Pertemuan pertama dalam hari kedua ini dimulai pada jam 08.00 WIB. dengan diawali oleh paparan Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar sebagai keynote speaker (pidato kunci). Dalam makalahnya yang diberi judul “Merumuskan Kajian Keislaman di Indonesia”, Prof. Atho memulai paparannya dengan mempertanyakan relevansi perubahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) ke Universitas Islam Negeri (UIN). Apakah dengan perubahan itu akan terjadi perubahan pula dalam metodologi studi Islam? Menurutnya, sampai hari ini ternyata UIN-UIN yang ada tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Apa yang nampak dari UIN-UIN baru itu hanyalah pembukaan program-program studi Strata Satu untuk ilmu-ilmu sosial dan eksakta. Sedangkan Program Pasca Sarjana, di UIN Jakarta misalnya, masih berkutat pada prodi-prodi keagamaan. “Jadi plang yang bertuliskan Pasca Sarjana UIN Jakarta itu sebaiknya diganti aja dengan Pasca Sarjana IAIN”, guyonnya yang disambut tawa oleh peserta.
Dalam paparan selanjutnya, Guru Besar Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah ini menjelaskan bahwa kajian keislaman tidak hanya digeluti oleh penduduk Timur, sebagai penganut agama islam, tetapi juga telah digeluti oleh Barat sejak awal kelahiran Islam. Kajian Barat inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan orientalisme. Menurutnya, kajian para orientalis lebih ditujukan untuk kepentingan missionaris Kristen. Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyaknya distorsi dalam kajian mereka terhadap Islam, jelas Kepala Litbang dan Diklat Departemen Agama tersebut.
Setelah memaparkan kajian-kajian orientalis dengan panjang lebar, Atho’ mengajak kepada seluruh peserta ACIS, yang terdiri dari para dosen dan pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), untuk mengembangkan kajian oksidentalisme di masing-masing kampusnya. Hal ini untuk mengimbangi kajian mereka dan memahami karakter mereka. “Masak mereka mengkaji umat Islam dengan seenaknya, kita tidak bisa mengkaji mereka”, paparnya.
Di samping itu, Guru Besar pada Fakultas Syari’ah ini juga menyayangkan bahwa ternyata kajian sejarah tidak mendapat tempat yang layak dalam kajian keislaman di Indonesia. Ia mencontohkan kurangnya apresiasi akademisi Muslim Indoensia terhadap kitab Tarikh Thabari untuk kajian sejarah keislaman. Padahal di Barat terjemahan kitab tersebut sudah lengkap, tapi di Indonesia ternyata belum ada terjemahannya secara lengkap. “Seharusnya para doktor diberi proyek untuk menerjemahkan kitab tarikh ini, karena kitab ini sangat penting untuk diketahui umat Islam”, guyonnya kepada para peserta. Ia berargumen bahwa fakta-fakta yang ditampilkan dalam kitab tersebut tidak memihak ke manapun. Misanlya, saya pernah meneliti siapakan yang awal masuk Islam, ternyata bukan seperti yang umum dikatakan orang-orang sekarang, paparnya.
Atho’ juga menambahkan bahwa Sejarah adalah penafsiran orang sekarang terhadapa peristiwa masa silam, bukan rekonstruksi masa silam sebagaimana orang salah memahaminya. Menurutnya, Islam sangat memperhatikan sejarah, sebagaimana diketahui dari perkembangan Ilmu Hadis yang merupakan bibit dari ilmu historiografi. Jadi Historiografi bukan berasal dari Barat an sich tetapi ia salah satu dari metode tradisi mencari sanad (isnad). “Ilmu Sanad is Historiografi System”, tegasnya. (mm)