Peradaban Islam Harus Dibangun Berdasarkan Asas Ijma’ Ulama

Ugi-Kholili-unair-copy-2zom9mwxs4ffz8tuuajnk0Inpasonline.com-Jika kita ingin selamat dari perselisihan maka umat harus ikut ijma’ ulama. Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan”.

Demikian disampaikan Dr. Ugi Suharto, pakar pemikiran Islam yang juga salah satu  pendiri Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS). Menurutnya, ijma’ (konsensus) ulama dalam akidah atau persoalan penting merupakan jaminan kebenaran.

“Pada akhirnya kita harus ikut ulama. Cuma hari ini banyak orang keliru mengenali ulama mereka sendiri,” ujar Assistant Professor Collage of Bahrain ini dalam diskusi pemikiran dan peradaban Islam “Memahami Dasar-dasar Ilmu Dalam Islam dan Tantangannya” hari Kamis (12/08/2015) di Gedung Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Karena itu, agar selamat dunia dan akhirat, umat Islam sebaiknya berjamaah dan mengikuti ijma’ ulama. Ulama, bukan dalam pengertian organisasinya, tapi ilmunya. Sebab organisasi yang paling tinggi dalam Islampun bisa keliru dan menyimpang.

Konsep ulama dan jamaah bukan pada organisasi (wadahnya,red) tapi pada ajarannya. Apalagi jika ulama sudah berijma’, ujar Ugi.

“Organisasi apapun bisa menyimpang. Dalam Islam organisasi paling besar adalah Khilafah. Dalam organisasi khilafah pun bisa menyimpang. Di zaman Imam Ahmad khalifahnya al-Ma’mun fahaman yang dianut adalah Mu’tazilah,” terangnya.

Menurut Ugi, maka fahaman kita adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. al-Jamaah itu maksudnya ber-ijma’. Hal ini berbeda dengan faham yang lain.

Dalam dialog dosen dan aktivis Islam itu Ugi juga memaparkan salah satu ciri-ciri liberalisme yang disebutnya sudah keluar dari ma’lum bi dhoruroh [hal-hal yang sudah diketahui secara umum, red] dan ijma’ ulama.

“Liberalisme adalah keluar dari ma’lum bidhorurah, keluar dari ijma’ dan keluar dari ushul agama,” tegas dosen Bahrain Institute of Banking and Finance, Manama Bahrain ini.

Karena itu, menurut Ugi, peradaban Islam harus dibangun dengan berdasarkan faham-faham yang disepakati atau ijma’ ulama.

“Peradaban kita harus dibina beradasarkan faham yang sudah menjadi ijma’’ ulama,” lanjutnya.

Islam bermadzab

Termasuk  beramal dengan madzhab yang juga sebagai ijma’’ ulama dan dilakukan para ulama kita sudah berabad-abad.

“Ulama-ulama hadits kita bermadzhab. Bahkan kebanyak imam hadits bermadzhab Imam As Syafi’i.”

Islam itu merupakan agama ilmu. Kedudukannya tinggi. Maka itulah dalam Islam ulama adalah pewaris Nabi. Atas hal ini, menurut Ugi, umat harus kembali kepada fahaman ulama dalam memahami sumber-sumber Islam.

“Ngakunya kembali langsung kepada al-Qur’an dan Hadits. Itu benar secara prinsip. Tapi secara proses belum tentu. Yang lebih tepat lagi adalah bagaimana kembali kepada al-Qur’an dan Hadits sesuai penjelasan para ulama.

Tanda-tanda menyalahi ijma’ menurut Ugi diantaranya adalah menolak ushul fikih, dan langsung mengaku kembali kepada al-Qur’an Hadits dan menolak madzhab.

“Kalau menolak madzhab, tanya bagaimana Anda membaca al-Qur’an. Dengan qira’ah apa membacanya? Apakah dengan qira’ah Nabi Muhammad? Tidak ada. Yang ada qira’ah Ashim, misalnya. Nah inipun juga madzhab dalam qira’ah,” tambahnya.

Dalam dialog yang diselenggarakan oleh InPAS ini, Dr Ugi mengatakan bahwa keilmuan dalam Islam itu bagian dari akidah Islam. Bahkan tambah Ugi, bab ilmu menjadi paragraph pertama dalam kitab akidah Imam an Nasafi.

“Rumusan akidah yang dijelaskan Iimam Nasafi ini adalah epistemologi. Jadi epistemologi bagian dari akidah,” tegasnya.

Kritis kepada Barat

Saat ini banyak umat Islam yang silau dengan metodologi dan peradaban Barat. Mereka dan malah menghujat Islam itu sendiri. Padahal, Islam pernah berjaya karena keilmuannya, dan Barat banyak belajar pada Islam.

Dr. Ugi menjelaskan salah satu yang menjadi tantangan saat ini adalah banyak pelajar Muslim yang belajar ke barat justru menyimpang, karna menggunakan kacamata orientalis dalam memahami ajaran Islam.

“Karena mereka tertarik dengan motodologi barat, ketika pulang mereka malah ragu dengan para ulama,” ujar Dr. Ugi yang kini Assistant Professor Collage of Bahrain.

Alumni ISTAC Malaysia ini menegaskan bahwa tidak seharusnya umat Islam anti dengan Barat, namun posisi yang tepat umat Islam kepada Barat sebagaimana sikap Imam Al Ghozali, wajib untuk bersikap kritis terhadap apa-apa yang dating dari Barat.

“Ada hal-hal yang bisa kita ambil, ada juga hal-hal yang harus kita kritisi. Baiknya sikap kita adalah seperti Imam Al-Ghozali terhadap peradaban Yunani, yang tidak menerima sepenuhnya, namun tidak pula menolak seluruhnya,” jelas Dr. Ugi.

Lebih lanjut Dr. Ugi menjelaskan jika kita ingin mengkritisi peradaban Barat, maka kita harus memiliki pegangan keilmuan keislaman yang kuat terlebih dahulu.

“Harusnya ilmu agama kita lebih tinggi daripada ilmu fardhu kifayah (ilmu umum, red) kita. Kalau yang terjadi sebaliknya, seringkali ilmu fardhu kifayah justru mengkritik ilmu fardhu ‘ain (ilmu agama/din, red), ini bahaya,” jelasnya.

Sering kali realitanya terjadi seperti itu.  Jika ilmu fardhu kifayah lebih tinggi dari ilmu fardhu ‘ain, yang terjadi justru ilmu fardhu kifayah mengkritik ilmu fardhu ‘ain. Akibatnya banyak terjadi orang awam justru mengkritik ulama dan para salafus shalih.

“Kalau kita sudah berpikir nyeleneh, salahkan diri kita dahulu, jangan salahkan ulama, berarti ada yang salah dengan pemikiran kita (otak, red),” ujar Dr. Ugi.

Menurutnya, langkah yang tepat seharusnya umat Islam memiliki kedua ilmu tersebut sama-sama tingginya.

“Idealnya adalah ilmu fardhu ‘ain kita tinggi, ilmu fardhu kifayah kita juga tinggi,” pungkas Dr. Ugi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *