Renungan di Awal Syawal
inpasonline.com, 13 Agustus 2013
Oleh : M. Anwar Djaelani
Ketika Ramadhan telah berganti Syawal, maka itu bermakna bahwa kita akan terus meningkatkan prestasi yang telah kita capai sebelumnya. Untuk itu, membaca riwayat (sebagian) tokoh yang berprestasi adalah salah satu cara yang sangat penting untuk memelihara dan bahkan memerbesar prestasi.
Para Teladan
Idul Fitri adalah salah satu syi’ar Islam yang agung. Memasuki 1 Syawal, kita bertakbir. Berbahagialah siapapun yang berada di barisan hamba-hamba-Nya yang selalu membesar-besarkan Allah. Beruntunglah siapapun yang senantiasa mendahulukan urusan Allah. Sejahteralah siapapun yang menjadikan Allah sebagai sebaik-baik penolong.
Ketahuilah, takbir-tahlil-tahmid yang kita lafalkan sepenuh penghayatan adalah manifestasi cinta kita kepada Allah. Kalimat-kalimat itu sebentuk bukti bahwa kita berada dalam golongan kaum yang selalu meninggikan syi’ar Islam. Sikap ini, insyaAllah, adalah salah satu wujud ketaqwaan hasil tempaan puasa Ramadhan. “Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati” (QS Al-Hajj [22]: 32).
Idul Fitri merupakan salah satu syi’ar dari sekian banyak syi’ar Islam. Hari Raya ini adalah sebuah momentum yang agung. Sungguh, takbir-tahlil-tahmid yang kita lantunkan sambil menahan haru adalah sebentuk pernyataan syukur bahwa di tahun ini kita telah disempatkan Allah menyempurnakan ibadah puasa Ramadhan. “Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS Al-Baqarah [2]: 185).
Kita bersyukur bahwa Allah –untuk kali ke sekian- telah memberi kita kesempatan menikmati Sekolah Hebat bernama Madrasah Ramadhan, bernama Universitas Ramadhan.
Madrasah Ramadhan telah meluluskan sosok bernama Abu Dzar Al-Ghifari, “Tokoh gerakan hidup sederhana”. Ada juga yang bernama ‘Ubadah bin Shamit, “Tokoh yang gigih menentang penyelewengan”. Keduanya, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, sangat patut menjadi teladan bagi warga di sebuah negeri yang tingkat korupsinya sangat memalukan.
Madrasah Ramadhan telah melahirkan alumnus berkategori intelektual penjaga kebenaran, yang menjadi penerang bagi sekitarnya. Mereka, antara lain, bernama Mu’adz bin Jabal, “Cendekiawan yang paling tahu mana yang halal dan mana yang haram”. Bernama Abu Hurairah, yang “Otaknya menjadi gudang perbendaharaan pada masa wahyu”. Keduanya, perlu dijadikan sumber inspirasi, terutama bagi sebuah negeri yang sebagian warganya sedang mabuk kepayang dengan apa yang disebut dengan “Liberalisme Pemikiran Islam”. Hal yang disebut terakhir ini telah dengan berani mengasongkan berbagai ajaran munkar seperti ‘pluralisme agama’, ‘kesetaraan gender’, ‘kawin beda agama itu halal’, dan lain-lain yang serupa dengan itu.
Madrasah Ramadhan telah menghasilkan lulusan berkarakter mujahid pembela agama Allah. Mereka, antara lain, bernama Khalid ibnul Walid, lelaki yang “Selalu waspada dan tidak membiarkan orang lengah dan alpa”. Bernama ‘Amr bin ‘Ash, sang “Pembebas Mesir dari cengkeraman Romawi”. Keduanya, sungguh perlu dijadikan teladan dalam hal keberanian ber-amar ma’ruf nahi munkar, terutama bagi sebuah negeri yang sebagian warganya masih mengikuti berbagai aliran sesat.
Madrasah Ramadhan telah melahirkan manusia yang sabar -antara lain- bernama ‘Ammar bin Yasir, “Seorang tokoh penghuni surga”. Kesabaran dia –bersama kedua ayah dan ibunya (yaitu Yasir dan Sumayyah)- dalam menjalani hidup dan kehidupan sangat pantas menjadi teladan bagi sebuah negeri yang (sebagian) warganya berperilaku tak sabar dalam menggapai kebahagiaan, seperti dengan mempraktikkan seks bebas. Perilaku yang disebut terakhir itu adalah sebuah bentuk ketidaksabaran menunggu proses ‘ikatan suci’ yang bernama pernikahan.
Madrasah Ramadhan telah meluluskan pemimpin teladan -antara lain- seperti Umar bin Abdul Aziz yang kerja kerasnya menjalankan amanah sebagai pemimpin telah menjadikan warga negerinya sangat sejahtera, sedemikian rupa terjadi kesulitan saat akan membagi zakat lantaran tak ada yang berstatus sebagai mustahiq. Umar bin Abdul Aziz sangat patut dijadikan contoh dalam hal tanggung-jawab seorang pemimpin dalam menyejahterakan warganya, terutama bagi sebuah negeri yang kaya tapi puluhan juta warganya masih tergolong miskin.
Madrasah Ramadhan telah menghasilkan lulusan yang gagah berani dalam menegakkan dakwah Islam dengan semata-mata mengharap ridha Allah. Mereka, antara lain, bernama Thoriq bin Ziyad. Dari Afrika dia bersama pasukannya menyeberangi laut menuju Spanyol (Eropa).
Sejarah lalu mencatat, sejak itu Spanyol berada di bawah naungan peradaban Islam yang agung selama ratusan tahun. Sungguh, kegagah-beranian Thoriq bin Ziyad dalam mengemban amanat dakwah sangat diperlukan terutama bagi sebuah negeri yang sebagian (untuk tak menyebut sebagian besar) warganya sudah dihinggapi penyakit “cinta dunia dan takut mati”.
Mari, selalu besar-besarkan Allah. Aktivitas itu adalah manifestasi rasa syukur kita atas nikmat besar berupa ‘wisuda’ kita di 1 Syawal –insyaAllah- sebagai “Manusia Bertaqwa”. Allah memang berjanji untuk mem-‘program’ orang beriman yang berpuasa Ramadhan untuk menjadi insan yang bertaqwa. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS Al-Baqarah [2]: 183).
Sementara, kita tahu, bahwa orang yang paling mulia di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (QS Al-Hujuraat [49]: 13).
Taqwa Terus
Jadi, setidaknya selama sebelas bulan ke depan, mari pertahankan ketaqwaan kita. Cara terbaik adalah dengan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai Uswatun hasanah, teladan terbaik. Berikutnya, kita bisa menjadikan tokoh-tokoh seperti Abu Dzar Al-Ghifari, ‘Ubadah bin Shamit, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, Khalid ibnul Walid, ‘Amr bin ‘Ash, ‘Ammar bin Yasir, Umar bin Abdul Aziz, dan Thoriq bin Ziyad sebagai teladan juga. []