dan masyarakat umum mengingkarinya dengan hati (al-Ghunyah li Thâlibi Tharîq al Haq, 141-142).

Para sejarawan mencatat bahwa aktivitas dakwah atau ishlâh Syekh Abdul Qadir al-Jilani dimulai sejak tahun 512 Hijriah/1127 Masehi (al-Muntadzim fî Târikh al-Umam al-Mulûk, 17/246). Namun sebenarnya, menurut Majid Irsan al-Kailani, Syekh Abdul Qadir al-Jilani telah memulai gerakan ishlâh-nya sebelum itu, beliau sendiri telah menyatakan sudah mengajar sebelum masa menjalani persiapan diri dan mengumpulkan para sahabat serta pengikut setianya untuk melakukan hal yang sama (Hakadza Dhahara Jail Shalâhuddîn wa Hakadza ‘Âdat al-Quds, 175). Awalnya, murid Syekh Abdul Qadir al-Jilani hanya dua orang namun terus bertambah hingga jumlahnya mencapai 70.000 orang (Masâlik al-Abshâr fî Mamâlik al-Amshâr, 8/193). Semakin lama muridnya semakin bertambah sehingga area madrasah tidak dapat menampung mereka. Syekh Abdul Qadir al-Jilani lantas memindahkan lokasi pengajian dekat pagar kota Bagdad di samping Ribath-nya. Tempat baru inipun ramai didatangi masyarakat dan banyak orang yang bertaubat di hadapannya (Hakadza Dhahara Jail Shalâhuddîn wa Hakadza ‘Âdat al-Quds, 175).

Dalam melaksanakan gerakan ishlâh ini, setidaknya ada tiga hal yang dilakukan Syekh Abdul Qadir al-Jilani, yaitu: Pertama: mengembalikan makna zuhud kepada makna yang benar. Kedua, membuat pengajaran dan pendidikan jiwa yang sistematis. Ketiga, memberi ceramah dan berdakwah kepada masyarakat secara umum. (Hakadza Dhahara Jail Shalâhuddîn wa Hakadza ‘Âdat al-Quds, 185) Adapun rinciannya adalah sebagai berikut ini:

Mengembalikan Makna Zuhud

Zuhud merupakan salah satu maqam sufi yang sangat penting. Ia secara etimologi adalah berpaling dari sesuatu dan meninggalkannya, (al-Zuhdu, 10) atau lawan dari cinta dunia (Mukhtashâr Minhâj al-Qâshidin, 324). Dalam arti lebih luas, al-Taftazani menerangkan, “Zuhud bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi. Akan tetapi ia adalah hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, mereka tetap bekerja dan berusaha akan tetapi kehidupan duniawi tersebut tidak menguasai kecenderungan hati mereka, serta tidak membuat mereka ingkar terhadap Tuhannya” (Madkhal ilâ al-Tashawuf al-Islâmy, 72). Karenanya, orang kaya pun pada saat yang sama dapat menjadi orang yang zuhud. (Mukhtashâr Minhâj al-Qâshidin, 324)

Makna zuhud seperti itulah yang dipahami oleh Syekh Abdul Qadir al-Jilani, jauh-jauh hari sebelum ulama di atas Syekh Abdul Qadir al-Jilani telah menerangkan bahwa, orang yang jujur dengan kezuhudannya, maka ia akan makan dan berpakaian secara zahirnya, sedangkan hatinya penuh dengan kezuhudan di dalamnya dan selainnya (al-Fath al-Rabbâni wa al-Faidh al-Rahmâni, 114). Bahkan beliau mengatakan dengan jelas tentang hakikat zuhud, “Ada manusia yang memiliki dunia di tangannya akan tetapi ia tidak mencintainya; ia memilikinya (dunia) akan tetapi (dunia) tidak memilikinya; dunia mencintainya sedangkan ia tidak mencintainya (dunia); dunia menjadi musuh di belakangnya adapun ia tidak menjadi musuh di belakangnya; ia memakainya tapi dunia tidak memakainya; ia memisahkan dunia dan dunia tidak memisahkannya. Sungguh telah benar hatinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka ia tidak dapat dirusak dengan harta. Ia mampu menggunakan dunia sedangkan dunia tidak dapat menggunakannya” (al-Fath al-Rabbâni wa al-Faidh al-Rahmâni, 114).

Syekh Abdul Qadir al-Jilani pun mencurakan perhatian khusus untuk meng-ishlâh tasawuf dan mengembalikannya kepada makna zuhud yang benar (Hakadza Dhahara Jail Shalâhuddîn wa Hakadza ‘Âdat al-Quds, 208). Usaha-usaha Syekh Abdul Qadir al-Jilani dalam hal ini dapat dilihat sebagai berikut: Pertama: memurnikan tasawuf dari segala penyimpangan pemikiran (teoritis) dan amalan (praktis) lalu mengembalikannya kepada tujuan utama, yaitu menanamkan nilai-nilai kebebasan yang sesungguhnya dan zuhud yang benar. Dua karya Syekh Abdul Qadir al-Jilani, yaitu al-Ghunyah li Thâlib Tharîq al-Haq (bekal yang cukup bagi pendamba jalan kebenaran) dan Fatûh al-Ghaib (membuka tabir metafisika) merupakan ringkasan buah pemikiran syekh Abdul Qadir al-Jilani mengenai masalah ini. Buku yang kedua (Fath al-Ghaib) diberi penjelasan lebih panjang (syarh) oleh Ibnu Taimiyah dalam jilid kesepuluh dari Majmû‘ Fatâwa yang diberi judul Kitâb al-Sulûk. Ibnu Taimiyah pun mengetengahkannya sebagai satu model ideal bagi zuhud yang diajarkan oleh al-Qur’an dan sunnah (Hakadza Dhahara Jail Shalâhuddîn wa Hakadza ‘Âdat al-Quds, 208).

Kedua: Mengecam kalangan sufi ekstrim. Dalam setiap ceramah dan buku-buku yang dikarangnya, Syekh Abdul Qadir al-Jilani mengecam orang-orang yang berpura-pura sufi atau merusak citra tasawuf, karena tasawuf yang benar mengandung kejernihan dan ketulusan yang tidak dapat dicapai dengan pakaian compang-camping, merubah warna wajah menjdi kuning menguruskan badan, lidah berbuih karena banyak bercerita tentang orang-orang saleh, mengerakkan jari jemari dengan tasbih dan tahlil, melainkan-tasawuf yang benar-membawa ketulusan dalam proses mencari Allah ‘Azza wa Jalla, bersikap zuhud dalam kehidupan dunia, mengeluarkan makhluk dari hatinya dan membebaskan diri selain Allah Azza wa Jalla (al-Fath al-Rabbâni wa al-Faidh al-Rahmâni, 115)

Membuat Pengajaran dan Pendidikan Jiwa yang Sistematis

Dalam bidang pendidikan dan pengajaran Syekh Abdul Qadir al-Jilani melakukan gerakan ishlâh dengan mendirikan madrasah Qadiriyah. Proyek pembangunan madrasah ini selesai pada tahun 528 H/1133 M. Abdul Qadir al-Jilani menjadikannya sebagai pusat kegiatan mengajaran, pendidikan, berfatwa dan menyampaikan nasihat (Qalâid al-Jawâhir fî Manâqib Abdul Qâdir, 5). Berbagai fakta sejarah menyebutkan bahwa madrasah ini memiliki peran sangat besar dalam memperbaiki umat dan melahirkan generasi yang siap menghadapi ancaman pasukan Salib. Karenanya, pada masa berikutnya beberapa murid madrasah ini berhasil menjadi tokoh terkemuka seperti Ibnu Qudamah yang menjadi penasehat Shalahuddin al-Ayyubi, ditambah dengan Ibnu Naja yang menjadi penasihatnya dalam bindang politik dan militer (Hakadza Dhahara Jail Shalâhuddîn wa Hakadza ‘Âdat al-Quds,187)

Dari madrasah inilah, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, mendidik mental para muridnya, menerangkan pergaulan yang baik dengan orang kaya maupun miskin, memberi pembekalan dalam bidang sosial, dan mengajarkan nilai-nilai keislaman: berupa pelurusan tauhid, konsep qadha’ dan qadar, konsep iman, konsep ulil amri (pemimpin), konsep al-amru bi al-ma‘rûf wa al-nahyu ‘an al-munkar, kedudukan dunia dan akhirat, serta masalah kenabian dan para nabi (Implementation of Zuhd in the Ishlâh Movement of Shaykh Abdul Qadir al-Jilani, 131-132).

Berdakwah Menyeru Kebenaran

Sekalipun Syekh Abdul Qadir al-Jilani sibuk mengajar dan menggembleng kader-kader murabbi namun ia tetap tidak meninggalkan forum pengajian publik yang bertujuan menyampaikan dakwah kepada masyarakat secara umum. Untuk itu, Syekh Abdul Qadir al-Jilani mengkhususkan tiga hari dalam seminggu untuk mengisi forum tersebut, yaitu, hari Jumat pagi dan Selasa malam di area madrasah, kemudian Ahad pagi di Ribath (Qalâid al-Jawâhir fî Manâqib Abdul Qâdir, 18). Sebagian besar nasihat-nasihat tersebut berhasil dihimpun dalam sebuah buku yang diberi judul, al-Fath al-Rabbâni wa al-Faidh al-Rahmâni, dilengkapi dengan catatan tanggal dan lokasi pengjiannya.

Berkenaan kajian beliau ini, Syekh Abdul Qadir al-Jilani selalu mengajak muridnya untuk memperbaiki hati dan membebaskan diri dari belenggu cinta dunia dan akhlak-akhlak yang buruk (Qalâid al-Jawâhir fî Manâqib Abdul Qâdir, 18). Selain itu, dalam ceramah beliau, Syekh Abdul Qadir al-Jilani sangat berani dalam mengkritik para ulama yang mencari keuntungan dari penguasa; mengkritik para penguasa yang terbelenggu dengan kenikmatan; serta mengkritik moral sosial yang berkebangang pada masanya (Implementation of Zuhd in the Ishlâh Movement of Shaykh Abdul Qadir al-Jilani, 133). Adapun contohnya ceramah beliau adalah sebagai berikut:

Pertama: kritik terhadap ulama yang mencari keuntungan dari penguasa. Dalam ceramah yang disampaikan di madrasahnya pada tanggal 9 Rajab 546 H/1151 M, Syekh Abdul Qadir al-Jilani berkata, “Sekiranya kamu benar-benar meraih buah dan berkah ilmu, tidak mungkin kamu pergi mengetuk pintu sultan demi mendapatkan kenikmatan dan memenuhi hasrat nafsumu. Bagi seorang ulama, kedua kakinya tidak pantas melangkah menuju pintu manusia. bagi seorang ahli zuhud, kedua tangannya tidak layak mengambil harta manusia. dan bagi seorang yang cinta Allah, kedua matanya tidak patut memandang kepada selain-Nya (al-Fath al-Rabbâni wa al-Faidh al-Rahmâni, 251).

Kedua: kritik terhadap penguasa. Dalam salah satu ceramahnya, Syekh Abdul Qadir al-Jilani mengatakan, “Banyak raja yang dianggap tuhan oleh rakyatnya. Dunia, kekayaan, kesenangan, kejayaan dan kekuatan juga dianggap tuhan. Celakalah kamu, kamu menganggap cabang sebagai akar, memandang yang diberi rizki sebagai pemberi rizki, hamba sebagai tuan, miskin sebagai kaya, lemah sebagai kuat, yang mati sabagai yang hidup. Jika kamu mengagungkan tiran-tiran dunia, fir’aun-fir’aunnya, raja-rajanya, kalangan kenglomeratnya dan melupakan Allah ‘Azza wa Jalla sehingga tidak mengagungkan-Nya, maka kamu dinilai sama seperti penyembah berhala dan kamu menjadikan orang-orang yang kamu agungkan (selain Allah) itu sebagai berhalamu (Jala’ al-Khâtir min Kalâm al-Syaikh Abdul Qâdir, 270-271).

Ketiga: kritik moral sosial yang berkembang pada masanya. Dalam salah satu ceramahnya, beliau mengatakan, “Ini zaman riya’, kemunafikan dan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Banyak orang yang berpuasa, naik haji, berzakat dan mengerjakan berbagai perbuatan baik untuk manusia, bukan untuk Allah. Kabanyakan manusia masa kini tidak memiliki Tuhan. Kamu semua memiliki hati yang mati tetapi hasrat dan nafsu yang justru hidup, kamu semua mencari dunia” (al-Fath al-Rabbâni wa al-Faidh al-Rahmâni, 20).

Selain itu, melihat kondisi masyarakat yang mengalami nasib buruk pada masanya, Syekh Abdul Qadir al-Jilani mencurahkan segenap tenaga untuk membela rakyak kecil, khususnya golongan miskin. Untuk itu ia berpendapat bahwa sikap peduli terhadap keadaan mereka merupakan salah satu syarat iman (al-Fath al-Rabbâni wa al-Faidh al-Rahmâni, 70 dan 86). Syekh Abdul Qadir al-Jilani juga melotarkan kecaman pedas kepada para gubernur yang menganiaya mereka dan mengecam orang-orang kaya yang sibuk mengurusi diri sendiri, sibuk dengan berbagai macam makanan enak, pakaian mewah, rumah megah, menghiasi diri dan menumpuk harta, tanpa memperdulikan saudara-saudaranya yang dililit kemiskinan. Oleh sebab itu, syekh Abdul Qadir al-Jilani mengeluarkan fatwa bahwa keislaman mereka hanya merupakan klaim palsu dan hanya mencari alasan untuk menjaga kesucian darah mereka dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (al-Fath al-Rabbâni wa al-Faidh al-Rahmâni, 18).

Penutup

Dari berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa gerakan ishlâh atau merubah keadaan dari keburukan menuju kebaikan menurut Syekh Abdul Qadir al-Jilani, merupakan kebutuhan sangat mendasar untuk keberlangsungan suatu masyarakat yang Allah ridhai. Ia juga merupakan kewajiban atas setiap Muslim sesuai dengan status serta kemampuannya; seorang sultan harus mencegahnya dengan tangan (kekuatan), ulama mencegahnya dengan lisan dan masyarakat umum mengingkarinya dengan hati. Dalam melakukan gerakan ishlâh ini, setidaknya ada tiga hal yang dilakukan syekh Abdul Qadir al-Jilani, yaitu: Pertama: mengembalikan makna zuhud kepada makna yang benar. Kedua, membuat pengajaran dan pendidikan jiwa yang sistematis. Ketiga, memberi ceramah dan berdakwah kepada masyarakat secara umum. Semua ini menunjukkan dan mengingatkan betapa besarnya kewajiban kita, selaku hamba Allah, untuk melakukan gerakan ishlâh sesuai dengan kemampuan masing-masing.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor

Last modified: 04/12/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *