Yusuf Al-Qardlawi: Visi Moderasi dalam Proyek Shahwah

Yusuf Al-Qardlawi: Visi Moderasi dalam Proyek Shahwah

Tulisan ini berusaha untuk menyingkap sekilas pemikiran Yusuf al Qardlawi tentang shahwah dan gerakan-gerakan Islam yang muncul menyertainya dalam perspektif visi moderasi, yang seringkali disuarakan oleh Al Qardlawi  dalam berbagai buku dan pidatonya. Sebetulnya tulisan ini adalah bagian dari “rencana besar” kajian terhadap visi moderasi Al Qardlawi tentang berbagai tema keislaman seperti tema moderasi dalam dakwah, moderasi tentang fiqh, moderasi dalam melihat  posisi wanita dalam Islam dan lain sebagainya.

Al-Qardlawi: Biografi Singkat dan Perjalanan Intelektual

            Yusuf Al Qardlawi dilahirkan di desa Shaft Turab, distrik Al Mahallah Al Kubro, provinsi Al Gharbiyyah, Mesir, tahun 1926, dalam sebuah keluarga petani miskin yang taat beragama. Kedua orang tuanya telah wafat semenjak beliau berusia dua tahun, sehingga pamannya lah yang kemudian merawatnya dalam asuhan yang ketat[i].

            Masa kecil beliau dilalui tanpa banyak waktu luang untuk bermain dan bersukaria sebagaimana teman-teman sebayanya. Sejak berumur sepuluh tahun, setelah menyelesaikan hapalan al Qur’an dengan baik, masyarakat sering memintanya menjadi imam shalat atau memberi ceramah keagamaan.

            Al Qardlawi kecil memulai masa belajarnya saat berumur lima tahun di sebuah kuttab[ii] di kampungnya untuk menghapal al Quran. Pada usia ke tujuh beliau masuk madrasah Al Ilzamiyah, sekolah resmi di bawah naungan kementrian Pendidikan Mesir. Setelah itu beliau meneruskan belajar ke Ma’had Agama Thantha selama empat tahun, kemudian melanjutkan di Ma’had Tsanawi lima tahun, sampai ahirnya berangkat ke Kairo guna belajar di Universitas Al Azhar.

            Pada tahun 1953 beliau berhasil meraih ijazah al-Alamiyah dari Fakultas Ushuluddin dengan prestasi sebagai lulusan terbaik peringkat pertama. Kemudian meraih ijazah al alamiyah kedua kali dari Fakultas Bahasa Arab. Selanjutnya tahun  1957 Al Qardlawi mengikuti perkuliahan di Ma’had al Buhuts wa al Dirasat al Arabiyah, hingga mendapat Diploma dalam bidang Bahasa dan Sastera Arab setahun kemudian. Pada tahun 1973 gelar doktoral berhasil diraihnya dengan Martabat syaraf ula (summa cum laude) melalui disertasi berjudul “Al-Zakah wa atsaruha fii halli al-Musykilat al-ijtima’iyyah.[iii]

            Selain dikenal sebagai seorang dai kaliber internasional dan ulama akademisi yang disegani, Al Qardlawi juga sangat produktif dalam menulis. Tercatat lebih dari 80 judul buku telah dihasilkannya, termasuk magnum opus-nya kitab Fiqh al Zakah setebal dua jilid. Oleh Abu al ‘Ala al Maududi buku ini dipuji sebagai “kitab fikih abad ini (baca: abad 20)”[iv] Buku ini pula yang telah mengantarkannya mendapatkan anugerah King Faishal Award dalam bidang pengabdian terhadap Islam tahun 1415 H.[v]

            Melihat sepintas judul buku-buku karangannya cukup menjadi bukti kedalaman ilmu dan keluasan pengetahuannya. Tentu saja itu semua tidak dicapainya secara cuma- cuma. Sebagaimana diakuinya, beliau tidak mencukupkan diri dengan belajar formal di al Azhar. Namun beliau selalu berusaha membaca selama ada kesempatan untuk itu. Bahkan kegemarannya membeli buku atau pergi ke perpustakaan (daar al kutub) telah tumbuh sejak belaiu duduk dibangku sekolah dasar.[vi]

            Al Qardlawi saat ini pernah dan sedang menjabat beberapa posisi penting. Diantaranya sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Dirasah Islamiyah Univ. Qatar, anggota Dewan Tinggi Fatwa dan Pengawasan Syariah Asosiasi Bank Islam Internasional, Direktur Pusat Kajian Sunnah dan Sirah Nabi di Univ Qatar, sebagai pakar di Majma’ Fiqh Islam yg berada dibawah naungan OKI (Organisasi Konferensi Islam), serta anggota Dewan Sosial Islam Internasional.[vii]

 

Al-Qardlawi: Antara Al-Banna dan Gerakan Ikhwan

            Dalam pengembaraan intelektual (masaar al fikr) dan perjalanan hidupnya secara umum, Al Qardlawi banyak terwarnai oleh pemikiran-pemikiran Al Banna. Juga interaksinya dengan gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun[viii], yang disebutnya sebagai representasi sebuah model gerakan Islam ideal.[ix]  Dari Al Banna dan gerakan Ikhwan inilah Al Qardlawi mengaku mulai mengenal Islam yang universal dan komprehensif.[x] Persinggungannya dengan Al Banna pula yang telah merubahnya dari cara beragama secara individual menuju kesadaran da’wah sosial.[xi]  Maka tidak aneh jika sebagian besar gagasan dan pemikiran  Al Qardlawi merupakan kelanjutan dari ide-ide Al Banna dan tokoh-tokoh Ikhwan lainnya, termasuk didalamnya gagasan tentang konsep moderasi Islam (al wasathiah al islamiyah). Tentang moderasi gerakan Ikhwan sendiri Al Qardlawi menyatakan bahwa ,”sebagai mana umat Islam merupakan wasath diantara umat-umat dan agama lain, dan jika ahlus sunnah adalah wasath diantara firqah-firqah lainnya, maka Ikhwan adalah wasath diantara jamaah-jamaah Islam yang lain”.[xii] Namun keterlibatan dan kekaguman Al Qardlawi akan gerakan  Ikhwan tidak mengurangi semangat kritisnya terhadap gerakan ini maupun gerakan-gerakan Islam yang lain. Hal ini bisa dilihat dalam buku-bukunya seperti Aina al Khalal, Al Hallu al Islami: Faridlah wa Dlarurah dan Awlawiyyat al Harakah al Islamiyyah fi al Marhalah al Qadiimah.

            Secara personal Al Qardlawi  juga sangat mengagumi pribadi Al Banna. Menurutnya profil Al Banna adalah sinergi bakat dan kemampuan yang dimiliki beberapa orang. Yaitu mengumpulkan antara ilmu dan tarbiyah, memadukan antara pemikiran dan gerakan, menyelaraskan agama dan politik, serta menyatukan kesalehan bathin (ruhaniyat) dan jihad.[xiii] Al Qardlawi juga menyebut kelebihan Al Banna dalam menyatukan antara ‘nalar’ seorang Salafy dan kelembutan hati seorang Sufi.[xiv]

            Selain Al Banna, tokoh-tokoh seperti Syaikh Al-Bahiy al-Khulie (penulis buku Tadzkirah al-du’at), Syaikh Muhammad Al Ghazali, Dr. Abdullah Darraz dan Syaikh Muhammad Syaltut diakui Al Qardlawi telah banyak memberikan pengaruh dan mewarnai pemikiran-pemikirannya.[xv]

Melihat corak dan visi pemikirannya, dengan menggunakan klasifikasi Hasan Hanafi dalam pemetaan pemikir-pemikir Islam kontemporer, Al Qardlawi bisa dikelompokkan kedalam barisan pemikir Islam Reformis Moderat, bersama Al Banna, Muhammad Al Ghazali, Dr. Muhamad Imarah dan sebagian pemikir-pemikir IM lainnya.[xvi]

 Sekilas Moderasi Islam

            Islam sebagai risalah samawi terakhir dan satu-satunya agama yang diakui keabsahan eksistensinya oleh Allah (QS. 3:19) memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang membedakannya dari agama-agama lainnya. Salah satu karakteristik tersebut adalah  al wasathiah  atau al tawazun (moderasi, keseimbangan).[xvii] Allah berfirman dalam QS. Al Baqarah/2: 143 , “ Dan demikianlah (pula) kami telah menjadikan kalian(umat Islam) umat ‘wasath’ (adil dan pilihan) agar kalian menjadi saksi atas  manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian”.

            Diatas asas keseimbangan inilah Allah meletakkan manhaj-Nya dalam mengatur umat manusia dan diatasnya pula Allah menghendaki tegaknya umat Islam[xviii] yang terwujud dalam world view agama Islam dan segala konsep-konsepnya baik dibidang aqidah, syariah maupun akhlak. Moderasi dan keseimbangan ini selaras dengan keseimbangan penciptaaan alam semesta oleh Allah, yang bisa dilihat dalam keteraturan luar biasa sistem kerja alam semesta (makrokosmos) maupun yang ada dalam diri manusia (mikrokosmos).

            Ditegaskan oleh Dr. Jamaludin Mahmud, bahwa konsep wasathiah (moderasi, middle position) sebagaimana ayat QS. 2:143 diatas adalah sifat atau karakteristik yang khusus dimiliki umat Islam. Konsep ini tidak ditemukan dalam ajaran-ajaran kitab suci selain Al Quran. Begitu pula denagn konsep khairiyyah (virtue,keunggulan, pilihan) seperti disebut dalam surah Alu Imran/ 3:110.[xix] Dan antara keduanya memang memiliki korelasi, sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir, bahwa makna ‘wasath’ selain berarti adil atau seimbang juga berarti pilihan, unggul atau terbaik.[xx]

            Selain makna adil dan unggul(terbaik) terma al wasathiah juga menunjuk arti konsistensi dijalan yang lurus, sebagaimana dipahami dari surah al Fatihah, yaitu bahwa jalan Islam adalah shirat al mustaqim, yang merupakan “jalan tengah” antara tafrith dan ifrath-nya kaum Yahudi dan Nashrani serta dari segala ideologi-ideologi sesat lainnya.[xxi] Selain itu al wasathiah yang secara harfiah berarti pertengahan juga mengindikasikan  makna keamanan, kekuatan dan kesatuan.[xxii]

            Konsep keseimbangan Islam ini pada tataran yang lebih riil selanjutnya   teraplikasikan dalam ajaran Islam tentang cara beragama seperti disimpulkan oleh Al Syatibi bahwa, “ Syariat (Islam) didalam menentukan pembebanan (taklif) senantiasa menempuh jalan keseimbangan dan keadilan”.[xxiii]

            Sebaliknya Islam melarang ekstrimitas dan sikap berlebihan dalam beragama sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa nash dalam al Quran maupaun Sunnah Rasul. Allah berfirman,”Katakanlah, hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu”.[xxiv]

Rasulullah bersabda, “Hati-hatilah kamu sekalian akan ghuluw (ekstrimitas) dalam beragama. Sesungguhnya yang telah membuat celaka orang-orang sebelum kamu

adalah  ghuluw dalam beragama”.[xxv]

            Ringkasnya, konsep wasthiah, moderasi adalah salah satu pilar terpenting dalam Islam. Dan wasathiah Islamiyah inilah fitrah manusia sebelum terjadi infiltrasi dari luar yang tidak berkesesuaian denagn fitrah asal tersebut.[xxvi] Dari konsep wasathiah dengan segala maknanya itulah Al Qardlawi kemudian berusaha membumikannya dan menerjemahkannya sebagai konsep yang lebih praktis di berbagai lini kehidupan manusia muslim. Tulisan ini sebagaimana disinggung diatas membatasi usaha Al Qardlawi tersebut pada  konteks “mega proyek” shahwah (kebangkitan) Islam dalam relasinya dengan fenomena kehidupan harakah (gerakan-gerakan) Islam.

Sejarah Shahwah dan Signifikansinya terhadap Gerakan Islam

            Sejak penghujung abad ke-18 hingga runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924, yang dibarengi era imperialisme dan kolonialisme Barat terhadap negara-negara Islam, kondisi kesejarahan umat Islam berada dalam titik yang menyedihkan. Demikina berlanjut hingga masa-masa setelahnya sepanjang abad 19 dan abad 20.

Selama masa-masa tersebut negara-negara Islam terpuruk dalam keterbelakangan dan kemunduran peradaban disegala bidang, baik sosial, politik, maupun ekonomi. Sementara didalam tubuh umat terjadi kelumpuhan potensi-potensi kekuatan yang dimilikinya.[xxvii] Ajaran-ajaran Islam banyak ditinggalkan, sebagaimana bid’ah dan khurafat menggejala dimana-mana.

            Namun, kondisi yang demikian bagi sebagaian kaum muslimin justru memunculkan kesadaran dalam diri untuk melakukan respon positif dengan upaya-upaya pembaharuan dan reformasi keagamaan demi mengembalikan supremasi Islam tegak ditengah-tengah umat, sesuai dengan sebuah sinyalemen profetik Rasulullah dalam riwayat Imam Muslim, “ segolongan dari ummatku akan senantiasa menjadi pembela kebenaran. Tidaklah membahayakan bagi mereka orang-orang yang memusuhi mereka, sampai datang keputusan Allah (Hari Kiamat) dan mereka tetap dalam kedaan tersebut”.[xxviii]

            Kesadaran yang dimiliki sekelompok kaum muslim tersebut berlangsung kontinyu dan terwaris lintas generasi sampai kemudian mengkristal menjadi isu shahwah atau yaqdzah, yakni semakin matangnya proses kembali dan bangkitnya kesadaran setelah mengalami masa-masa “kehilangan”. Kebangkitan ini terwujud dalam kebangkitan ilmu dan akal, kebangkitan ruhani, hati dan semangat keislaman, kebangkitan tekad dan kehendak, serta kebangkitan etos amal dan dakwah.[xxix] Kristalisasi proses shahwah ini, jika mampu berjalan secara maksimal, diharapkan akan bisa mengembalikan kekuatan umat.[xxx]

            Benih-benih Shahwah Islamiyah kontemporer jika dirunut sebenarnya memiliki akar sejarah pertumbuhan sejak dari gerakan-gerakan reformasi keagamaan yang muncul sejak selama dua abad silam.[xxxi] Gerakan-gerakan taersebut bisa dijabarkan menjadi tiga gelombang. Pertama, berlangsung antara pertenagahan abad ke 18 sampai pertengahan abad ke 19 yang diwakili oleh gerakan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab(1702-1791) di Najed, Muhammad bin Nuh al Fallaty (1752-1803) di Madinah, Waliyullah al Dahlawy(1702-1762) dia India, Ali al Syaukani(1758-1874) di Yaman, Shihabuddin al Alusy(1803-1854) di Irak, Ali al Sanusi(1778-1859) di Maroko dan Muhammad al Mahdi (1843-1885) di Sudan.

            Gelombang kedua, adalah gelombang yang muncul antara perempat terakhir abad ke 19 dan perempat awal  abad 20, ketika invasi ,iliter dan politik imperialisme Barat berhasil menguasai negara-negara Arab dan Islam. Periode ini mengenal tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al Afghani(1839-1896), Abdurahman al Kawakibi(w.1902), Muhamad Abduh(1839-1905) dan Muhammad Rasyid Ridla(1865-1935).

            Gelombang ketiga, muncul setelah Perang Dunia I, berupa gerakan-gerakan keislaman yang lahir pada ahir tahun 20-an dan berlangsung sampai pertengahan abad 20. Fase ini diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Hasan al Banna(w.1949) di Mesir, Abdul Hamid ibn Badis(w.1940) di Aljazair, Mustafa al Siba’i ( w. 1965) di Suriah, Abu al ‘Ala al Maududi (w.1979) di Pakistan , Sayyid Qutb(w.1966) dan Said al Nursi di Turki.[xxxii] Pada masa gelombang ke tiga ini gerakan-gerakan Islam yang muncul  mulai bercirikan kerja kolektif dan terorganisir.

             Pada perkembangan selanjutnya benih-benih dan pertumbuhan awal shahwah mengalami masa-masa signifikan sebagai arus umum yang menggelombang dimana-mana. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya kuantitas kontribusi umat yang telah memiliki kesadaran, munculnya tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok (jamaah) Islam yang bahu membahu bekerja keras menuju pematangan proses shahwah. Namun demikian, menurut al Qardlawi, bahwa gerakan-gerakan(harakah) Islam lah yang paling memiliki peran signifikan dan di pundaknya pula harapan keberhasilan shahwah banyak tertumpu.[xxxiii]  Untuk itu harakah-harakah Islam memiliki tanggung jawab besar untuk bekerja keras sebagai pengarah dan sekaligus meluruskan langkah-langkah perjalanan shahwah.[xxxiv] Yang dimaksud dengan “harakah” secara ideal didefinisikan oleh Al Qardlawi sebagai kumpulan aktivitas-aktivitas keislaman yang bersifat publik, secara kolektif dan terorganisir, yang muncul dari kesadaran ummat, dan diharapkan mampu merepresentasikan personifikasi umat secara keseluruhan dalam segala aspeknya, menuju kembalinya supremasi Islam di tengah masyarakat dan menuju persatuan umat dibawah satu bendera aqidah yang benar.[xxxv]

            Dalam catatan Al Qardlawi harakah atau gerakan Islam telah terbukti mampu mewujudkan keberhasilan di berbagai bidang, antara lain:

  1. Meluruskan  konsep-konsep Islam yang telah menjadi objek pengaburan selama era imperialisme dan masa-masa kemunduran malalui perang pemikiran dan budaya.
  2. Mengembalikan kesadaran identitas keislaman dan semangat afiliasi (intima’) kepada agama, sekaligus membentenginya dari gempuran invasi peradaban Barat.
  3. Mencetak generasi kader yang memiliki komitmen tinggi terhadap Islam, bervisi rabbani, bermoral qurani, beridealkan Nabi Muhammad, serta bercorak pemikiran dan emosi yang kental denagn nilai-nilai Islam.
  4. Menciptakan opini-opini publik keislaman, seperti isu pelaksanaan syariat Islam atau kemestian kembali kepada hukum-hukum Islam.
  5. Keberhasilannya memyumbangkan kontribusi terbesar akan munculnya gelombang arus shahwah kontemporer di berbagai penjuru dunia.[xxxvi]

 

Sikap Moderat tentang Gerakan-Gerakan Islam

Akan tetapi peran sedemikian besar yang diemban gerakan-gerakan Islam, ternyata disisi lain menyimpan “bom waktu” yang setiap saat bisa meledak menghancurkan cita-cita shahwah. Persoalan ini berangkat  dari beragamnya harakah-harakah yang ada dengan segala corak visi dan konsep pergerakannya masing-masing yang seringkali menimbulkan friksi tajam antara satu harakah dengan lainnya. Pada ahirnya kondisi demikian, sebagaimana dikhawatirkan oleh Al Qardlawi, bisa menyebabkan terjadinya erosi atau pengeroposan shahwah dari dalam[xxxvii] dan akan menjadi penghalang utama keberhasilannya. Adalah juga sebuah kesalahan yang harus diwaspadai jika masing-masing jamaah  atau harakah merasa mampu memikul beban sendirian sebagai ‘the single fighter’ dan lebih mengedepankan egoisme daripada ukhuwah, sehingga justru akan semakin memperlebar jurang perbedaan antar sesama harakah.[xxxviii]

Mengantisipasi kondisi demikian Al Qardlawi kemudian menggagas  konsep moderasi dalam berharakah yang bercirikan keadilan (proporsional), seimbang dan jauh dari ekstrimisme. Salah satunya adalah dengan menawarkan  tata cara memahami fiqh ikhtilaf dan etika berbeda pendapat secara benar.[xxxix] Lebih tegas lagi Al Qardlawi memandang pentingnya pertemua bersama antar jamaah atau gerakan, untuk menumbuh kembangkan sikap saling memahami (mutual understanding), membentuk sebuah koordinasi, memperekat dalam hal-hal yang disepakati dan mendialogkan apa-apa yang diperselisihkan.[xl] Jadi, gagasan yang diinginkan Al Qardlawi adalah “pendekatan” dan kerukunan (ukhuwwah) bukan “penyatuan”(wihdah) dalam satu wadah organisasi. Karena gagasan yang disebut  terakhir meski terdengar indah dan ideal namun bisa dikatakan tidak realistis. Bagi Al Qardlawi, keanekaragaman bukanlah sebuah problem selama  untuk saling mengisi dan melengkapi, tidak untuk saling berlawanan dan berkonfrontasi.[xli]

Secara global Al Qardlawi menyebut enam trend atau arus gerakan yang dikhawatirkannya akan muncul sebagai penghalang shahwah. Pertama, trend puritan (tazammut) dan jumud, yang diwakili oleh kalangan mazhabisme dan kaum skripturalisme (nushushiyah). Trend ini bercirikan antipati terhadap segala bentuk pembaharuan (tajdid) dan ijtihad, serta menutup diri dari perkembangan zaman. Kedua, trend ekstrimisme yang sangat condong kepada kekerasan, dan lebih kental pendekatan ta’siir dan tanfir-nya daripada taysiir dan tabsyir.Ketiga, trend ‘militerisme’, yang bercirikan sikap gegabah dan tergesa dalam melakukan konfrontasi melawan kekuasan tanpa memperhatikan situasi yang tepat. Empat, trend takfir wal hijrah, yang sangat eksklusif dan  jauh dari masyarakat banyak, serta mengabaikan usaha perbaikan dan perubahan gradual. Lima, trend  eksklusivisme dan fanatisme sempit terhadap satu golongan, serta selalu berprasangka negatif terhadap kelompok lain. Enam, trend atau arus kepentingan politik lokal dan temporal dengan mengesampingkan bidang-bidang garapan lainnya.[xlii]

Enam trend kelompok diatas kesemuanya dianggap tidak berkesesuaian dengan karakteristik moderasi dalam Islam dan tidak memiliki kelayakan untuk bisa terus berada dalam barisan penyokong shahwah. Adapun trend moderasi (at tayyar al wasathy) sebagai satu-satunya tumpuan harapan shahwah, seperti berkali-kali ditegaskan Al Qardlawi, memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:

  1. Memadukan antara salafiyah dan pembaharuan (tajdid). Salafiyah berarti kembali kepada generasi pertama dalam memahami agama dan mengembalikan segala persoalan kegamaan kepada Al Quran dan Sunnah Rasul. Sedangkan tajdid adalah proses penyesuaian terhadap perkembangan zaman dan pembebasan dari belenggu kejumudan dan taklid.[xliii]
  2. Menyeimbangkan antara ajaran-ajaran agama yang konstan (tsawabit) dan yang bisa berubah (mutaghayyirat), sehingga tidak terjebak dalam kebekuan dalam persoalan-persoalan yang lentur dan menghendaki dinamisasi . Juga tidak terjebak kepada perubahan hal- hal yag semestinya tetap dan tidak berubah.[xliv]
  3. Mewaspadai dan menghindari cara pemahaman keliru terhadap Islam, yang terepresentasikan dalam tiga model:

(1). Pemahaman yang stagnan dan jumud terhadap Islam (tajmid).

(2). Pemahaman distortif , penyimpangan  dan pengaburan hakekat ajaran-ajaran  Islam

      (tamyii’), seperti dilakukan kaum sinkretis.

(3). Pemahaman parsial dan pemisahan satu aspek ajaran dari lainnya (tajziah)[xlv]

  1. Memahami Islam secara universal dan komprehensif, meliputi segala dimensi dan aspeknya, yaitu: aspek spritual (imany, ruhani); aspek sosial (ijtima’I); aspek politis (siyasi): aspek jurisprudensial (tasyri’I) ; serta  aspek peradaban dan kultural (hadlari).[xlvi]

EPILOG

            Demikian sekilas kajian tokoh kita Al Qardlawi dan visi moderasinya tentang shahwah yang lebih banyak bersifat pemaparan deskriptif  daripada analisa kritis. Penulis mengakui bahwa kajian ini masih terlalu dangkal dan kurang matang disebabkan oleh beberapa hal. Terlebih, sebagaimana diungkapkan al Qardlawi  dengan rasa tawadlu’ beliau ketika mengomentari buku beliau tentang Syaikh Muhammad Al Ghazali bahwa “laa ya’rifu al ‘abqariy  illa  ‘abqari”( tidaklah mampu memahami seorang jenius atau seoarang tokoh kecuali seorang jenius atau tokoh pula). Maka tentu saja apa yang penulis usahakan untuk mengkaji tentang Al Qardlawi dan menyingkap pemikirannya jauh dari sempurna. Wallahu al muwaffiq.

Wallahu ‘alam bi al shawab.

[Tripoli, 5 Juli 2003]

[i] Dr. Yusuf al Qardlawi, “Liqaat wa muhawarat Haula Qadlaya al-Islam wa al- Ashr”, Muassasah Al Risalah, Beirut, 2001, h.120.

[ii] Semacam madrasah atau pesantren di Indonesia, atau zawiyah di Libya

[iii] Ibid

[iv] Ibid., h. 68

[v] Majalah Al Ahram., Kairo, Tt. … Majalah yang dapat penulis dapatkan kebetulan sudah tidak lagi memiliki nomor edisi dan tanggal terbit.

[vi] Al Qardlawi, Op.cit., h.121

[vii] Ibid., h.67-68

[viii] Menurut versi Al-Qardlawi gerakan ini didirikan oleh Hasan Al-Banna pada bulan Dzul Qa’dah 1347 H, yang bertepatan dengan bulan April/Mei 1929 M, bukan pada tahun 1928 M sebagaimana pendapat kebanyakan orang. Lihat: Al-Qardlawi, “Al-Ikhwan al-Muslimun: Sab’uuna ‘Aam fi al-Da’wah wa al-Tarbiyah wa al-Jihad”, Muassasah al-Risalah, Beirut, 2001

[ix] Al Qardlawi, “Al Tarbiyah al Islamiyah wa Madrasah Hasan al Banna”, Muassasah al Risalah, Beirut, 2001, h.6

[x]  Al Qardlawi, Liqaat, Op.cit., h.121

[xi]  Ibid., h.195

[xii] Al Qardlawi, Al Tarbiyah al Islamiyah, Op.cit.,h. 76

[xiii] Al Qardlawi, Syumul al Islam, Muassasah al Risalah, Beirut, cet.2, 1996, h.7

[xiv] Al Qardlawi, Al Tarbiyah, Op.cit

[xv] Al Qardlawi, Liqaat, Op.cit., h.122-123

[xvi] Hasan Hanafi membagi corak pemikiran Islam kontemporer kedalam tiga kelompok, yaitu kelompok pemikir Islam Konservatif, Islam Progesif dan Islam Reformis Moderat. Lihat dalam M. Aunul Abied Shah et.al (Ed), Islam Garda Depan, Mizan, Bandung, 2001, h.22

[xvii] Selain Wasathiah, karakteristik-karakteristik terpenting lainnya adalah Rabbaniyah (Ketuhanan), Insaniyah (Kemanusiaan), Syumul (Universalitas), Waqi’iyyah (Kontekstualitas), dan Wudluh (Kejelasan). Lihat Dr. Yusuf Al Qardlawi, Al Khashaish al Ammah li al Islam, Muassasah al Risalah, Beirut, cet.10, 1997

[xviii] Dr. Aun Syarif Qasim, Fi al Thariq ila al Islam, Daar al Qalam, Beirut, 1980, h. 233

[xix] Dr. Jamaluddin Mahmoud, The Concept, Characteristic and Application of Wasatiya in Islamic Legislation, dalam Jurnal Islam Today, ISESCO, 1992, h.47

19 Lihat misalnya, Muhammad bin Ali al Syaukani, Tafsir Fath al Qadier, Daar Ibn Katsir, Beirut-Damaskus,1998, cet.2, J.2, h.174

[xxi] Al Qardlawi, Al Khashaish, Op.cit., h. 132

[xxii] Ibid., h.13

[xxiii] Dr. Al Jilali al Muraini, Al Qawa’id al Ushuliyah ‘inda al Imam al Syatibi, Daar Ibn Affan, Kairo-Daar Ibn al Qayyim, Damam, 2002, h.246

[xxiv] QS. Al Maidah/5: 77

[xxv] HR. Ahmad, An Nasai, Ibn Majah dan Al Hakim. Berkata Syaikh Ahmad Syakir: sanadnya shahih.

[xxvi] Dr. Muhamad Imarah, Ma’alim al Manhaj al Islami, Dar al Rasyad, Kairo, 1996, h.79

[xxvii] Al Qardlawi, Aina al Khalal, Maktabah al Wahbah, Kairo, cet.6, 1997, h. 9 dst.

[xxviii] Imarah, Ma’alim, Op.cit., h.21

[xxix] Lihat Al Qardlawi, Al Shahwah al Islamiyah wa al Humum al Wathan al Arabi al Islami, Muassasah al Risalah, Beirut, Cet.2, 1993, hal.12-19

[xxx] Al Qardlawi, Al Islam wa Hadlarah al Ghad, Maktabah Wahbah, Kairo, 1995, h.204

[xxxi] Al Qardlawi, Al Shahwah wa Humum, Op.cit., h. 39

[xxxii] Dr. Thariq al Basyari, Pemikiran dan Kesejarahan, terj. Abbas Mansur Tamam, Jurnal OASE, ICMI Kairo, vol.10, Sept-Nov 1996, h.36-41. Juga Al Qardlawi, Al Shahwah wa Humum, Op.cit., h.39-45

[xxxiii] Al Qardlawi, Aina al Khalal, Op.cit., h. 27. Lihat pula  Al Qardlawi, Al Hall al Islami Faridlah wa Dlarurah, Muassasah al Risalah, Beirut, 1985, cet. 11, h. 224 dan 238

[xxxiv] Aina al Khalal, Op.cit., h. 79

[xxxv] Dari Ibid, h.27 dan Al Qardlawi, Awlawiyyat al Harakah al Islamiyah fi al Marhalah al Qadimah, Muassasah al Risalah, Beirut, cet.14,1997, h. 13

[xxxvi] Aina al Khalal, Op.cit., h. 72-74.

[xxxvii] Liqaat, Op.cit., h. 126

[xxxviii] Awlawiyyat, Op. cit., h. 192-193

[xxxix] Baca: Al Qardlawi, Al Shahwah al Islamiyah baina al Ikhtilaf al Maysru’ wa al Tafarruq al Madzmum, Muassasah al Risalah, Beirut, cet.4, 1995

[xl] Ibid., h. 153

[xli] Aina al Khalal, Op.cit., h.38

[xlii] Al Shahwah wa al Humum, Op.cit., hal.246

[xliii] Lihat Ibid., h.51-67.

[xliv] Ibid., h. 68-78

[xlv] Ibid., h.79-88

[xlvi] Ibid., h. 89-124

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *