Oleh: Tiar Anwar Bahtiar
Inpasonline.com-Setelah penulisan sejarah, bagian yang penting selanjutnya adalah bagaimana mengajarkannya. Bila dalam penulisan sejarah adagium yang berlaku adalah “objektivitas”, maka hal ini sesungguhnya tidak selalu dapat diwujudkan. Hal ini karena karakter ilmu pengetahuan yang dibuat oleh manusia yang selalu tidak bisa menghindarkan diri dari “subjektivitas”-nya sebagai manusia. Jika dalam penulisan sejarah saja sudah tidak obyektif, maka dalam pengajaranpun akan demikian. Setiap pengajaran tentu harus mengacu pada tujuan-tujuan normatif yang sudah ditetapkan, baik oleh negara, sekolah, ataupun guru sendiri.
Kasus pengajaran sejarah di Indonesia, misalnya, menunjukkan kenyataan demikian. Semenjak Indonesia merdeka hingga saat ini, pergulatan penanaman nilai apa yang harus disertakan dalam pengajaram sejarah terus berlanjut. Unsur-unsur normatif yang ditetapkan negara tarik-menarik dengan kepentingan nilai komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa normativitas menjadi acuan utama dalam pengajaran sejarah. Sebagai contoh, pada kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang diberlakukan sejak tahun pelajaran 2006/2007 nampak terjadi unsur tarik-menarik antar kepentingan ideologis sehingga kurikulum harus “diotonomikan”, termasuk pengajaran sejarah.
Baik kurikulum maupun standar yang diberlakukan pada setiap mata pelajaran tentu didasarkan pada suatu tata nilai yang diyakini oleh perumusnya masing-masing. Tata nilai inilah yang akan membentuk rupa-rupa kurikulum atau standar dan membedakannya antara yang satu dengan yang lain. Pada titik inilah akan ditemukan berbagai kepentingan yang saling bersaing dan tarik-menarik satu sama lain. Pada titik ini pula dapat dievaluasi apakah tata nilai Islam yang—seharusnya—diyakini dan dipegang oleh setiap pemeluknya terepresentasi dengan baik dalam pengajaran, terutama dalam pengajaran sejarah.
Tulisan ini mencoba mengungkap kenyataan pengajaran sejarah di Indonesia dari masa ke masa dan kemudian dievaluasi dalam konteks kepentingan nilai-nilai Islam dan umat Islam di Indonesia. Selanjutnya diharapkan dapat digagas pendekatan baru dalam perancangan pengajaran sejarah yang dapat mengakomodasi nilai-nilai Islam sekaligus tidak merugikan kepentingan nasional negara Republik Indonesia.
Kurikulum Sejarah
Dalam penelitian yang dilakukan masing-masing oleh Umasih[1] dan Darmiasti,[2] terungkap berbagai kesimpulan yang menarik mengenai pengajaran sejarah di Indonesia berikut penulisan buku ajarnya antara tahun 1964 sampai dengan tahun 1994. Kesimpulan-kesimpulan tersebut antara lain.
Pertama, kurikulum pengajaran sejarah secara nasional sangat dipengaruhi oleh perubahan politik. Misalnya, pada saat Era Demokrasi Liberal, pada tahun 1950 telah berhasil dirumuskan kebijakan pendidikan nasional yang disebut sebagai Dasar dan Sistem Pendidikan Indonesia. Pada masa ini, karena era keterbukaan dan demokrasi sedang menghangat, tujuan pendidikan pun salah satunya adalah untuk menciptakan masyarakat yang berwatak demokratis, termasuk pengajaran sejarah di dalamnya bertujuan untuk itu. Namun, karena angin politik berubah menjadi sentralistik di tangan Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin, misi demokratiasi pengajaran sejarah tidak pernah tercapai. Semakin diperparah lagi ketika Soeharto memegang tampuk kekuasaan. Soeharto menganggap bahwa pengajaran sejarah tidak mengajarkan kecintaan pada tanah air. Oleh sebab itu, kurikulum sejarah diarahkan untuk menanamkan nasionalisme. Bahkan, sejak tahun 1983 sampai tahun 1994 Pemerintah Orde Baru mewajibkan mata pelajaran sejarah baru yang diberi nama Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa. Oleh Darmiasti, pelajaran ini beserta beberapa buku teksnya disebut pelajaran sejarah yang “ideologis”. Ketika angin politik berubah, pada tahun 1994 kurikulum sejarah pun berubah menjadi kurang ideologis dengan dihapuskannya PSPB. Kurikulum kembali kepada upaya untuk mengajarkan sejarah sebagai bagian dari “ilmu” untuk mengajarkan sikap kritis dan demokratis. Tujuan ini berlaku sampai ketika kurikulum KTSP diberlakukan.
Kedua, buku-buku teks yang merupakan sumber bahan pengajaran juga dipengaruhi oleh situasi zaman dan perkembangan historiografi (penulisan dan penelitian sejarah), selain dipengaruhi oleh kecenderungan politik di atas. Secara umum penulisan sejarah Indonesia dipengaruhi oleh kecenderungan Nederlando-sentris, Indonesia-sentris, dan yang disebut Darmiasti dan Umasih sebagai model penulisan “saintifik.” Yang dimaksud dengan Nederlando-sentris adalah penulisan sejarah Indonesia yang menempatkan sejarah Indonesia sebagai perluasan belaka dari sejarah Belanda. Sebagai anti-tesis, muncul kecenderungan menuliskan sejarah yang menempatkan “Indonesia” sebagai aktor utama sejarahnya sendiri. Anti-tesis ini disebut sebagai pendekatan Indonesia-sentris. Sementara yang disebut kecenderungan saintifik oleh Darmiasih didefinisikan sebagai sejarah yang tidak bersifat “ideologis” atau “folosofis”, melainkan sejarah yang ditopang dengan tradisi akademik.[3] Definisi terakhir ini agak rumit dan kurang diterima mengingat sejarah yang ditulis secara ideologis pun memiliki tradisi akademik tersendiri.
Menurut Darmiasti, sampai tahun 1970-an, sebelum ada buku induk penulisan sejarah Indonesia, buku-buku pelajaran Indonesai masih terpengaruh oleh kecenderungan Nederlando-sentris, karena masih menggunakan buku-buku tulisan sarjana Belanda pra-Kemerdekaan sebagai rujukan. Setelah ditulis buku “babon” sebagai implementasi dari hasil Seminar Sejarah I tahun 1957 dan Seminar Sejarah II tahun 1970 yang menggagas penulisan sejarah Indonesia-sentris. Praktis buku-buku yang berbau Indonesia-sentris baru muncul sekitar tahun 1980-an.[4]
Umiasih menengarai bahwa pada era tahun 1970-an (terutama kurikulum 1975) pelajaran sejarah disampaikan dalam pendekatan yang saintifik (ilmiah), termasuk dalam penulisan buku sejarahnya namun kemudian berubah menjadi sangat ideologis dengan munculnya kebijakan pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Buku-buku sejarah difokuskan kepada pemenuhan kepentingan doktrinasi hegemonik kekuasaan.[5] Baru kemudian pada tahun 1994 terjadi perubahan kembali dengan memasukan unsur akademik dalam penulisan buku-buku sejarah. Artinya, pendekatan saintifik mulai dimunculkan lagi.[6]
Kesimpulan ketiga, kedua penulis ini hampir sepakat bahwa versi yang paling baik dalam pengajaran sejarah adalah mengajarkan sejarah sebagai “ilmu” sebagaimana ilmu lainnya. Darmiasti menyebut pengajaran model ini sebagai “…bertujuan membangun daya nalar anak didik. Sikap kritis dibangun pada anak didik.”[7] Umasih menengarai bahwa pendekatan pengajaran sejarah model ini diadopsi dari pengajaran sejarah model Amerika dan kelihatannya dianggap lebih baik daripada pengajaran sejarah yang bersifat doktrin dan ideologis.[8]
Dari kesimpulan kedua penelitian di atas diperoleh kesan bahwa pengajaran sejarah di Indonesia tidak terlepas dari kepentingan ideologis penguasa. Penguasa dengan sengaja “memperkosa” pengajaran sejarah untuk membentuk patriotisme dan nasionalisme. Pendekatan semacam itu oleh kedua penulis di atas dianggap sebagai sesuatu yang kurang—kalau tidak dikatakan “tidak”—baik. Oleh sebab itu, keduanya setuju bahwa yang paling baik adalah mengajarkan sejarah dengan tujuan “ilmiah” alias “saintifik” sebagai pengganti dari pengajaran sejarah yang ideologis.
Rupanya keinginan semacam itu cukup kuat di kalangan para perumus kurikulum sejarah, terutama setelah rezim Orde Baru tumbang. Pandangan negatif terhadap segala yang berbau Orde Baru akhirnya mempercepat dihapuskannya pengajaran sejarah yang ideologis model Orde Baru. Kenyataan ini terlihat segara dalam rumusan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) tentang pelajaran sejarah. BSNP merumuskan tujuan pelajaran sejarah agar peserta didik dapat: (1) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan; (2). Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan; (3). Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau; (4). Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang; (5). Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.[9]
Dalam kelima tujuan yang nantinya diimplementasikan dalam bentuk satuan-satuan pelajaran, membangun pemikiran kritis melalui pengajaran sejarah menjadi sangat dominan (poin 1-4) dibandingkan menanamkan rasa cinta tanah air dan nasionalisme. Ini menunjukkan bahwa apa yang disebuat sebagai “sejarah ilmiah” oleh Darmiasti dan Umasih di atas saat ini tengah mendominasi pengajaran sejarah Indonesia.
Pertanyaan yang segera muncul ke permukaan adalah: apakah pendekatan pengajaran sejarah “ilmiah” ini benar-benar dapat menyingkirkan kecenderungan ideologis dari pengajaran sejarah? Apakah kata-kata “ilmiah” itu sendiri menjadi jaminan bahwa narasi sejarah yang dibuat benar-benar objektif tanpa “ideologi”? inilah yang menjebak para peneliti dan penulis sejarah seperti Darmiasti dan Umasih di atas. Penjelasan sub-bab berikut akan menguji sejauh mana kata-kata “ilmiah” ini bebas dari “ideologi” dan “kepentingan”.
Ketidak ampuhan pendekatan “saintifik” dalam kurikulum pelajaran sejarah tahun 2007 ini diperlihatkan mulai berubahnya tujuan kurikuler pada kurikulum 2013. Dalam standar kompetensi inti yang dirumuskan dalam rancangan kurikulum 2013 dengan tegas dituliskan ada empat domain utama tujuan mata pelajaran ini. Bila diringkas empat inti tujuan pelajaran sejarah ini adalah: 1) mengembangkankan penghayatan terhadap ajaran agama, 2) mengembangkan perilaku positif, 3) mengembangkan penguasaan ilmu pengetahuan (sejarah) untuk menghadapi kejadian-kejadian aktual, dan 4) mempu mengembangkan ilmu pengetahuan yang dipelajari (sejarah).[10]
Menarik bahwa dua di antara empat tujuan inti pelajaran sejarah ini adalah ingin mengarahkan peserta didik untuk beragama dan berkarakter baik. Kurikulum ini diharapkan dapat dicapai dengan mencapai target kompetensi dasar yang juga telah dirumuskan. Agar beragama dengan baik, materi-materi sejarah yang berisi berbagai cerita tokoh diharapkan dihayati kehidupan keagamaan mereka. Sementara agar terbentuk karakter yang baik, perilaku-perilaku baik para tokoh sejarah seperti cinta damai, responsif, dan pro aktif diteladani. Karakter baik ini pun diusahakan dicapai dengan mengembangkan sikap tanggung jawab dan peduli terhadap peninggalan sejarah; juga dengan bersikap jujur dalam menjalani proses pembelajarannya.
Kritik kecenderungan ideologis pada kerikulum sejarah semasa Orde Baru yang akhirnya melahirkan pengajaran sejarah yang bersifat “saintifik” ternyata tidak lama bertahan. Isu kebobrokan moral murid-murid sekolah di negeri ini menarik kembali kesadaran para perumus kurikulum sejarah untuk menarik kembali pengajaran sejarah pada ranah yang value laden (sarat nilai). Ranah bebas nilai dan kecenderungan keberpihakan terlalu berat pada aspek kognitif pada kurikulum 2007 mulai ditinggalkan kembali. Kali ini yang diberi penekanan adalah bagaimana pengajaran sejarah dapat diarahkan untuk mengajak peserta didik taat beragama sebagai dasar pembentukan karakter yang baik (good character) dan meneladani moralitas para tokoh sejarah.
Tujuan seperti di atas sepertinya baik-baik saja dan ada usaha yang cukup progresif untuk beranjak menyusun tujuan bukan hanya berhenti pada aspek penguasaan sejarah secara sekular, melainkan berusaha untuk mendekatkan peserta didik kepada agama. Agama yang dimaksud tentu dalam konteks plural, yaitu agama-agama yang hidup di Indonesia. Model internalisasi pengajarannya adalah dengan penghayatan atas perilaku agamis dari tokoh-tokoh sejarah.
Sekalipun belum sepenuhnya ideal dalam konteks pengajaran sejarah secara Islami, namun untuk sampai pada tujuan inti ini saja tentu bukan perkara mudah, mengingat selama ini sejarah sudah kadung dipersepsi secara sekular. Harus banyak perubahan radikal, terutama pada materi ajar yang menjamin tujuan ini dapat tercapai. Sebab, materi ajar sejarah yang ada selama ini sangat sekluar dan sulit untuk menonjolkan aspek-aspek seperti yang diinginkan dalam tujuan inti kurikulum Sejarah Indonesia tahun 2013 ini. Apalagi, pada tujuan dasar aspek tujuan penguasaan ilmu sebagai penjabarannya masih mengadopsi hal-hal yang justru kontradiktif terhadap tujuan yang sifatnya agamis di atas.
Sebagai contoh, dalam kompetensi dasar yang harus dikuasai untuk mencapai tujuan inti penguasaan ilmu sejarahnya disebutkan salah satunya pada poin 3.3 kompetensi dasar yang harus dikuasai adalah dapat mendeskripsikan asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia (Proto, Deutero Melayu dan Melanesoid). Kompetensi dasar ini sebetulnya suatu pertanyaan standar saja dalam sejarah. Setiap pertanyaan sejarah akan sampai pada keinginan mengungkap asal-usul paling dasar dari kehidupan. Ini adalah pertanyaan dasar setiap manusia dalam berbagai komunitas. Hanya saja, yang menjadi persoalan adalah bagaimana pertanyaan dasar itu dijawab. Inilah nanti yang berkaitan dengan konten pelajaran yang akan disampaikan.
Sampai saat ini buku-buku pelajaran sejarah yang ada selalu mengulang-ulang jawaban yang sama soal asal-usul manusia Indonesia, yaitu “manusia purba” seperti Pitecantropus Paleojavanicul, Homo Soloensis, atau Homo Wajakensis. Manusia purba yang fosilnya ditemukan di Sangiran dan tempat lain di wilayah Indonesia diyakini sebagai asal-usul manusia Indonesia. Sekalipun amat debatable jawaban ini tetap diyakini sebagai kebenaran yang seolah-olah tidak perlu dipertanyakan. Padahal, secara epistemologis kesimpulan semacam ini sangat patut dipertanyakan, karena ketidakmungkinan pengetahuan manusia sampai pada jawaban pertanyaan dasariah di atas.
Berakitan dengan rancangan kurikulum baru tahun 2013, jawaban klasik ini justru kontradiktif dengan tujuan baru yang dirumuskan pada kurikulum sejarah 2013 setidaknya karena dua hal. Pertama, jawaban di atas adalah jawaban Darwinis-materialistis yang hanya menegaskan keberadaan manusia sebagai entitas materi semata yang tidak ada hubungannya dengan hal lain di luar materi, padahal manusia sejatinya bukan hanya makhluk material, melainkan spiritual juga. Kedua, jawaban ini tidak berhasil sama sekali menghubungkan keberadaan manusia dengan Pencipta-nya. Menyadari keberadaan manusia yang fisik-spiritual dan menyadari hubungan eksistensialnya dengan Tuhan adalah kondisi yang harus ada (necessity need) untuk membentuk manusia-manusia “beragama” sebagaimana yang diinginkan kurikulum.
Untuk sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan tujuan kurikulum, satu-satunya jalan yang ditempuh adalah tidak menyingkirkan sumber kitab suci yang dengan tegas menghubungkan keberadaan eksistensial manusia dengan Tuhan melalui sosok Adam a.s. Akan tetapi, karena pandangan ilmu sejarah kontemporer yang cenderung melihat sumber-sumber agama sebagai mitos, akhirnya informasi yang benar dan tidak meragukan dari Allāh Swt dalam Al-Qurān yang diyakini oleh lebih dari 85 persen penduduk negeri ini diabaikan begitu saja. Di sinilah potensi ateisme pertama dalam pengajaran sejarah Indonesia yang bukan seacara fundamental hanya berbahaya bagi kehidupan manusia, tetapi juga bertentangan dengan tujuan kurikulum sejarah baru tahun 2013.
Tujuan pembentukan watak beragama dalam kurikulum sejarah 2013 melalui penghayatan sikap beragama para tokoh sejarah pun akan sangat sulit terwujud jika tokoh-tokoh sejarah Islam, misalnya, masih digambarkan tidak memiliki ikatan kuat dengan agamanya seperti yang selama ini ditemukan dalam bahan ajar sejarah yang beredar. Misalnya cerita tentang para pejuang Islam, baik semasa penyebaran Islam, masa kerajaan-kerajaan Islam, masa kolonialisme, maupun masa kemerdekaan. Keberadaan mereka selalu dikaitkan semata-mata dengan suatu cita-cita perjuangan “nasional” mewujudkan Indonesia yang seringkali amat dipaksakan.
Padahal, kalau dibuat pertanyaan mendasar, apakah sebagai Muslim yang beriman pada Tuhannya mereka tidak pernah punya motif agama sama sekali dalam perjuangan mereka, tentu jawabannya sangat mungkin motif mereka sangat agamis. Apalagi kalau dikaitkan dengan para pejuang yang mengangkat senjata atas nama umat Islam seperti Pangeran Diponegoro.
Selama ini cerita mengenai Pangeran Diponegoro selalu hanya dikait-kaitkan kemarahannya karena Belanda mematok tanah leluhurnya di Tegalrejo secara semena-mena. Padahal, dalam berbagai naskah yang ditulis mengenai Pangeran Diponegoro ini jelas-jelas Pangeran Diponegoro mengobarkan jihād fī sabīlillāh atau Perang Sabil dalam menghadapi Belanda. Kalau kenyataannya begitu, berarti motif agama amat kuat mendasari perjuangan Pangeran Diponegoro. Sayang sekali karena kata-kata “jihad” saat ini menjadi tabu, akhirnya cerita Pangeran Diponegoro gagal mengeksplorasi sikap beragama yang benar dari sosok Pangeran Diponegoro yang semestinya dapat dihayati dan diteladani untuk membentuk watak beragama dari peserta didik.
Di atas hanya sekedar contoh kecil potensi tidak sinkronnya tujuan kurikulum dengan materi ajar yang dibuat. Agama dijadikan tujuan, tapi sumber-sumber yang berasal dari agama seperti wahyu tidak dipercayai sebagai asas pengetahuan. Agama dan sumber-sumber agama dipisahkan dari materi ajar. Selama ilmu pengetahuan diperlakukan secara ateistik seperti ini dan kemudian dimasukkan sebagai bahan ajar, maka jangan harap pelajaran apapun dapat mengantarkan peserta didiknya beragama.
Berangkat dari evaluasi di atas bagi umat Islam, rancangan kurikulum 2013 ini memberi angin segar untuk suatu proses Islamisasi pengajaran sejarah. Akan tetapi, pada kenyataannya tujuan itu tidak sepenuhnya dapat direpresentasikan oleh rancangan materi ajar. Materi ajar yang dibuat masih sama seperti sebelumnya hingga kelihatannya tidak akan terlalu banyak mengubah pengajaran sejarah menjadi lebih Islami. Bahkan, untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan pun sangat meragukan. Oleh sebab itu, bagi umat Islam, Islamisasi pengajaran sejarah masih tetap jadi tugas yang harus segera diselesaikan. Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan menjelaskan kemungkinan-kemungkinan dan rambu-rambu dasar dalam proses Islamisasi pengajaran sejarah, baik secara teori maupun praktik.
Menuju Islamisasi Kurikulum Sejarah
Untuk memahami kemungkinan dilakukannya Islamisasi terhadap kurikulum sejarah, terlebih dahulu harus diurai mengenai dasar epistemologis penulisan sejarah secara umum. Ini menjadi sangat penting mengingat tanpa penjelasan aspek epistemologis ini kemungkinan akan ada yang meragukan apakah usaha Islamisasi semacam ini secara ilmiah dapat diterima. Oleh sebab itu, sebelum masuk dalam wacana Islamisasi kurikulum sejarah tulisan bagian ini terlebih dahulu menjelaskan tentang dasar epistemologis penulisan sejarah. Setelah itu, akan dikaji selintas kemungkinan Islamisasi kurikulum pengajaran sejarah beserta operasionalisasinya.
- Landasan Epistemologis Penulisan Sejarah
Ketika gelombang pemikiran Barat modern begitu digandrungi, ada semacam aturan tidak tertulis bahwa ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya pengetahuan sejarah (penulisan sejarah) harus bebas nilai. Dalam bahasa lain harus disajikan secara “objektif”. Objektivitas menjadi semacam capaian tertinggi ilmu pengetahuan dengan kategori “ilmiah”, sekalipun sampai saat ini agak sulit untuk menyebutnya sudah berhasil diwujudkan dalam berbagai disiplin ilmu.
Salah satu yang menjadi kriteria objektivitas adalah memperkecil pengaruh-pengaruh kecenderungan ideologis ilmuwan dalam karyanya. Kecenderungan ideologis ini tidak boleh hadir dalam sebuah karangan ilmiah, termasuk sejarah. Seorang ilmuwan harus bertindak sebagai orang lain yang berjarak dengan objek yang ditelitinya. Bahkan, ketika yang ditelitinya itu adalah kepercayaan sendiri, keterkaitannya pada objek harus ditanggalkan demi mencapai “objektivitas”.
Seorang Muslim, misalnya, yang mempelajari sejarah Islam sekalipun, dia harus bisa berjarak dengan objek yang ditelitinya. Ia harus menyajikan fakta apa adanya. Segala perasaan dan kecenderungan keberpihakannya pada Islam yang diyakini kebenarannya harus ditanggalkan saat ia menyajikan berbagai data dan fakta mengenai Islam. Kalau masih bercokol bias ideologis seperti masih menggunakan kategori Muslim-kafir untuk membedakan komunitas Muslim dengan yang lainnya, karya yang demikian tidak objektif. Dalam penggunaan istilah “muslim“ dan “kafir” terdapat bias ideologis dan kepercayaan yang sangat kental.
Oleh sebab itu, dalam pengajaran-pengajaran penulisan sejarah modern yang dianggap “kritis” bias-bias ideologis semacam itu dianggap sebagai sesuatu yang mengurangi nilai ilmiah suatu karya sejarah. Penulisan semacam itu dianggap sebagai penulisan sejarah yang tidak kritis. Dalam metodologi penulisan sejarah ala Barat, kata-kata “penulisan sejarah kritis” harus minus ideologi. Ideologi dianggap bersifat subjektif. Bila dipegang, orang (baca: ilmuwan) akan melihat kebenaran faktual dengan kaca mata kuda sehingga akan mengurangi nilai ilmiah karya yang ditulis. Benarkah demikian? Berikut penjelasannya.
Kata “sejarah” (Arab: tārīkh; Inggris: history) adalah kata yang tidak bermakna tunggal. Paling tidak, sejarah dapat dimaknai sebagai “peristiwa yang terjadi di masa lampau” dan “kisah mengenai sesuatu yang terjadi di masa lampau”. Walaupun sama-sama berkaitan dengan masa lampau, jelas kedua hal ini bukan barang yang sama. Sejarah sebagai “peristiwa yang terjadi di masa lampau” atau sering disebut sejarah sebagai peristiwa (history as event) tidak pernah ada di masa kini. Ia benar-benar sudah berlalu bersama berlalunya waktu dalam kesadaran manusia. Oleh sebab itu, adalah hal mustahil menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa masa lalu di hadapan kita saat ini. Suatu pekerjaan sia-sia jika benar-benar ingin dilakukan.
Kalau sesuatu yang mustahil, lantas apa yang disajikan dalam buku-buku sejarah? Yang dihadirkan dalam buku-buku sejarah jelas bukan masa lalu, hanya “cerita” tentang masa lalu. Orang menyebutnya sebagai sejarah sebagai “kisah” (history as story atau history as written). Belakangan untuk ada juga orang memberi makna terhadap “sejarah” sebagai salah satu disiplin ilmu tertentu seperti sosiologi dan antropologi. Namun, “sejarah” yang bermakna ilmu inipun sesungguhnya hanya perluasan makna dari sejarah sebagai kisah. Pada intinya ilmu sejarah adalah ilmu mengenai bagaimana menyusun kisah sejarah yang dianggap baik berdasarkan standar logika ilmu pengetahuan kontemporer.
Antara “peristiwa” dan “kisah” jelas bukan sesuatu yang sama. Keduanya memiliki status ontologi masing-masing yang tidak selalu saling berhubungan. “Peristiwa” entitasnya berkaitan dengan masa lalu yang tidak mungkin hadir dalam kekinian dan kedisinian kita. Sementara “kisah” atau “ilmu kisah” adalah sesuatu yang inhern dengan kekinian dan kedisinian kita. Kisah itu kita di sini dan sekarang yang menciptakannya, bukan masa lampau itu sendiri. “Peristiwa” masa lampau hanyalah objek yang dijadikan bahan untuk menyusun cerita yang dibutuhkan manusia saat ini. Itu pun sepanjang peristiwa-peristiwa sedikit meninggalkan jejaknya dan ditemukan. Bila tidak, adalah mustahil menyusun suatu “kisah” masa lampau itu.
Sepanjang sejarah sebagai “kisah”, dia sesungguhnya ada dan dibuat karena masa kini membutuhkannya, bukan karena masa lalu ingin ikut hadir meramaikan kontestasi kehidupan masa kini. Masa lalu benar-benar belong to the past. Tidak ada secuil pun kemungkinan dia ikut hadir atau ingin hadir dalam ruang-ruang kekinian. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau tidak pernah ada dua orang sejarawan yang menulis cerita sama, kecuali mengutip, menyebarluaskan, meniru, atau menjiplak. Kebutuhan dan keinginan yang berbeda akan mendorong setiap penulis sejarah untuk menghadirkan kisah yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginannya masing-masing.
Seorang penulis ada yang begitu hobi bermain musik. Hobinya ini bahkan telah menjadi salah satu tambang emas untuk kehidupanya. Entah bagaimana, dia merasa ada sesuatu di masa lalu yang harus diceritakan untuk khalayak masa kini soal musik yang disenanginya: musik klasik. Ketertarikannya mengantarkannya untuk menuliskan keinginananya itu dalam bentuk “disertasi”. Apapun namanya, ujung yang ia inginkan adalah “kisah” masa lalu tentang suatu peristiwa berkenaan kegiatan bermusik.
Penulis lain yang aktivis lingkungan justru punya kepentingan dan kebutuhan lain. Ia ingin menuliskan kisah tentang konservasi lingkungan di masa lalu. Begitu juga penulis yang pekerjaannya bergelut dengan buku. Ia ingin menuliskan kisah tentang masa lalu yang berkaitan dengan dunia buku. Mereka yang sedang menekuni kesibukan yang berbeda-beda: tentara, birokrat, ustadz, pendeta, bikhu, dan lainnya, kalau mereka ingin bercerita tentang sesuatu dari masa lalu akan memilih kisah yang berbeda-beda.
Contoh di atas tidak perlu diperpanjang. Semakin diperpanjang semakin menambah daftar bukti bahwa kisah sejarah sebetulnya adalah bagian dari masa kini, bukan masa lalu. Ketika ia dituliskan, ada kepentingan masa kini yang mendorong agar kisah itu dibuat. Masa lalu hanya menjadi objek yang “dieksploitasi” untuk kepentingan kekinian mereka masing-masing. Kisah sejarah hanya berbeda satu strip dengan karya-karya sastra. Yang pertama harus faktual, sementara yang kedua boleh faktual dan boleh juga tidak sama sekali.
Entah mengapa banyak orang beranggapan bahwa saat kisah sejarah dibaca atau diperdengarkan, seolah-olah masa lalu itu yang sedang dihadirkan. Padahal, yang hadir hanyalah “cerita”. Banyak orang tidak sadar bahwa masa lalu hanya menjadi ‘alat’ untuk memasukkan keinginan, kepentingan, dan ide si penulis cerita kepada pembacanya. Lantas mereka yang ‘terpengaruh’ merasa bahwa begitulah masa lalu itu terjadi. Padahal, tidak ada seorang pun yang pernah bisa berkunjung ke masa lalu menerobos lorong waktu.
Kalau kenyataannya seperti ini, yang menjadi masalah pokok penulisan cerita sejarah sesungguhnya bukan ceritanya itu sendiri melainkan ideologi dan kepentingan penulisnya. Ini sesuatu hal yang mustahil dihindari, bahkan oleh mereka yang mengaku bersikap dan bertindak “objektif” saat menuliskannya. Bias-bias idelogi dan kepentingan akan tampak nyata setelah semua karya dan cerita sejarah selesai dirampungkan. R. Moch. Ali dengan bahasa yang agak berbeda mengatakan:
Penyusun cerita sendiri terpengaruh oleh suatu pendirian, ia mempunyai pendirian. Pendirian—agama, filsafat, dan sebagainya—adalah sebuah teropong (telescop) baginya untuk meneropong kejadian-kejadian di zaman lampau. Sifat dan bentuk segala sesuatu yang kelihatan dipengaruhi (mungkin ditentukan) oleh teropong itu.[11]
Kenyataan inilah yang mendorong munculnya perdebatan mengenai objektivitas dan subjektivitas penulisan sejarah.[12] Mereka yang tidak tahu permasalahan secara mendalam banyak yang bermimpi bahwa akan ada suatu cerita sejarah yang benar-benar objektif. Padahal, ini adalah sesuatu yang mustahil dalam penulisan sejarah. Bahkan, sebelum kisah sejarah itu sendiri dibuat, subjektivitas-lah yang menjadi asal-muasal cerita itu akan ada. Dialah yang mendorong agar diadakan suatu kisah sejarah.
Paling-paling apa yang dapat dicapai sebagai sebuah “objektivitas” dalam penulisan sejarah adalah bersikap jujur saat menuliskannya. Jujur yang dimaksud adalah selalu berpegang pada fakta-fakta yang sahih, tidak membual, tidak menyembunyikan fakta yang diketahui atau sengaja membuat fakta-fakta fiktif, dan menggunakan cara-cara yang tepat (baca: ilmiah) dalam melakukan penyelidikan terhadap sumber-sumber sejarah.[13] Ada pula bagian yang dianggap baik bila penulis mengakui pula secara jujur atas kecenderungan kepentingan dan kecenderungan ideologis yang melatarinya. Bagian ini sekalipun tidak dimunculkan akan terekam secara inheren sepanjang tulisan yang dibuat.
“Objektivitas” semacam ini sesungguhnya bukan benar-benar merupakan suatu “objektivitas” yang akan mengantarkan penulis menyajikan kisah tentang masa lalu apa adanya seperti apa yang terjadi di masa lalu itu sendiri. Ini sesuatu yang mustahil terjadi. Mimpi sejarawan Jerman Lepold von Ranke agar masa lampau ditulis “sebagaimana yang sungguh-sungguh terjadi”[14] hanya angan-angan belaka. Objektif dalam arti yang sesungguhnya tidak pernah ada, bahkan dalam disiplin ilmu apapun, termasuk ilmu-imu eksakta.
Pada umumnya para sejarawan setuju bahwa kejujuran harus dikedepankan saat menuliskan kisah sejarah. Kepentingan dan ideologi tidak boleh ‘memperkosa’ fakta-fakta. Di sinilah teknik dan metodologi penyelidikan sejarah berperan. Pada wilayah ini pula ilmu sejarah dapat menguji kualitas-kualitas karya historiografi. Validitas dan kemampuan menghadirkan fakta-fakta secara tepat dan akurat menjadi kekuatan penjamin kualitas karya sejarah. Suatu karya sejarah dikatakan tidak tepat dan tidak akurat karena penggunaan metodologi dan penyajian fakta-fakta ini, bukan masalah ideologi yang dianut penulisnya.
Namun demikian, secanggih apapun metodologi dikembangkan, tetap saja tidak dapat mengontrol kecenderungan ideologis dan kepentingan dari si penulis sejarah. Oleh sebab itu, boleh dikatakan bahwa sejarah (yang baik) sesungguhnya adalah satu perpaduan tidak terpisahkan antara kekuatan ideologi dan fakta-fakta yang sahih. Kenyataan ini tidak akan dapat dihindari sampai kapan pun. Sepanjang manusia berkepercayaan, sepanjang itu pula kedua unsur dalam penulisan sejarah ini
- Kaidah-Kaidah Dasar Islamisasi Kurikulum Sejarah
Setelah mempertimbangkan penjelasan di atas, apa yang disebut pengajaran dengan pendekatan ilmiah sebagai alternatif menghindari pengajaran yang ideologis adalah pernyataan yang absurd. Apa yang berada pada wilayah ilmiah pun pada akhirnya harus menentukan “misi” pengajaran. Misi itu mencerminakan tata nilai yang dipegang. Bila tata nilai itu berwujud sesuatu yang sekadar lebih luas dari keinginan menanamkan nasionalisme dan patriotisme, bukan berarti ideologi menjadi hilang. Yang terjadi sesungguhnya hanyalah mengganti ideologi dengan ideologi lain yang dianggap lebih benar.
Pengajaran sejarah tanpa misi dan ideologi justru menjadi sesuatu yang aneh. Tiap guru setiap harinya akan dihadapkan pada pertanyaan serius mengenai tujuan pengajaran yang diberikannya kepada murid; untuk apa cerita sejarah disampaikan.[15] Adalah sebuah kesia-sian apabila guru tidak berhasil merumuskan misi apa yang ingin disampaikannya. Ambil contoh misi yang ingin ditanamkan adalah membangun “sikap kritis” terhadap realitas yang dihadapi seperti yang tercermin dalam kurikulum pengajaran sejarah di Indonesia tahun 2007. Apakah “membangun sikap kritis” bukan merupakan suatu produk dari ideologi tertentu? Alangkah naif bila ini bukan dianggap sebagai produk dari suatu ideologi dan tata nilai tertentu.
Untuk mengujinya bahwa ini merupakan produk dari suatu ideologi tertentu, silahkan pertanyakan apakah sikap “kritis” ini diterima di setiap masyarakat? Bukankah di masyarakat Jawa yang masih memegang nilai-nilai kejawaan lama, bersikap terlampau kritis terhadap realitas yang dihadapinya justru sebuah “pemberontakan” dalam maknanya yang negatif dan penolakan terhadap budaya hidup “guyub.” Persoalan saat ini sikap kritis dianggap positif karena memang telah terjadi perubahan tata nilai (baca: ideologi) dalam diri setiap masyarakat.
Persaolan pokok dalam pengajaran sejarah itu justru pada misi pengajaran sejarah yang terus-menerus berubah dari waktu ke waktu seperti telah ditunjukkan dalam penelitian Umasih dan Darmiasti di atas. Dalam konteks Indonesia, misi itu sangat dipengaruhi oleh angin perubahan politik. Kalaupun perubahan misi dirumuskan sebagai bertujuan “ilmiah”, sesungguhnya itu tidak terlepas dari perubahan politik yang berubah menjadi tidak lagi didominasi oleh kelompok tertentu sehingga misi pendidikan diarahkan kepada sesuatu yang dirasakan lebih baik untuk saat ini seperti mengajarkan sikap “kritis”. Tidak mustahil bahwa suatu saat nanti misi itu akan berubah pula apabila terjadi perubahan angin politik yang menggiring perubahan ideologi. Ini terbukti ketika dirancang kurikulum 2013. Kurikulum ini jelas merupakan suatu produk ideologi yang tidak terlampau senang apabila pengajaran hanya diarahkan untuk membentuk watak kritis semata. Pengajaran sejarah diarahkan untuk pembentukan karakter dan tata nilai yang baik dari peserta didik.
Apabila hal ini dikaitkan dengan Islam, maka kenyataan ini memperlihatkan suatu kemungkinan yang besar untuk menjadikan pengajaran sejarah menjadi bagian dari misi Islamisasi (baca: dakwah Islam). Bahkan bukan hanya suatu kemungkinan, melainkan suatu keharusan, karena kewajiban setiap Muslim adalah menjadikan kehidupan ini sepenuhnya harus sesuai dengan tuntutan Islam. Untuk menuju ke arah sana, ada beberapa hal yang harus menjadi landasan dalam pengembangan kurikulum sejarah yang Islami. Hal-hal berikut ini merupakan langkah-langkah nyata menuju Islamisasi pengajaran sejarah.
Pertama, Rumuskan tujuan secara Islami. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengislamkan pengajaran sejarah adalah menetapkan tujuan apa yang ingin dicapai dari pengajaran sejarah. Sejarah sebagai ilmu yang terkategori ilmu-ilmu dasar, bukan ilmu praktis, tentu memiliki tujuan yang tidak praktis melainkan tujuan yang lebih mendasar seperti penanaman ideologi dan karakter. Imādudīn Khalīl menjelaskan bahwa tujuan pokok penulisan ataupun pengajaran sejarah secara Islami adalah sebagai sebagai berikut.
إن القصص و الصور و المشاهدات أي إشباع النزعة الأكاديمية دون الإهتمام بالمدلولات الكبرى لما حدث, و إشاراته الأخلاقية ليس فقط الهدف, ولكن الغاية الأساسية من تلك القصص و المشاهدات هي أن تحرك الإنسان نحو الأهداف التي رسمها الإسلام, و أن يبعد الإنسان—في الوقت ذاته—فردا أو جماعة من المزالق و المنعرجات التي اودت بمصائر عشرات المئات من الأمم والجماعات و الشعوب…
Cerita-cerita, gambar-gambar, dan kesaksian-kesaksian yang ditujukan hanya untuk memenuhi tuntutan akademik semata tanpa mempertimbangkan sesuatu yang besar di belakang semua kejadian dan hanya sekadar untuk menggali pelajaran moral bukan merupakan satu-satunya tujuan (dari pengajaran dan penulisan sejarah, pen.). Tujuan pokok dari semua itu adalah agar dapat menggerakkan manusia menuju tujuan yang telah ditetapkan oleh Islam dan menjauhkan manusia—pada saat yang sama—baik secara pribadi maupun secara kelompok dari kesalahan dan kekeliruan yang telah dilakukan oleh ribuan umat, kelompok, dan bangsa di masa lalu…[16]
Khalīl ingin mengatakan bahwa dalam kacamata Islam, pengajaran sejarah harus diarahkan untuk menopang terwujudnya nilai-nilai kehidupan Islami dalam kehidupan individu dan masyarakat Muslim. Nilai-nilai tersebut harus mendasari, baik penelitian sejarah, penulisan buku ajar sejarah, maupun perancangan kurikulum pengajaran sejarah dengan tema apapun. Penjelasan Khalīl ini juga memberikan penekanan bahwa ketika ada tujuan yang lebih operasional dalam mengajarkan sejarah, acuan nilai yang hendak dicapai tidak boleh keluar dari misi besar mewujudkan nilai-nilai Islami. Kalau ada tujuan yang berada di luar koridor nilai Islami harus segara disingkirkan. Di sinilah peran Islamic Worldview akan sangat terlihat, terutama untuk menilai dan merusmuskan mana yang Islami dan mana yang tidak.[17]
Dalam kasus pengajaran sejarah di Indonesia. Secara legal ada peluang dengan terbitnya Kurikulum 2013 yang memberikan tekanan agar siswa dapat lebih “beragama” dengan mempelajari sejarah. Akan tetapi butuh keseriusan dalam implemantasinya. Dari tujuan siswa yang harus lebih beragama perlu diterjemahkan kembali ke dalam nilai-nilai Islam yang lebih kongkrit. Misalnya, dalam Islam salah satu faktor penting dalam beragama adalah penguatan akidah dan keyakinan sebagai seorang Muslim. Nilai ini dapat menjadi salah satu tujunan penting untuk membentuk “karakter” anak. Secara umum, tujuan berakidah adalah membangun keimanan pada Allāh Swt., malaikat, wahyu, Rasūl-Nya, Hari Akhirat, dan beriman pada takdir. Kalau tujuan turunan ini sudah ditetapkan, tugas berikutnya adalah merumuskan materi ajar yang dapat mewadahi tujuan tersebut. Berikut penjelasannya.
Kedua, Rumuskan materi ajar sesuai tujuan pengajaran yang Islami. Langkah selanjutnya untuk mewujdukan misi di atas adalah mempersiapkan materi-materi ajar agar sesuai misi yang telah dirumuskan. Walaupun penetapan misi menjadi hal yang paling prinsip, akan tetapi dalam praktik pengajaran sejarah di lapangan, yang paling penting justru materi ajar apa yang disampikan. Kekuatan pengajaran sejarah justru ada pada materinya, bukan metode atau yang lainnya. Materi ajar inilah yang akan menjadi cermin utama ke mana pengajaran sejarah akan diarahkan.
Seperti dicontohkan pada evaluasi kurikulum pengajaran sejarah 2013 di atas, terjadi ketidaksinkronan antara tujuan dengan materi ajar yang harus disampaikan kepada peserta didik. Anak yang harus beragama (baca: Islam) yang tentu salah satunya beriman secara Islam dipaksa untuk menerima konsep materialisme historis ala Charles Darwin dengan menerima kesimpulan bahwa nenek moyang manusia, termasuk bangsa Indonesia, adalah sebangsa kera. Ajaran semacam ini jelas bertentangan dengan kepercayaannya kepada al-Qurān.
Supaya menjadi sesuai dengan nilai-nilai Islam, walaupun cerita tentang makhluk-makhluk purba harus tetap ada sebagai penemuan ilmiah manusia, harus diberi frame bahwa mahkluk yang demikian bukan merupakan asal-usul manusia. Katakan saja frame-nya adalah bahwa itu hanyalah mahluk tertua yang pernah ditemukan fosilnya di Indonesia. Tetapi, secara ilmiah, untuk dikatakan sabagai asal-usul manusia masih merupakan dugaan yang sangat lemah. Kalaupun dipaksakan justru malah menjadi semacam mitos yang dianggap “ilmiah”. Di pihak lain harus diyakinkan tentang informasi al-Qurān mengenai siapa manusia pertama yang diciptakan Allāh Swt., bagaimana proses penciptaannya, serta argumentasi status keilmiahan informasi al-Qurān ini.[18]
Dengan cara seperti ini pelajaran sejarah tetap akan seperti skenario kurikulum, tetapi tidak menyebabkan terjadi tabrakan antara keyakinan sebagai Muslim dengan materi pelajaran. Bahkan lebih jauh lagi, peserta didik mulai diajak untuk semakin dekat mengenal keyakinan agamanya yang sangat mendasar untuk membentuk karakter kepribadiannya sebagai seorang Muslim.
Ketiga, siapkan guru-guru agar berpandangan Islami. Untuk melakukan Islamisasi pengajaran sejarah, menumpukan hanya pada penyiapan materi, adalah sia-sia belaka tanpa ditopang oleh unsur penting lainnya, yaitu guru. Proses Islamisasi sesungguhnya berporos pada pikiran orang-orangnya, bukan semata-mata pada materinya.[19] Oleh sebab itu, di antara program Islamisasi yang penting adalah bagaimana mengubah mindset pikiran orang agar memandang segala sesuatu dari sudut pandang Islam. Dalam hal pengajaran, tentu aspek manusia pelaku utamanya adalah guru.
Sebaik apapun kurikulum dan buku ajar disiapkan agar dapat mengantarkan anak lebih Islami dengan belajar sejarah, bila guru yang mengajarnya tidak memiliki pandangan hidup Islami, Islamisasi pengajaran sejarah tidak akan berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengubah pola berpikir guru yang belum Islami agar lebih Islami. Tentu saja dapat dilakukan banyak cara untuk menuju ke arah sana: training pandangan hidup Islami, diskusi, kajian dan sebagainya. Yang terpenting, pola pikir guru dapat berubah menjadi lebih Islami.
Peran guru ini bahkan akan tetap bisa memberi pengaruh pada proses Islamisasi pengajaran sejarah pada saat tidak ada buku ajar yang Islami. Guru dapat merancang sendiri materi dan bahan-bahan ajar untuk kemudian ia sampaikan kepada peserta didiknya. Guru secara kreatif dapat menyiapkan sendiri apa yang perlu disampikannya kepada murid-muridnya agar pelajaran yang disampaikannya dapat menjadi jembatan untuk sampai ke tujuan pengajaran, yang salah satunya adalah menanamkan nilai-nilai keislaman. Tentu saja pada saat yang sama guru yang kreatif tetap tidak akan lupa juga tujuan praktisnya, yaitu menguasai ilmu sejarahnya.
Penutup
Bila secara umum dilihat, kelihatannya tradisi pengajaran sejarah di Indonesia, terutama dalam pengajaran sejarah umum, memang tidak berasal dari tradisi Islam. Kalaupun ada beberapa yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sifatnya hanya kebetulan saja. Apalagi kalau mempertimbangkan tradisi penulisan sejarah Indonesia secara intensif dimulai dari tradisi kolonial-orientalis yang menempatkan Islam dan umat Islam sebagai musuh utama mereka. Dalam banyak kasus ditemukan kesengajaan mengubur Islam dalam sejarah Indonesia. Jangankan membincangkan masalah misi Islamisasi, mengenai fakta historis tentang peran umat Islam pun masih banyak yang tidak didudukkan secara proporsional.
Penulisan dan pengajaran sejarah di Indonesia, sekalipun penduduknya mayoritas Muslim, masih belum memenuhi tuntutan Islam. Indikasi paling serius adalah sangat jarangnya diskusi dan pembahasan mengenai bagaimana nilai-nilai Islam harus bersanding dengan pengajaran sejarah. Ini menunjukkan bahwa dalam konteks pengajaran sejarah, Islam seolah-olah dianggap tidak perlu dilibatkan. Indikasi ini memang bukan hasil riset dan kajian serius, namun dapat dijadikan premis awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap kecenderungan pengajaran sejarah di Indonesia.
Kali ini, ada peluang untuk memasukkan nilai-nilai Islam dalam pengajaran sejarah melalui Kurikulum 2013. Oleh sebab itu, para pendidik dan pemerhati pendidikan Islam sudah saatnya untuk secara serius memikirkan bagaimana ini dimanfaatkan untuk mengislamisasi pengajaran sejarah. Mininal hal demikian bisa diberlakukan di sekolak-sekolah Islam yang saat ini jumlahnya sangat banyak. Sekolah yang sudah tidak malu-malu lagi menunjukkan identitasnya ini adalah yang seharusnya paling berkepentingan dan paling siap untuk melakukan proses Islamisasi pengajaran, termasuk pengajaran sejarah di dalamnya. Tulisan ini secara singkat memberikan kemungkinan dan ancangan tentang bagaimana pengajaran sejarah diislamkan. Berikutnya tinggal menunggu keseriusan dari praktisi pendidikan untuk menindaklanjuti dan menyempurnakan proses Islamisasi ini[].
[1] Umasih, Sejarah Pendidikan di Indonesia; Sebuah Telaah atas Perubahan Kurikulum Sejarah Indonesia Sekolah Menengah Atas (SMA) Tahun 1975 – 1994, Tesis Departemen Sejarah FIB Universitas Indonesia Depok, 2000 (tidak dipublikasikan).
[2] Darmiasti, Penulisan Buku Pelajaran Sejarah Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas 1964 – 1984: Sejarah Demi Kekuasaan, Tesis Departemen Sejarah FIB Universitas Indonesia Depok, 2002 (tidak dipublikasikan).
[3] Ibid. hal. 13.
[4] Ibid hal. 125
[5] Umasih, Sejarah… hal. 148
[6] Ibid. hal. 151
[7] Darmiasti, Penulisan….hal. 14
[8] Umasih, Sejarah…hal. 149
[9] Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 14 Tahun 2007 Tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Mata Pelajaran (no. 66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)
[10] ibid
[11] R. Moch Ali. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2005 hal. 59.
[12] Penjelasan masalah ini dapat pula dilihat dalam G.J. Renier. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1997 hal. 270-277; Dudung Abdurrahman. Metodologi Sejarah.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 1997 hal. 16-20; Helius Syamsudin. Metodologi Sejarah. Ombak Yogyakarta, 2007, hal. 183; R. Moch Ali. Pengantar…. Hal. 57-73.
[13] R. Moch Ali. Pengantar…. hal. 65. Perdebatan mengenai kecenderungan ini dalam penulisan sejarah Indonesia kontemporer dapat dibaca dalam tulisan Bambang Purwanto, “Historisisme Baru dan Kesadaran Dekonstruktif: Kajian Kritis terhadap Historiografi Indonesiasentris” dalam Jurnal Humaniora, Volume XIII, No. 1/2001, hal. 29 – 44.
[14] Louis Gottschalk. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press, 2006, hal. 39.
[15] Chris Husbands, Alison Kitsons, and Anna Pendry, Understanding History Teaching, Open University Press Bachshire England, 2003, hal. 6
[16] Imāduddīn Khalīl, Al-Tafsîr Al-Islāmī li Al-Tārīkh. Beirut Libanon:Dār Al-Ilm Al-Malīyīn, hal. 13.
[17] Untuk memperluas penjelasan mengenai tujuan Islami dalam pengajaran sejarah dapat dibaca dalam Sir Al-Khatm Utsmān ‘Ali, Ushûl Tadrîs Al-Târîkh fî Al-Marhalatain Al-Mutawashshithah wa Al-I’dâdiyyah, Riyad KSA: Dar El-Syawaf, 1992, hal. 13 – 39.
[18] Penulis bersama tim telah mencoba melakukan eksperimen pembuatan buku ajar sejarah Indonesia dengan pendekatan Islam. Buku tersebut diterbitkan tahun 2011 oleh AIEMS Jakarta dengan judul Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru. Buku yang ditulis baru dapat terbit sebanyak dua jilid dari tiga jilid yang direncanakan. Para pembaca dipersilakan merujuk buku tersebut untuk mendapat contoh lebih banyak tentang bagiamana buku ajar sejarah dibuat dengan landasan nilai-nilai Islami.
[19] Mengenai konsep Islamisasi ilmu pengetahuan ini lihat Syed M. Naquib Al-Attas. Islam dan Sekularisme. Bandung: Pimpin, 2011