Civilized Africa : Mengenal Hasan Abdallah al-Turabi

Kemudian pertanyaan selanjutnya, apakah orang Afrika bisa berpikir? Sebenarnya pertanyaan ini tidak terlalu istimewa karena premis mayornya adalah “orang Afrika bisa berpikir”. Yang menjadi istimewa adalah fakta atau kenyataan yang mampu melawan stigma yang selama ini dilekatkan kepada peradaban Afrika (dan orang Afrika pada umumnya) : bahwa Afrika itu uncivilized, orang Afrika memiliki volume otak yang lebih kecil dari ras lain, dan identik dengan kriminalitas (terutama stigma terhadap bangsa Afro-Amerika, yakni orang Afrika yang tinggal di Amerika Serikat).

Stigma tersebut tumbuh subur di Amerika Serikat, sebuah negara yang paling multietnis sekaligus paling rasis yang pernah ada di muka bumi; dua sisi ekstrem yang menimbulkan problem sosial berkepanjangan dalam sejarah bangsa Amerika. Sidney Poitiers, seorang aktor gaek yang bermukim di Amerika Serikat menuturkan, bahwa saat dirinya hidup di Bahama, tidak pernah ada masalah dengan warna kulitnya yang hitam. Orang-orang Bahama memperlakukan dia dengan sewajarnya meski warna kulitnya berbeda dengan mereka.

Namun ketika dia pindah ke Amerika, untuk pertama kalinya dia mengetahui, bahwa dia berbeda, oleh karena itu dia harus menerima perlakuan yang berbeda pula. Inilah kali pertama Sidney mendapatkan kenyataan dirinya hanyalah warga kelas dua hanya karena warna kulitnya.

Dan kini Amerika “takjub” bahwa warga negara kelas duanya mampu menjadi civilized dengan menjadi anggota sosialita dan academic society. Intinya, mereka bisa dibuat berbudaya.  Asal tahu saja, beberapa manuskrip  abad ke-13 yang ditemukan di Timbuktu, Afrika Barat, yang salah satunya adalah manuskrip yang ditulis tangan dengan indah milik Imam Malik mengenai syariah dan biografi Nabi Muhammad, menjadi bukti bahwa Afrika memiliki sejarah tulisan. 

Seorang teman yang kuliah di Sudan – negara terbesar di Afrika – mengisahkan para penulis buku –buku bermutu di Sudan yang kesemuanya orang Afrika. Buku-buku berbahasa Arab tersebut memiliki nilai sastra yang tinggi, sebab Sudan merupakan Sudan tempat terbaik bagi orang yang ingin mempelajari sastra Arab. Bahasa yang digunakan di Sudan – bahkan di tempat-tempat non-kampus – adalah bahasa Arab fusha (baku). Hal ini menandakan budaya ilmu di Sudan sangat tinggi. Di samping itu, Sudan merupakan negara terbesar di Afrika yang berhasil melakukan Islamisasi negaranya. Berdasarkan “Piagam Sudan”, hukum Islam ditetapkan menjadi hukum negara.

At-Turabi adalah salah seorang tokoh kunci yang sangat berpengaruh dalam proses Islamisasi di Sudan. Lahir tahun 1932 dari keluarga Muslim yang taat, Hasan Abdallah al-Turabi dididik baik secara tradisonal maupun modern. Setelah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Khartoum, Turabi kemudian belajar ilmu hukum perbandingan dan mendapat gelar doktor dari Universitas Sorbonne (Prancis) dan Universitas London (Inggris). Sehingga tidak mengherankan jika kini ia menguasai bahasa Prancis, Inggris, Jerman, Itali dan – tentu saja – Arab.

Pengalaman politiknya lebih dari cukup. Sejak menjadi mahasiswa pada tahun 1950-an, ia sudah menjadi aktivis Ikhwan al-Muslimin cabang Sudan. Ketika terjadi demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan Komunis Sudan pada Oktober 1964, perannya amat menonjol. Sejak itu Turabi terus mengupayakan agar Islam menjadi dasar negara.

Upaya ini membentur tembok ketika, pada 1969, kudeta militer terjadi di bawah komando Jafar Nimeiri. Di bawah kepresidenan Nimeiri, bandul ideologi berbalik ke kanan. Turabi dan beberapa rekan dekatnya dipenjarakan.

Tapi pada 1977, ketika legitimasi pemerintahan Nimeiri makin rapuh, rekonsiliasi dengan kelompok Islam dilakukan. Tentu saja untuk menarik simpati mereka. Turabi dibebaskan, dan bahkan ditunjuk sebagai Hakim Agung.

Ini dipandang Turabi sebagai kesempatan yang baik. Ia mengajak rekan-rekannya untuk masuk ke dalam pemerintahan. Termasuk terlibat lebih banyak di bank-bank Islam yang baru didirikan di angkatan bersenjata. Banyak orang percaya, ketika Nimeiri mengundangkan penerapan hukum Islam pada 1983, arsitek di baliknya adalah Turabi.

Tapi koalisi ini akhirnya bubar. Tingkat penindasan rezim dipandang sudah kelewat batas. Turabi kembali dipenjarakan. Tapi kali ini tidak lama, sebab pemerintahan Nimeiri sendiri jatuh pada 1985 oleh demonstrasi massa.

Pada pemilu demokratis 1986, partai yang dipimpin Turabi, Front Nasional Islam (NIF), hanya menduduki posisi ketiga. Tapi partai itu jelas makin menguat pengaruhnya dalam kancah perpolitikan Sudan, dan tetap setia pada cita-cita menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Setelah periode transisional yang pendek di bawah Sadiq al-Mahdi, cup militer kedua terjadi di Sudan pada 1989. Cup inilah yang membawa Jenderal Omar al-Bashir ke puncak kekuasaan, hingga kini. Ia mendapat dukungan penuh dari Turabi dan NIF.

 

*Penulis adalah Peneliti InPAS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *