Oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi ulama dan penulis 13 buku
inpasonline.com – Hamka (1908-1981) orang besar. Dia ulama masyhur sekaligus penulis kenamaan. Dari dirinya telah terbit lebih dari seratus judul karya tulis. Puncak prestasi keulamaan sekaligus kepenulisannya adalah Tafsir Al-Azhar.
Sadar bahwa dirinya bisa menjadi salah satu tokoh yang menginspirasi banyak orang, Hamka menulis buku. Dia menulis memoar, dengan judul: ”Kenang-Kenagan Hidup”.
Memoar itu terbit kali pertama pada 1951. Di dalamnya, ada bab berjudul: ”Beberapa Catatan Bagaimana Jadi Pengarang”. Isinya, sangat inspiratif. Isinya, bisa memberi semangat agar kita istiqomah merawat cita-cita menjadi pengarang. Juga, memuat beberapa resep jitu untuk menjadi pengarang yang baik berdasar pengalaman Hamka. Mari kita simak.
Pertama; Suka Membacalah!
Kepada Hamka sering datang pertanyaan: Bagaimana jalan menjadi pengarang seperti Anda? Rasanya, pengarang-pengarang yang lain juga mengalami hal yang sama. Intinya, banyak orang ingin menjadi pengarang dan ingin mengetahui jalan ke sana.
Sebenarnya, kata Hamka, dirinya tidak dapat menunjukkan suatu teori bagaimana menjadi mengarang. Hanya saja, (calon) pengarang harus banyak membaca. Dengan kekuatan membaca tulisan orang lain, akan timbul dorongan untuk turut mengarang.
Di tahap awal, boleh kita mengambil semangat dari pengarang-pengarang yang ”sudah jadi”. Selanjutnya, jangan hanya menjadi Pak Turut. Ingat, kata Hamka, setiap pengarang mempunyai langgam dan gaya bahasa sendiri. Langgam Hamka berbeda dengan Sutan Takdir Ali Sjahbana (1908-1994), misalnya. Pengarang yang baik, kata Hamka, adalah yang menempuh jalannya sendiri.
Kedua; Boleh Mengubah Fokus
Di awal, Hamka tidak tahu apakah dirinya dilahirkan untuk menjadi pengarang. Dia merasa, pada mulanya, dilahirkan untuk menjadi ulama. Mengapa? Dia putra Ulama Besar, Dr. Abdul Karim Amrullah. Di lingkungan Hamka, kitab-kitab ayahnya tersusun berderet-deret. Di dekat Hamka, perdebatan terjadi hampir setiap hari tentang perkara-perkara atau hukum agama. Itu semua, semestinya membentuk Hamka menjadi ulama dan bukan ulama sekaligus pengarang.
Hamka berkisah, sampai umur 45 tahun orang lebih suka menyebutnya sebagai seorang pengarang. Juga, sebagai seorang ulama. Kala itu, dia lebih suka dikatakan pengarang daripada ulama. Namun, selepas usia 45 tahun, umur bertambah dan makin banyak harapan orang agar dirinya menjadi ulama. Lalu, karangan-karangan Hamka yang terbit selepas usia 45 tahun, lebih condong kepada soal-soal agama dan falsafahnya.
Ketiga; Harus Meningkat
Di awal, keinginan Hamka untuk mengarang seperti yang juga dimiliki pemuda-pemuda lain. Untuk itu, Hamka langsung bergerak. Dia banyak membaca, lalu menulis.
Dia mulai menulis di usia 17 tahun. Kala itu, di mengarang buku kecil ”Khatibul Ummah”, pada 1925. Isinya, mengambil dari pidato kawan-kawannya. Hamka merasa, kala itu, dia hanya mengatasi zamannya. Selanjutnya, 4 sampai 5 buku Hamka terbitkan pada 1929. Temanya beragam, misalnya tarikh dan soal-soal kemasyarakatan.
Apa kesan Hamka atas buku-buku itu? Saat buku itu Hamka baca di belakang hari, dia geli bahkan bisa tertawa. Buku itu tidak ada isinya, kata dia. Di sini, poin pentingnya adalah keberanian mengatasi zaman dan tidak bosan memperbaiki diri. Intinya, apa yang ditulis kemudian harus lebih bagus daripada yang ditulis terdahulu.
Keempat; Wajib Berani
Calon pengarang, kata Hamka, banyak yang maju-mundur. Sebagian, terpenjara teori dan rasa takut. Misalnya, merasa ilmunya belum cukup untuk mengarang. Merasa belum menguasai seni berbahasa tulis. Merasa harus banyak meneliti sebelum menulis, dan lain-lain ketakutan yang dibuat sendiri.
Dalam satu hal, yaitu kita harus mendalami persoalan yang akan kita tulis, itu memang benar. Setelah itu, harus berani dan segera menulis. Jangan seperti kisah sahabat Hamka berikut ini.
Ada teman Hamka yang pikirannya kadang-kadang lebih tinggi dari dirinya. Karangan si teman kadang-kadang lebih berisi daripada karangan Hamka. Tapi si teman tadi tenggelam dalam keraguan, bahkan takut, antara menulis atau tidak. Sementara, Hamka jalan terus.
Judul buku Hamka ”Di Bawah Lindungan Ka’bah” adalah judul dari buku yang sedianya akan dikarang oleh si teman tadi. Tentu, jalan ceritanya berbeda. Namun, si teman ragu-ragu meneruskan mengarang bukunya. Setelah buku Hamka terbit, dia menyesali keraguannya-atau lebih tepat-ketidakberaniannya-itu.
Kelima; Perlu Istiqomah
Dalam mengarang, kata Hamka, ada ”Angin baik dan angin buruk”. Apa itu? Kadang-kadang dalam waktu pendek kita mendapat banyak inspirasi (tema atau bahan) untuk menulis. Kata orang, saat itu, kita produktif.
Sementara, di waktu lain, kita lama tak menerbitkan karya yang baru karena merasa tak mendapat inspirasi. Jika sedang di situasi ini, kita tidak boleh berputus-asa. Tetaplah istiqomah. Jangan pernah padamkan keinginan untuk mengarang lagi, kata Hamka.
Keenam; Orisinilitas Penting
Kata Hamka, pengarang harus bebas dari taklid. Pengarang harus punya pendapat sendiri. Yakinilah, yang dinantikan orang dari seorang pengarang bukan yang sekadar mengulang pikiran orang lain. Karangan yang ditunggu adalah yang orisinil, yang merupakan pendapat sendiri.
Jangan jadi Juru Tiru. Tentukanlah, kata Hamka, tujuan hidup dan berjuanglah untuk mencapainya. lnilah nasihat tepat kepada semua yang ingin menjadi pengarang.
Di negeri yang telah maju, pikiran pengarang yang memberi isi kebudayaannya. Pengarang adalah pelopor yang berjalan di hadapan sekali. Dia bisa menjadi kebanggaan kepada bangsanya, kata Hamka.
Ketujuh; Ada Masa
Hamka punya pengalaman menarik dalam hal mengarang roman. Dia mulai dari ”Si Sabariyah”. Lalu, naik setingkat pada ”Laila Majnun”. Naik lagi, ”Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Dari sana sampai ke puncaknya, yaitu ”Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”.
Sesudah itu, sampai 1942, Hamka mengarang lagi beberapa roman tetapi belum ada yang mencapai kedudukan seperti ”Tenggelamnya Van der Wijck”. Lalu, sejak 1942 Hamka tidak mengarang roman lagi.
Dalam hal grafik prestasi, Hamka punya catatan khusus. Bahwa, karya pengarang yang mencapai puncak kejayaan karena ”bernilai sangat tinggi” memang hanya sesekali. Selanjutnya, karyanya yang kemudian kebanyakan hanya membuntuti kepada karya yang sampai ke puncak tadi.
Kedelapan; Mantapkan Cita-Cita
Bercita-cita janganlah tanggung-tanggung. Isilah cita-cita itu menurut kesanggupan. Hamka izinkan, jika misalnya ada atau banyak orang yang menyatakan keinginannya, yaitu: ”Saya ingin menjadi Hamka di Indonesia”. Juga, boleh ”Saya ingin seperti lqbal di Pakistan”.
Sadarilah, posisi pengarang itu strategis. Maka, pasang dan kuatkan cita-cita menjadi pengarang. Terus mantapkan keinginan itu. Selalulah hidup bersama masyarakat. Di titik ini, kata Hamka, tiap pujangga bangsa tumbuh menurut pertumbuhan bangsanya.
Seperti di bidang yang lain, adalah lumrah jika dalam perjalanan menjadi pengarang kita bertemu kegagalan. Di manapun, kekecewaan mesti ada. Akan tetapi, dengan kegagalan dan kekecewaan itulah kita dapat lebih mengenal tentang potensi diri. Ingatlah sekali lagi, kata Hamka, “Pengarang harus mengatasi zamannya”.
Hidupkan, Hidupkan
Membaca delapan poin di atas, seperti menyimak surat sayang Hamka kepada semua calon pengarang. Di dalamnya ada petunjuk praktis. Di dalamnya, terutama, ada muatan penyemangat agar semua calon pengarang tekun menyusuri jalan yang menantang.
Hamka telah lama wafat, yaitu pada 1981. Namanya insya Allah akan terus diingat orang. Berbagai pelajaran serta nasihatnya, akan terus dipelajari orang. Resep-resepnya dalam hal kepengarangan akan senantiasa menginspirasi masyarakat luas. Semoga kita dapat menghidup-hidupkannya. []