Dua Putaran
Hampir semua imam masjid di Maroko hafal seluruh Al Quran. Sejak awal Ramadan, salat tarawih di Maroko dilaksanakan dua putaran setiap malamnya.
Ketika azan Isya berkumandang, kaum muslimin berduyun-duyun menuju masjid untuk melaksanakan salat tarawih secara berjamaah sebanyak sepuluh rakaat, masing-masing dua rakaat. Dengan menghabiskan separuh juz lebih ayat-ayat Al Quran.
Sekitar satu jam menjelang dikumandangkannya azan Subuh, muslimin kembali berduyu –duyun ke masjid untuk melaksanakan salat tarawih putaran kedua sebanyak 10 rakaat, juga dengan menghabiskan separuh juz lebih ayat-ayat Al Quran, dan ditutup dengan salat witir.
Jadi dalam semalam rata-rata menghabiskan lebih dari satu juz Al Quran. Sehingga ketika sampai pada tanggal 23 Ramadan genap mengkhatamkan total 30 juz Al Quran. Dan salat tarawih malam berikutnya (tanggal 24) dimulai lagi dari awal Al Quran (surat Al Baqarah)
Selingan Tarawih
Hampir semua masjid di Maroko, seperti hari-hari biasa di luar Ramadan, masjid-masjid selalu terkunci di luar waktu salat, tak terkecuali di bulan Ramadan sekalipun. Sehingga kesulitan mencari tempat i’tikaf.
Di bagian akhir Ramadan nanti, tepatnya di malam-malam tanggal ganjil mulai tanggal 21, 23 dan seterusnya yang oleh mayoritas ulama disinyalir sebagai Lailatul Qadar, mulai magrib, masjid-masjid dibuka sampai larut malam.
Di malam-malam tanggal ganjil itu, selepas salat Isya, mereka melaksanakan salat tarawih 10 rakaat sebagaimana di malam-malam sebelumnya.
Uniknya, selepas 10 rakaat tarawih itu, ‘diselingi’ dengan dilanjutkan salat sunah berjamaah, dengan jumlah rakaat kian banyak, masing-masing dua rakaat. Umumnya dilakukan sampai tengah malam, sehingga banyak jamaah yang ‘mengundurkan diri’ kelelahan. Namun menjelang Subuh nanti maka akan kembali salat 10 rakaat dengan niat tarawih dan ditutup dengan salat witir.
Itu adalah ‘tradisi lokal’ qiyamul lail (salat malam) yang sangat unik, yang hanya terdapat di masjid-masjid Maroko.
Berpindah-pindah
Di antara kegemaran orang Maroko dalam melaksanakan salat tarawih adalah banyak yang berpindah-pindah masjid setiap malamnya, dari masjid satu ke masjid yang lainnya. Mereka pun bangga bila mendapati imam tarawih yang enak membaca Al Quran-nya.
Fanatisme simbol beragama pun kian akut mewarnai aktivitas ibadah, mereka bangga memakai jallabah (jubah khas Maroko). Meskipun mengutamakan berwarna putih sesuai sunnah Rasulullah, biasanya di sepuluh hari terakhir (bulan Ramadan) dengan pakaian tradisional itu, berpindah-pindah masjid pun kian meningkat, bahkan dalam satu malam pun satu orang bisa berpindah-pindah tiga masjid atau lebih untuk ber’ítikaf.
Apalagi mayoritas pemukiman penduduk di sini sangat padat, jadi dalam satu lingkungan hay(pemukiman) saja bisa terdapat dua sampai tiga masjid atau lebih. Kian memudahkan untuk berpindah-pindah masjid. Tidak sebagaimana masjid di Indonesia yang umumnya terpisah jauh antar desa yang bertetangga.
Bahkan banyak pula yang menggunakan kendaraan bermotor demi untuk memburu masjid yang diinginkannya.
Rombak Imam
Setiap bulan Ramadan, untuk imam salat tarawih, mayoritas atau bahkan hampir di setiap masjid mengalami ‘perombakan’, dengan menurunkan para imam hafal Al Quran yang masih muda usianya. Tak jarang mereka adalah para master atau doktor bidang studi Islam jebolan Maroko maupun dari negeri tetangga.
Pengaturan ini juga dikordinir oleh Departemen Agama di daerah masing-masing.
Hal itu selain faktor untuk mempercepat gerakan salat, juga karena realitas di Maroko bahwa para ustad muda belakangan ini jauh lebih rapih tajwid (kaidah baca)-nya dan enak suara bacaan Al Quran-nya, dibanding para ustad (imam masjid) yang sudah sepuh usianya.
“Sangat asing yah cara bacaan Al Quran imam di masjid-masjid Maroko”, kata Vika Rifqah Khasanah, mahasiswi studi islam Universitas Qadi Iyadh Maroko asal Tegal Jawa Tengah yang mendalami Ilmu al-Quran dan telah hafal separuh lebih dari totalitas Al Quran ini.
Apalagi para imam masjid yang sepuh usianya itu, banyak yang hanya berlomba menghafal dan kurang memperhatikan tajwid-nya. Demikian dikatakan oleh Ustad Muhammad Tuhami (Imam Masjid di kawasan perumahan elite di jantung Kota Gueliz, Provinsi Marrakesh , Maroko. Kawasan yang mayoritas penduduknya warga negara asing itu.
Kalaupun ada imam-imam masjid yang sepuh usianya dan rapi tajwid-nya, namun mereka cenderung menggunakan bacaan Imam Warats dari Imam Al Azraq, sehingga terlalu panjang tanda bacanya(Mad-nya). Dan terkesan terputus-putus bacaannya. Jadi memakan waktu dalam salat tarawih.
Sedangkan para imam masjid muda mayoritas menggunakan cara baca imam Warats dari imam Al Ashbahani yang pendek mad-nya dan dengan gaya mengalir serta lebih empuk di telinga. Demikian tandas ustad yang juga pernah bertahun-tahun menjadi imam Masjid Syeikh Jazuli, masjid di area makam pengarang kitab Dalail al-Khoirot (kitab yang tak asing lagi di kalangan kiai pesantren Indonesia itu).
Jadi di Maroko jika imam masjidnya membaca Al Quran ‘apa adanya’ maka umumnya kekurangan jamaah tarawih. Apalagi jarang sekali ada musala seperti di Indonesia , sehingga masjid adalah satu-satunya tempat pusat ibadah di setiap lingkungan tempat tinggal di Maroko. (mm)