Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Inpasonline.com-Kehadiran Islam di bumi Nusantara berlangsung secara sistematis, terencana, dan tanpa kekuatan militer, dibawa oleh para ulama-alim yang memang membawa misi khusus menyebarkan Islam. Berbeda dengan kedatangan agama Kristen pertama kali yang dibawa oleh kolonialis, khususnya dari Belanda. Para dai membawa misi kedamaian, bukan peperangan. Yang dibawa adalah ilmu, bukan senjata.
Sehingga, para dai pembawa Islam berhasil melakukan perubahan besar-besaran dan mendasar dalam jiwa penduduk bumi Nusantara. Perubahan yang bukan fisik semata-mata, tetapi peningkatan dalam jiwa dan alam fikir ini menjadi kekuatan Muslim Nusantara. Dalam hal ini Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas memberi catatan:
“Kedatangan Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia harus kita lihat sebagai mencirikan zaman baharu dalam persejarahannya, sebagai semboyan tegas membawa rasionalisme dan pengetahuan akliah serta menegaskan suatu sistem masyarakat yang berdasarkan kebebasan orang perseorang, keadilan dan kemuliaan kepribadian insan”(Wan Mohd Nor Wan Daud, Penjelasan Budaya Ilmu, hal. 106).
Kesimpulan Prof. Al-Attas di atas penting untuk dijadikan dasar membaca sejarah Islam di Indonesia. Bahwa, penduduk bumi Nusantara sangat patut bersyukur dengan para ‘misionaris’ Muslim (meminjam istilah dari Prof. Al-Attas) itu. Merekalah yang membawa pribumi kepada zaman baru. Era tumbuh-kembangnya semangat rasionalisme sehingga menjadi bangsa yang maju dan berkepribadian mulia.
Apa dampak yang bisa disaksikan? Tiga abad lebih dijajah kolonialis Kristen. Tetapi, Islam tetaplah kekal hingga hari ini. Memang ada penurunan kejayaan di masa penjajahan dibandingkan dengan zaman kesultanan-kesultanan Islam. Tetapi, jiwa Islam tidak pernah luntur. Hal itu disebabkan pengislaman yang berangsur-angsur di bumi Nusantara itu sampai pada level struktur pandangan alam Islam (Islamic Worldview) yang menancap dalam diri Muslim Nusantara sebagai identitasnya yang asli.
Jadi, Islam yang dibawa para ‘misionaris’ Muslim adalah Islam yang asli. Dari ulama-alim yang ahli dari Timur-Tengah. Bukan Islam ‘luaran’ yang bercampur dengan kebudayaan lain. Jika pun Islam yang dibawa para penyebar agama itu tidak asli – sebagaimana dituduhkan oleh orientalis – niscaya identitas keislaman penduduk Nusantara mudah luntur, lenyap dan hilang.
Kesimpulan Prof. Al-Attas yang menyatakan kedatangan Islam membawa kepada pengetahuan aqliyah ini perlu digaris bawahi. Sehingga wujud iklim tradisi keilmuan yang melahirkan filsuf, pemikir tingkat internasional dengan karya-karya yang berbobot.
Maka patut untuk dibahas, bahwa ternyata peranan teologi Ahlussunnah wal Jama’ah (disingkat Aswaja) memainkan peran dalam proses Islamisasi terutamanya dalam mengubah sistem pemikiran alam Melayu-Nusantara dari segi kefahaman tentang agama dan kehidupan. Khususnya pada fase kedua penyebaran Islam (baca Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam and Secularism, hal. 70).
Dalam hal ini para sarjana Muslim dan sejarawan menulis bahwa teologi yang berperan besar itu adalah teologi Sunni bermadzhab Asy’ariyah, mengikut imam al-Asy’ari. Mohd Farid Mohd Shahran, seorang sarjana Malaysia, dalam artikel nya berjudul Kerangka Teologi Islam di Alam Melyau: Kekuatan dan Cabaran berpendapat:
“Madzhab teologi yang mendominasi Islamisasi di alam Melayu adalah Ahlussunnah wal Jama’ah aliran Asya’irah. Aliran ini pada awalnya dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan kemudiannya telah diteruskan oleh tokoh-tokoh besar seperti Abu Bakar al-Baqillani, Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Abu Hamid al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi, Abu al-Fath al-Syahrastani, Abd Qahir al-Baghdadi, Abu Ishaq al-Isfarayini dan Muhammad Yusuf al-Sanusi. Aliran ini dicirikan dengan keutamaan dalil wahyu dalam penghujahan disamping memperkukuhnya dengan kehujahan akal dan pengambilan jalan tengah antara pendekatan ultrarasional Mu’tazilah yang mengutamakan pandangan akal dan juga pendekatan sempit sebahagian ahli Hadis yang terlalu menenkankan pendekatan tekstual” (Mohd Farid Mohd Shahran, Akidah dan Pemikiran Islam: Isu dan Cabaran, hal. 6).
Pelajaran yang disampaikan oleh dai Wali Songo juga mencerminkan pemikiran akidah Sunni Asy’ari. KH. R. Abdullah bin Nuh mengatakan, kalau naskah wejangan Sunan Bonang dipelajari, maka akan ditemukan nama-nama kitab sebagai sumber pengambilan, antara lain; kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, Talkhis al-Minhaj karya imam Nawawi, Qutul Qulub karya Abu Thalib al-Makki, Tamhid fi Bayani al-Tauhid karya Abu Syukur As-Salami, serta ajaran para ulama Asya’irah lainnya seperti Imam Daud al-Anthoky, Muhyiddin Ibn Arabi, Ibrahim al-Iraqi, Abdul Qadir al-Jailani dan lain-lain (KH.R. Abdullah bin Nuh,Ringkasan Sejarah Wali Songo, hal. 8). Semua karya dan ulama tersebut dalam akidah menganut madzhab Imam Asy’ari.
Dalam babab Cirebon juga ditulis bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang penganut akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, dalam fikih mengikut imam Syafi’I (Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal. 163).
Pertumbuhan dan penerimaan madzhab Asy’ari di bumi Nusantara, selain karena dibawa oleh para dai bermadzhab Asy’ari juga dipengaruhi oleh situasi di negeri-negeri Muslim Arab. Lebih khususnya pada saat Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan Raja-raja Mamalik Mesir mengambil alih kuasa di Mesir, menggantikan dinasti Fatimiyah yang beraliran Syi’ah.
Sebagaimana dimaklumi dalam sejarah, pemerintahan Ayyubiyah maupun kerajaan Mamalik merupakan penganut gigih Aswaja bermadzhab teologi Asyari dan bermadzhab fikih Syafi’i. Setelah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi berkuasa, selain ia mengalahkan Kristen dalam perang salib juga mendirikan tiga buah madrasah tinggi di Kairo dan Iskandariyah untuk menyebarkan faham Ahlussunnah yang bermadzhab Syafii. Termasuk melanjutkan Universitas Al-Azhar Kairo yang diubah ajarannya dengan Aswaja.
Keberhasilan dan kemenangan Shalahuddin al-Ayyubi menjadikannya dikagumi Muslimin penjuru dunia. Hingga berita kemenangan umat Islam dibawah Shalahuddin al-Ayyubi sampai ke bumi Nusantara. Sebagai idola umat Islam, maka ajaran al-Ayyubi banyak dianut beberapa negeri.
Selain itu, Muballigh Islam pada kekuasaan Ayyubiyah dan Mamalik Mesir bertebar ke seluruh penjuru dunia, hingga ke Indonesia yaitu dari Pasai di Aceh Utara, Perlak di Aceh Timur, Muar di Malaysia, Aru di Sumatra Timur, Kuntu di Riau, Ulakkan di Pantai Barat Sumatera Barat dan Jepara di Jawa Timur. Seorang Ulama utusan Kerajaan Mamalik bernama Syekh Ismail as-Shiddiq datang ke Kerajaan Pasai untuk mengajarkan teologi Aswaja dan fikih Syafi’iyyah (KH. Sirajuddin Abbas, Sejarah Keagungan Madzhab Syafii hal. 258).
Selain faktor di atas, ada faktor lain yang menjadikan teologi Sunni-Asy’ari menjadi identitas Muslim Nusantara, yaitu karakter keseimbangan antara naqal (teks wahyu) dan aqal. Dengan naqal sebagai asas dan aqal yang memperkokohkannya. Keseimbangan ini penting dalam membudayakan ilmu dalam masyarakat bumi Nusantara.
Perpaduan seimbang antara naqal dan aqal menjadikan peradaban Islam yang dibangun oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah mampu berkembang pesat sehingga membentuk pusat-pusat peradaban dunia seperti Baghdad (Asia Barat), Cordoba di Andalusia (Eropa), Istanbul di Turki, Kairo di Afriku Utara, Delhi India, Aceh dan Demak di Indonesia, dan Malaka di Malaysia serta melahirkan banyak saintis yang pada waktu yang sama merupakan ulama-ulama yang mumpuni (Khalif Muammar,Kerangka Pemikiran Ahl Al-Sunnah wa al-Jamaah Peranannya dalam Penyatuan Ummah dalam Himpunan Makalah WISE 2016, hal. 90).
Karakter madzhab Asy’ari yang tidak semata-mata berasaskan naqal saja, tetapi dengan aql untuk menghuatkan hujjah melahirkan tradisi ilmu mantiq, falsafah, yang dengan keduanya mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan.
Sehingga lahirlah sarjana-sarjana Muslim hebat di bumi Nusantara seperti Nuruddin al-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdushomad al-Falimbangi, Raja Ali Haji, Syekh Yasin al-Fadani, Syekh Mahfudz Turmusi, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Yusuf al-Maqassari, dan sarjana-sarjana lain-lain yang bertaraf internasional.
Dengan demikian, maka pemikiran keseimbangan antara naqal dan aqal madzhab Asy’ari ini perlu dijadikan referensi untuk membangun peradaban dan kebudayaan ilmu di bumi Nusantara. Sebagaimana keberhasilan peradaban silam di Timur Tengah. Kejumudan ilmu pengetahuan selayaknya dibangunkan lagi dengan cara membudayakan pemikiran ilmiyah ulama-ulama Asya’irah. Sebab, mereka tidak hanya penolong agama dari aliran penyimpangan tetapi pembangkit ilmu pengetahuan.