“Pendidikan di masa depan akan terintegrasi,” tukas Indra Djati yang juga Ketua Dewan Pembina Ikatan Guru Indonesia (IGI) ini. Dikotomi ilmu pengetahuan akan menjadi konsep usang yang sudah tidak relevan dengan kebutuhan umat manusia. Jalinan kehidupan manusia modern dengan sacra yang selama ini telah “dicaci-maki”, dan akhirnya “ditalak tiga” oleh sekularisme meminta “balasan” yang setimpal. “Di masa depan, yang dibutuhkan adalah manusia yang memiliki kecerdasan spiritual alias spiritual person”, jelas Indra Djati. Oleh karena itu para aktivis dakwah harus melihat hal ini sebagai peluang sekaligus tantangan. Pergunakan teknologi internet dengan tingkat kemanfaatan yang setinggi-tingginya untuk memberikan pencerahan dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan kepada umat manusia. Ringkasnya, kader dakwah harus menjadi pemain di lapangan, bukan cuma menjadi penonton pasif.
Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan oleh kaum muslimin di era inovasi ini maupun di era-era setelahnya adalah menjadikan diri mereka sebagai Imam atau teladan di setiap bidang. “Manusia sudah diantarkan oleh Alloh untuk bisa menguasai dunia, maka masing-masing kita (kaum Muslimin) harus punya kemampuan untuk menjadi teladan. Kita harus layak dijadikan contoh yang baik. Untuk itu, maka kita harus bekerja maksimal,” terang KH. Ihya’ Ulumiddin, merujuk pada al-Qur’an surat Al-Furqon ayat 74, “Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang –orang yang beriman”.
KH. Ihya’ menegaskan bahwa individu muslim hendaknya mengejar dunianya demi akhiratnya secara maksimal dan mampu menjadi pelopor di segala lini kehidupan. Pasalnya, Rasulullah Shollallohu Aaihi wa Sallam oleh Alloh diberi kunci perbendaharaan bumi sehingga kaum Muslimin pernah menjadi avant garde atau front liner dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Dunia mafhum bahwa banyak penemuan penting yang ditemukan oleh kaum Muslimin seperti angka nol.
Namun tentu saja ilmu yang bersifat fardhu kifayah tidak lantas bisa menjadi solusi pertama dan utama bagi seorang individu Muslim untuk bisa survive dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan dan ujian. Menurut KH. Ihya’, ilmu yang bersifat fardhu ‘ain tetap menjadi landasan pacu bagi invidu Muslim. “Ilmu pertama dan utama yang pertama kali harus diajarkan kepada anak didik adalah al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah induk ilmu pengetahuan. Tidak mungkin problem hidup bisa diselesaikan dengan ilmu di luar Al-Qur’an sebab ilmu yang lain hanya pelengkap. Sehingga KH. Ihya’ sangat prihatin terhadap sikap meremehkan dan mendikotomikan yang masih saja diterapkan oleh orang tua. Kerap menjadi fenomena yang jamak terjadi di masyarakat kita, bahwa jika ada orang tua yang memiliki anak berotak cerdas, mereka biasanya memilih untuk memasukkan anaknya yang cerdas ini ke sekolah umum agar anaknya bisa meraih cita-citanya setinggi langit dan bintang. Para orang tua lupa, bahwa bekal supaya seorang anak mampu menghadapi ujian dan tantangan di setiap perubahan zaman adalah ilmu diniyah. “Tidak ada ceritanya anak hapal al-Qur’an lalu tidak lulus ujian nasional. Justru dengan al-Qur’an ini anak kita akan mampu mengatasi segala permasalahan hidup”, tegas KH. Ihya’.
Pendapat yang senada dilontarkan oleh Dr. Muinudinillah Basri, MA, Ketua Program Studi Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta sekaligus pendiri pesantren rahfizh Ibnu Abbas, Klaten. “Kurikulum yang pertama kali harus diberikan adalah tahfizhul Qur’an. Itu basic dan anak harus mampu berinteraksi dnegan al-Qur’an”, tegas Dr. Muin dalam seminar interdisciplinary ke-126 bertajuk “Strategi Mencari Keunggulan Sekolah Islam” yang diadakan program pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta pada 18 Juni 2011.
Di akhir sesi, Indra Djati mengemukakan sebuah konsep yang menarik, ‘All Around Achiever’, yakni prototipe manusia yang mampu menguasai beberapa bidang ilmu sekaligus; atau dalam istilah lain Polymath. Prototipe manusia paripurna semacam ini sudah pernah ada di muka bumi, yang terutama dan paling sempurna adalah Nabi Muhammad Shollallohu Alaihi wa Sallam. “Baginda Rasulullah Shollallohu Alaihi wa Sallam adalah seorang All Around Achiever. Beliau adalah pemimpin agama, usahawan luar biasa, negarawan, dan beliau juga olahragawan ulung”, tukas Indra Djati yang pernah menjadi kandidat Rektor ITB ini. Prototipe ‘All Around Achiever’ atau Polymath inilah yang kini tengah diupayakan lewat integrasi ilmu pengetahuan. Wallohu ‘alam bisshawab.
Penulis adalah peneliti InPAS