Oleh: Ainul Yaqin

Latar Belakang

inpasonline.com – Masalah perbedaan yang berkaitan dengan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, pada dasarnya merupakan masalah yang bersifat ijtihadiyah. Pembahasan dalam masalah ini sudah lazim menjadi perbincangan para ulama yang keberadaannya menghiasi kitab-kitab fiqih.

Kendatipun perbedaan sebagaimana di atas adalah suatu yang wajar sebagai konsekwensi dari pranata ijtihad yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, namun sangat indah dan menjadi dambaan banyak orang apabila dalam satu wilayah awal Ramadhan, Idul Futri dan Idul Adha, bisa dilaksanakan secara serentak bersama-sama. Lebih dari itu, dalam praktiknya pelaksanaan awal Ramadhan, Idul Futri dan Idul Adha di beberapa negara muslim seperti Saudi Arabia, Mesir, Malaysia, Brunai, tidak memperlihatkan adanya perbedaan. Hal ini karena dalam implementasinya penduduk muslim di negara-negara tersebut menyerahkan urusan masalah ini pada keputusan pemerintah.

Berbeda dengan hal itu, di Indonesia adanya perbedaan dalam berpuasa dan berhari raya terasa begitu menyolok, bahkan tidak hanya selisih satu hari, namun bisa selisih dua, tiga hari atau lebih termasuk yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sempalan. Alhamdulillah untuk tahun ini secara kebetulan untuk Ramadhan dan Idul Fitri relatif tidak ada perbedaan karena posisi hilal sudah cukup tinggi. Namun jika posisi hilal masih rendah dibawah 2 derajat, bisa dipastikan ada perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan.

Orang boleh berargumen bahwa perbedaan adalah rahmat, atau berargumen bahwa perbedaan ini adalah perbedaan yang wajar-wajar saja dan kita harus saling memahami. Namun, argumen seperti ini kayaknya terkesan apologi (hanya menghibur diri). Keyataannya, adanya perbedaan dalam pelaksanaan awal Ramadhan dan hari raya sering kali menimbulkan kebingungan pada masyarakat awam dan rentan menjadi sumber konflik. Di samping itu juga mengesankan bahwa umat Islam tidak utuh dan tidak rukun mengingat bahwa Ramadhan dan khususnya hari raya adalah ibadah yang berdimensi syi’ar, ibadah yang bersifat jama’i bukan ibadah fardi. Selain itu, hal tersebut juga bisa menjadi celah bagi orang-orang di luar Islam untuk mencibir. Berangkat dari sini patut untuk dipertanyakan ulang, apa tidak mungkin dicapai titik temu dalam hal mengawali puasa dan berhari raya? Seorang pejabat di Jawa Timur yang beliau awam dalam masalah ini menyampaikan pertanyaan menggelitik, jika tidak bisa bersatu lalu apa artinya kementerian agama dan apa artinya diselenggarakan sidang itsbat?

Seputar Perbedaan Pendapat Dalam Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan

Para fuqaha khususnya generasi awal bersepakat bahwa awal Ramadhan, Idul Fitri, dan awal Dzulhijjah ditetapkan melalui ru’yat al-hilal (melihat hilal) dengan mata telanjang. Hal tersebut didasarkan antara lain:

Sabda Rasulullah Saw:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ

Berpuasalah karena melihatnya hilal dan berbukalah karena melihatnya (hilal), jika tidak bisa melihatnya maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjagi tiga puluh. (HR al-Bukhari)

Dalam riwayat lain disebutkan:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِين

Berpuasalah karena melihatnya (hilal Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya (hilal Syawal), jika tidak bisa melihatnya maka sempurnakanlah hitungannya menjagi tiga puluh. (HR. al-Nasa’).

Sekalipun bersepakat terhadap metode ru’yat al-hilal, dalam penerapannya para fuqaha berbeda pendapat terkait dengan ru’yat yang bagaimana yang diakui. Mereka berbeda pendapat dalam hal keabsahan hasil ru’yat seorang saja.[1] Mazdhab Hanafiyah berpandangan bahwa jika kondisi cerah tidak ada penghalang, maka untuk menetapkan bahwa bulan Ramadhan telah tiba harus didasarkan atas hasil penglihatan khalayak (orang banyak), sedangkat ru’yat seorang saja tidak mencukupi karena jika hanya seorang saja yang mengaku melihat, maka dianggap sebagai keleliruan penglihatan.[2] Adapun jika kondisi langit tidak cerah yang terjadi karena mendung atau badai, maka terlihatnya hilal cukuplah didasarkan atas penglihatan seorang muslim yang adil. Hal ini didasarkan atas riwayat berikut:[3]

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا

Seorang badui telah datang kepada Nabi Saw dan berkata; sesungguhnya aku telah melihat Hilal, kemudian beliau berkata; apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah disembah kecuali Allah? Ia berkata; ya. Beliau berkata; apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah? Ia berkata; ya. Beliau berkata; wahai Bilal, umumkan kepada orang-orang agar mereka berpuasa besok.

Menurut Madzhab Maliki, hilal Ramadhan dapat dipastikan kemunculannya atas dasar kesaksian khalayak tanpa disaratkan mereka adalah adil atau kesaksian dua orang yang adil dalam kondisi apakah cuaca mendung atau tidak. Adapan jika yang memberi kesaksian melihat hilal hanya seorang, maka kesaksiannya hanya berlaku untuk dirinya sendiri, dan tidak bisa dijadikan dasar bagi pemerintah untuk memutuskannya.[4]

Madzhab Syafi’iyah berpandangan bahwa untuk menetapkan bahwa bulan Ramadhan telah masuk, cukuplah didasarkan atas penglihatan seorang muslim yang adil yang menyatakan bahwa ia telah bersaksi.[5] Pendapat senada juga diikuti oleh madzhab Hanabilah.[6] Hal ini didasarkan pada riwayat A’raby di atas.

Selanjutnya, para fuqaha berbeda pendapat terkait dengan apakah penglihatan di suatu daerah tertentu berlaku untuk seluruh negeri atau hanya di sekitar daerah tersebut. Menurut jumhur (Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Dzahiriyah) puasa wajib dilakukan serentak tanpa membedakan adanya mathla. Sementara itu, madzhab Syafi’i berpandangan bahwa permulaan puasa berbeda-beda sesuai dengan perbedaan mathla’ di antara tempat yang berjauhan.[7] Dasar yang menjadi pedoman dari madzhab Syafi’i adalah hadits Kuraib berikut:

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ ابْنَةَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا فَاسْتَهَلَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْنَا الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرَ فَسَأَلَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ قُلْتُ رَأَيْتُهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ قَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ قُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ قَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُهُ حَتَّى نُكْمِلَ الثَّلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَفَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ قَالَ لَا هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Kuraib: bahwa Ummu Al Fadhl binti Al Harits telah mengutusnya pergi kepada Mu’awiyah di Syam. Ia berkata; aku datang ke Syam, dan menunaikan keperluannya, kemudian telah nampak hilal Ramadhan sementara aku berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan. Lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku. -kemudian ia menyebutkan hilal. Kemudian Ibnu Abbas berkata; kapan kalian melihat hilal? Aku katakan; aku melihatnya pada malam Jum’at. Ia berkata; apakah engkau melihatnya? Aku katakan; ya, dan orang-orang melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’awiyah pun berpuasa. Ibnu Abbas berkata; akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, dan kami masih berpuasa hingga kami menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihat hilal. Aku katakan; tidakkah engkau cukup dengan (ru`yah) yang dilihat Mu’awiyah dan puasanya? Ia berkata; tidak, demikianlah Rasulullah Saw memerintahkan kami (HR. Abu Dawud)

Sebagaian kalangan ulama berpandangan, bahwa penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan idul Adha tidak hanya dilakukan dengan ru’yat, namun dapat pula dilakukan berdasarkan pada hasil perhitungan ahli astronomi. Pendapat ini antara lain disampaikan oleh Taqiyuddin al-Subki dan Ibnu Daqiq al-Id sebagaimana dikutip oleh Ahmad Muhammad Syakr.[8] Diantara dasar yang menjadi pegangan kebolehan menggunakan ilmu hisab antara lain Al-Qur’an Surat Yunus ayat 5

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) (QS. Yunus [10]: 5).

Ayat tersebut memberikan informasi dan penegasan bahwa peredaran bulan dan matahari pada dasarnya bisa diketahui manusia sekalipun tanpa harus melihat langsung. Mereka juga berpegang pada Hadis riwayat  al-Bukhari  dan Muslim dengan memberi tafsiran yang berbeda:

 إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَه

Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka perkirakanlah (HR al-Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadits tersebut, kata faqduruulah oleh mereka dimaknai sebagai menghitung dengan ilmu hisab, hal ini berbeda dengan ulama yang berpegang pada ru’yat seperti Abu Hanifah dan al-Syafi’i, yang menafsirkan kata faqduruulah dengan fakmiluu al-iddata thalaatsiin (menggenapkan hitungan 30 hari)[9].

Para ulama yang membolehkan hisab berpandangan bahwa diperintahkannya agar menggunakan ru’yat adalah karena adanya illat, yaitu kondisi masyarakat ketika itu yang masih belum banyak menguasai ilmu dan teknologi.[10] Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ

Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari  (HR al-Bukhari dan Muslim).

              Sesuai dengan kaidah fikih (al-qawa‘id al-fiqhiyyah) yang berbunyi,

الحكم يدور مع علته وجودا وعدما

Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illat

Maka, dengan demikian ketika illat-nya telah berubah, hukumnya juga berubah[11].

            Di sisi lain, sebagian ulama tetap berpegang teguh bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan adalah dengan ru’yat, karena hal ini merupakan bagian dari ibadah, sehingga harus dikerjakan apa adanya sesuai dengan petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Ibnu Hajar al-Haitami seorang ulama madzhab Syafi’i dari memberi catatan:

“Tidak wajib berpuasa berdasarkan perkataan ahli perbintangan, yaitu orang yang berpedoman pada perjalanan bintang dan dengan sebab perkataan ahli hisab, yaitu orang yang berpedoman pada perjalanan bulan dan perkiraan perjalanannya. Dan tidak boleh atas seseorang mentaqlid keduanya. [12]

Dalam hal penetapan awal bulan menggunakan ilmu hisab, memunculkan pertanyaan baru apa yang menjadi ukuran untuk menyatakan bahwa bulan baru telah masuk. Dalam hal ini secara umum melahirkan dua aliran hisab yang pertama berpegang pada kriteria imkan al-ru’yah, artinya bulan baru dinyatakan telah masuk jika berdasarkan hisab (hitungan) ketinggian bulan telah memungkinkan untuk dilakukan ru’yat.

Dasar yang dipergunakan dari hisab dengan pendekatan imkan al-ru’yah adalah karena asal perintahnya adalah ru’yah dengan mata telanjang.

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا

“Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. ” (HR. Bukhari).

Berangkat dari hadits tersebut, ulama yang memperbolehkan menggunakan hisab dengan kriteria imkan al-ru’yah berpandangan bahwa hisab adalah pengganti dari melihat dengan mata telanjang. Jika secara hisab, hilal telah bisa diperkirakan ada serta memungkinkan terlihat, maka bulan baru telah dinyatakan masuk sekalipun tidak dilakukan penglihatan melalui mata telanjang, atau hilal tidak terlihat karena cuaca mendung.

Metode imkan al-ru’yah ini masih memunculkan perbedaan terkait dengan pada ketinggian berapakah dinyatakan bahwa hilal memungkinkan bisa diru’yat (imkan al-ru’yah), ada yang menyebut 2 derajat, ada yang lebih dari 2 derajat.

Aliran hisab yang kedua berpegang pada kriteria wujud al-hilal tanpa harus imkan al-ru’yah. Pandangan ini menyatakan bahwa bulan baru dianggap telah masuk jika secara hitungan telah memenuhi keadaan yaitu telah terjadi ijtimak (konjungsi) sebelum matahari terbenam dan pada saat terbenamnya matahari posisi bulan telah berada di atas ufuk. Hal yang membedakan dengan kriteria imkan al-ru’yah, pada metode imkan al-ru’yah dipersyaratkan bahwa ketinggian hilal pada saat mata hari terbenam telah memenuhi kriteria yang memungkinkan bisa dilihat, sedangkan pada metode wujud al-hilal tidak mempersyaratkan ketinggian hilal pada posisi memungkinkan untuk dilihat, yang penting telah di atas ufuk. Pandangan inilah yang saat ini diikuti oleh Muhammadiyah. Argumen dasar yang digunakan oleh kelompok yang mengikuti kriteria wujud al-hilal adalah bahwa kriteria ini akan lebih memberikan kepastian. Sedangkan pada kriteria imkan al-ru’yah ternyata masih diliputi oleh ketidakpastian. Untuk itu pengikut hisab dengan kriteria wujud al-hilal melakukan ta’wil terhadap hadits perintah untuk meru’yat. Kelompok ini berpandangan bahwa substansi perintah ini bukanlah secara harfiah yakni melihat dengan mata telanjang, tetapi intinya adalah mencari tahu kapan bulan baru telah masuk. Dan penentuan bulan baru telah masuk akan lebih pasti menurut mereka, jika yang digunakan adalah kriteria wujud al-hilal[13]

Urgensi Memulai Puasa dan Berhari Raya bersama.

Terlepas dari adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang hal tersebut merupakan implikasi dari adanya ijtihad, ada beberapa pertimbangan yang patut direnungkan berkaitan dengan perlunya menyatukan pandangan untuk memulai puasa serta berhari raya secara bersama-sama. Pertimbangan tersebut antara lain:

  1. Berangkat dari kaidah “Keluar dari perselisihan adalah baik”

Perbedaan pendapat dalam masalah Ijtihad pada dasarnya adalah sebuah keniscayaan. Kendatipun demikian mengupayakan titik temu khususnya terkait dengan masalah-masalah yang mempunyai dimensi kemasyarakatan, syi’ar, dan menjadi cermin ukhuwah adalah suatu yang baik berangkat dari kaidah:

الخروج من الخلاف مستحب

Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi

Dalam kasus penetapan awal Ramadhan untuk mewujudkan kebersamaan bukan suatu yang mustahil, karena ada solusi yang dapat menjadi jalan keluar.

  1. Puasa Ramadhan dan hari raya merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam. Keberadaan ibadah hari raya sebagai ibadah yang berdimensi sosial kemasyarakatan dan syi’ar, sebagai ibadah yang bersifat jama’i, sehingga tidak pas rasanya bila pelaksanaannya tidak serentak. Hal ini secara tersirat disampaikan oleh Nabi Saw:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa adalah di hari kalian semua berpuasa, idul fitri adalah di hari kalian semua beridul fitri, dan idul adha adalah dihari kalian semua menyembelih qurban (HR al-Tirmidzi)

الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ

Idul fitri adalah di hari manusia pada beridul fitri, dan idul Adha adalah di hari manusia pada berqurban (HR al-Tirmudzi)

Namun syi’ar kebersamaan itu akan semakin pudar, jika elemen-elemen umat Islam saling berlomba merumuskan keputusan yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan itu terkadang atas nama ormas, Tak pelak, puasa Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (kerap kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan persatuan umat.

  1. Bahwa kebersamaan adalah menjadi syarat untuk terwujudnya ukhuwah dan persatuan umat. Selain itu juga menghindari adanya kebingungan di masyarakat. Jika kondisi kebersamaan ini susah diwujudkan akan sangat sulit mewujudkan persatuan, sehingga sulit pula meujudkan kemenangan. Faktanya sampai saat ini sekalipun umat Islam Indonesia menjadi penduduk mayoritas, dalam banyak hal umat Islam justru pada posisi lemah, kurang berdaya, dan lebih sering diatur orang lain dari pada mengatur dirinya sendiri.
  2. Pada kenyataannya sekalipun terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama, namun dalam penerapannya di negara-negara Muslim dilakukan secara serentak, pertanyaannya apa tidak mungkin hal ini bisa diterapkan di Indonesia?

Berhari raya bersama pemerintah bisa menjadi solusi

Sebagaimana telah disebut diatas, Ramadhan dan hari raya merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam. Suatu kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa, dengan ketaatan ini akan ada satu komando yang sama. Perbedaan adalah suatu keniscayaan, sebagai implikasi dari adanya ijtihad, karena itu untuk menyatukannya perlu ada komando yang satu, sedangkan untuk menuju kesatuan terdapat dasar yang dapat menjadi pertimbangan:

  1. Hadits Nabi saw agar mentaati penguasa:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

  1. Hadits Nabi Saw yang menyerukan agar berpuasa dan berhari raya bersama:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa adalah di hari kalian semua berpuasa, idul fitri adalah di hari kalian semua beridul fitri, dan idul adha adalah dihari kalian semua menyembelih qurban (HR al-Tirmidzi)

  1. kaidah Fiqhiyah:

حكم الحاكم إلزام ويرفع الخلاف

Keputusan pemerintah adalah mengikat dan menghilangkan silang pendapat.

Imam al-Qurafi menyampaikan kaidah tersebut dengan penjelasan sebagai berikut:

اعلم أن حكم الحاكم في مسائل الاجتهاد يرفع الخلاف ويرجع المخالف عن مذهبه لمذهب الحاكم وتتغير فتياه بعد الحكم

Ketahuilah, Sesungguhnya keputusan pemerintah dalam masalah ijtihadiyah dapat menghilangkan perbedaan pendapat dan orang yang berbeda hendaklah ruju’ dari mazhabnya dengan mengikuti mazhab pemerintah dan fatwanya berubah sesudah ketetapan pemeringtah.[14]

Al-Ghazali memberi catatan bahwa keputusan hakim dapat menghilangkan perselisihan selama tidak bertentangan dengan dalil qath’i dan ijma.[15]

  1. Pandangan al-Sindi dalam memberi catatan terkait dengan hadits :

الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ

أن هذه الأمور ليس للاحاد فيها دخل وليس لهم التنفرد فيها بل الأمر فيها الى الإمام والجماعة ويجب على الأحاد إتباعهم للإمام والجماعة

Sesungguhnya persoalan penetapan awal Ramadhan, idul Fitri, dan idul Adha tidaklah ditangan individu-individu, dan tidak pula melaksanakannya dengan menyendiri, tetapi persoalan ini harus dikembalikan kepada Imam dan jamatul muslimin. Wajib atas individu-individu untuk mengikuti imam dan jamatul muslimin.[16]

  1. Pendapat Imam Ahmad: [17]

يصوم مع الإمام وجماعة المسلمين في الصحو والغيم . قال أحمد : يد الله على الجماعة

Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung. Imam Ahmad juga berkata: “Kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.”

  1. Pendapat Imam al-Tirmidzi:

فَقَالَ أَبو عِيسَى إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ

Imam al-Tirmidzi berkata: makna hadits ini adalah bahwa berpuasa dan berhari raya adalah bersama jamaah umat Islam dan mayoritas manusia.

  1. Pendapat al-Syarwani:[18]

وَمَحَلُّ الْخِلَافِ…. إذَا لَمْ يَحْكُمْ بِهِ حَاكِمٌ. فَإِنْ حَكَمَ بِهِ حَاكِمٌ يَرَاهُ وَجَبَ الصَّوْمُ عَلَى الْكَافَّةِ وَلَمْ يُنْقَضْ الْحُكْمُ إجْمَاعًا قَالَهُ النَّوَوِيُّ فِي مَجْمُوعِهِ وَهُوَ صَرِيحٌ فِي أَنَّ لِلْقَاضِي أَنْ يَحْكُمَ بِكَوْنِ اللَّيْلَةِ مِنْ رَمَضَانَ

Terdapat perbedaan pendapat jika memang belum ada keputusan pemerintah. Tetapi jika pemerintah telah membuat keputusan wajib untuk melaksanakan puasa secara keseluruhan dan keputusan pemerintah tersebut tidak boleh dilanggar – menurut kesepakatan para ulama’ -, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’-nya. Penjelasan ini sangatlah jelas bahwa seorang hakim berhak memutuskan bahwa suatu malam adalah termasuk bulan Ramadhan.

Dengan memperhatikan alasan tersebut di atas, menyerahkan urusan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha kepada pemerintah adalah solusi yang akan menyatukan umat dalam berpuasa dan berhariraya. Kita bisa bayangkan andai saja perbedaan yang terjadi di Indonesia terjadi pula di Saudi Arabia, niscaya ibadah haji akan kacau.

Sekalipun urusan penetapan atau itsbat ada ditangan pemerintah, namun tidak sepatutnya pemerintah bertindak sesuka hati. Jika seperti ini tentu tidak bisa ditaati. Dalam kaitannya hubungan timbal balik ini Fatwa MUI No. 2 tahun 2004 menyatakan:

  • Penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yat dan hisab oleh pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku nasional.
  • Seluruh Umat Islam   wajib mentaati ketetapan pemerintah tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
  • Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi pada MUI, ormas Islam dan instansi terkait.
  • Hasil ru’yat dari daerah yang memungkinkan hilal diru’yat walaupun di luar Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama.

Wallahu a’lam

Daftar Kepustakaan

Qardhawi-al, Yusuf; 1993, Fiqh al-Shiyâm, Muassasah al-Risâlah, Bairut

Zuhaili-al, Wahbah; 1985, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Dâr al-Fikr, Bairut

http://mbajengbremana.wordpress.com/2011/08/30/alasan-muhammadi-yah-menggunakan-metode-hisab-wujudul-hilal-wilayatul-hukmi-indonesia-sehingga-idul-fitri-jatuh-pd-hari-selasa-30-agustus-2011/ diakses 28 Juni 2014

http://www.sangpencerah.com/2013/06/argumentasi-hisab-wujudul-hilal.html diakses 28 Juni 2014

Syâkir, Ahmad Muhammad; 1939, Awâil al-Syuhûr al-Arabîyah, Mathba’ah Musthafâ al-Bâbî al-Halabî

Syarwânî-al, al-Syeikh Abdu al-Hamîd dan al-Syeikh Ahmad bin Qasim al-Abbadi; tt, Hawâsyî Tuhfah al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj, Mathba’ah Musthafâ Muhammad

Ibn Taimîyyah; 2004, Majmû Fatâwâ, Wizârah al-Syu’ûni al-Islâmîyyah wa al-Auqâf wa al-Da’wah, wa al-Irsyâd, Saudi Arabia

Qarâfî-al, al-Imâm; 2003, Al-Furuq, Muassasah al-Risâlah, Bairut

Ghazzâlî-al, al-Imâm; 1997, Al-Mustashfâ min Ilm al-Ushûl, Muassasah al-Risâlah, Bairut

Sindî-al, Abu al-Hasan; 1996, Syarh Sunan Ibn Majah, Dâr al-Ma’rifah, Bairut

Haitami-al, Ibnu Hajar; tt Tuhfah al-Muhtaj, cacatan pinggir Hawâsyî Tuhfah al-Muhtâj bi Syarh al-Minhâj, Mathba’ah Musthafâ Muhammad

Penulis adalah Sekretaris MUI Jawa Timur

[1] Al-Qardhawi, Fiqh al-Shiyam, hal. 26

[2] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz 2 hal 598-599

[3] ibid

[4] Ibid, hal 600

[5] Ibid, hal 601

[6] ibid

[7] Ibid, hal 605-606

[8] Ahmad Muhammad Syakir, Awail al-Syuhur al-Arabiyah, hal 9-10

[9] Al-Qardhawi, ibid, hal 26

[10] Lihat uraian Ahmad Muhammad Syakir, ibid hal 11-14

[11] ibid

[12] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada cacatan pinggir Hawâsyî al-Syarwani dan Ibn Qâsim al-Abâdi,III/hal 273

[13] http://mbajengbremana.wordpress.com/2011/08/30/alasan-muhammadi-yah-menggunakan-metode-hisab-wujudul-hilal-wilayatul-hukmi-indonesia-sehingga-idul-fitri-jatuh-pd-hari-selasa-30-agustus-2011/ diakses 28 Juni 2014 dan http://www. sangpencerah.com/2013/06/argumentasi-hisab-wujudul-hilal.html diakses 28 Juni 2014

[14] Al-Furuq, Juz II/hal 192

[15] Al-Mustashfa, II/hal 454

[16] Syarh Sunan Ibn Majah II/306

[17] Majmu Fatawa Juz 25 hal 117

[18] Hasyiyah al-Syarwani: 3/376

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *