Jejak Bakti
Kisah berikut, bisa menjadi contoh bahwa pepatah di atas tak selalu benar. Situs www.islamedia.web.id 19/9/2011 memuat kisah nyata yang –sebenarnya- telah terjadi beberapa tahun yang lalu.
Pada 27/1/2006, seorang anak di China mendapat penghargaan tinggi dari pemerintahnya karena dinyatakan telah melakukan “Perbuatan Luar Biasa”. Di antara 9 peraih penghargaan itu, dia satu-satunya anak kecil dari 1,4 milyar penduduk China.
Apa prestasi Zhang Da (ZD)? Sejak 2001, saat berusia 10 tahun, ZD ditinggal pergi ibunya. Sang ibu tak tahan hidup bersama suaminya yang sakit keras dan miskin. Sejak itu ZD hidup dengan seorang ayah yang sakit, yang tak bisa berjalan dan bekerja.
Kondisi tersebut memaksa si bocah mengambil tanggung-jawab. ZD bersekolah dan mencari makan untuk ayah dan dirinya. Juga, memikirkan obat-obat yang tak murah. Sungguh, dia masih terlalu kecil menjalankan tanggung-jawab yang berat itu. Tapi, yang membuat ZD berbeda, dia tak menyerah.
Ketika sadar bahwa hidup itu harus terus bergerak, diapun bertekad untuk memikul tanggung-jawab yang datang menyapanya lebih awal itu, yaitu meneruskan kehidupan sang ayah dan –tentu saja- dirinya sendiri.
ZD terus bersekolah. Dari rumah ke sekolah –dan sebaliknya-, ZD berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan itulah, ZD mulai memakan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang dia temui. Kadang juga dia menemukan sejenis jamur atau rumput, dan dia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu, dia tahu mana saja yang bisa dimakan.
Pulang sekolah, ZD bergabung dengan tukang batu. Dia belah batu-batu besar untuk memeroleh upah. Hasilnya, untuk membeli beras dan obat-obatan sang ayah. Hidup berat seperti itu dijalaninya selama 5 tahun. Badannya tetap sehat, segar, dan kuat.
Sejak berumur 10 tahun, ZD merawat ayahnya. Dia gendong ayahnya ke kamar mandi. Dia seka dan sekali-sekali memandikannya. Dia beli beras dan membuat bubur, juga untuk si ayah. Pendek kata, semua urusan ayahnya, dia kerjakan sepenuh tanggung-jawab dan kasih.
Obat mahal dan jauhnya tempat berobat membuat ZD berpikir untuk menemukan cara terbaik mengatasinya. Maka, sejak umur 10 tahun pula, dia mulai belajar tentang obat-obatan melalui buku bekas yang dia beli. ZD mencermati saat perawat menyuntik si ayah. Setelah dirasa mampu, dia beranikan diri menyuntik ayahnya sendiri. Itu, dikerjakannya sampai lima tahun kemudian. Di fragmen ini, ZD semakin tampak luar biasa.
Lalu, sampailah kisah ZD ke ‘atas’. ZD diputuskan pantas menerima penghargaan. Dia dinilai telah melakukan “Perbuatan Luar Biasa”.
Kini, lihatlah! ZD berada dalam suasana ‘resepsi’ penganugerahan penghargaan itu. Ketika itu, mata pejabat, pengusaha, artis, dan orang-orang terkenal yang hadir tertuju kepada ZD.
Sang pembawa acara (MC) bertanya, “ZD, sebut saja kamu mau apa. Misal, sekolah di mana? Berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah? Atau, apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu?”
“Jika saatnya nanti kuliah, mau kuliah di mana? Sebut saja. Pokoknya, apa yang kamu idam-idamkan, sebut saja. Di sini ada banyak pejabat, pengusaha, dan orang terkenal yang hadir. Kecuali itu, saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi. Mereka bisa membantumu!”
ZD terdiam. MC-pun berkata lagi, “Sebut saja, mereka bisa membantumu.”
Beberapa menit ZD masih diam. Lalu, dengan suara bergetar, ZD menjawab, “Saya mau ibu kembali. Ibu, kembalilah ke rumah. Saya bisa membantu ayah. Saya bisa mencari makan sendiri. Ibu, kembalilah!”
Semua yang hadir terkesima dan menitikkan air mata, terharu. Tak ada yang menyangka atas apa yang keluar dari lisannya itu. Mengapa ZD tidak meminta kemudahan pengobatan ayahnya? Mengapa dia tidak meminta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya? Mengapa dia tidak meminta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit? Mengapa dia tidak meminta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika dia membutuhkan, pasti semua akan membantunya? Demikian kira-kira pikiran yang ada di rata-rata orang yang hadir di acara itu.
‘Jejak’ Kesan
Membaca kisah di atas, mungkin ada yang refleks berkata: “ZD, engkau anak yang sangat membanggakan orang tua manapun. Izinkan saya memeluk dan mencium keningmu, Nak!”
Mungkin pula ada yang berefleksi: “Andai saya dalam posisi persis ZD, masih berumur 10 tahun saat menjalani ujian itu, bisakah saya seteguh dan sesabar ZD? Atau, ujian seperti itu datang ketika usia saya sudah 30, 40, atau 50 tahun dan hidup saya cukup mapan. Bisakah saya habis-habisan merawat ayah persis seperti ZD merawat ayahnya?”
Boleh jadi, ada pula yang spontan berdoa: “Yaa Allah, beri ZD hidayah-Mu, agar pengabdiannya kepada sang ayah punya nilai amal shalih di Hadapan-Mu. Beri ZD hidayah-Mu, agar setelah dia tunjukkan baktinya kepada sang ayah, diapun bisa sempurnakan baktinya kepada sang ibu. Maka, sempatkan dia yaa Allah untuk membaca riwayat ini: Datang seseorang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: “Siapa yang berhak aku layani secara istimewa?” Jawab Nabi SAW, “Ibumu!” Lalu, ditanya lagi: “Kemudian, siapa?” Jawab Nabi SAW, “Ibumu!” Masih ditanya lagi: “Lalu, siapa lagi?” Jawab Nabi SAW, “Ibumu!” Lantas, “Berikutnya, siapa pula?” Jawab Nabi SAW,”Ayahmu!” (HR Bukhari dan Muslim). Sempatkan pula ZD untuk bisa memahami ini: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)” (QS Al-Ahqaaf [46]: 15).
Terakhir, bagaimana dengan kita? Kita yang sudah ratusan kali –bahkan mungkin lebih- membaca ayat dan hadits di atas? Mari, jawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Mari berdoa: “Yaa Allah, beri kami kemudahan dalam berbakti kepada kedua ibu-bapak kami ‘sepanjang jalan’ dan bukan hanya ‘sepenggalah’. []