Oleh Kholili Hasib, Peneliti InPAS
Pengantar
Salah paham tentang makna Islam terjadi baik di kalangan cendekiawan maupun masyarakat awam. Meskipun bertahun-tahun memeluk Islam – bahkan yang mempelajari syariah – masih ada yang keliru tentang konsep Islam. Di antaranya masih banyak yang menilai Islam agama radikal, Islam agama budaya, Islam identik terorisme dan Islam penghambat ilmu pengetahuan. Ironisnya hal itu dipasarkan melalui media-media secara terbuka dan karya akademik. Oleh karena itu, pemahaman tentang konsep Islam yang benar sangat diperlukan. Sejumlah cendekiawan Muslim kontemporer ada yang mengemukakan gagasan Islam secara parsial. Islam dimaknai secara bahasa belaka, yakni sikap tunduk dan patuh. Sehingga, siapapun yang tunduk kepada Tuhan apa – apapun agamanya – dapat disebut Muslim. Sedangkan kalangan orientalis Barat memaknai Islam sebatas ritual dan dogma. Jika dogma yang terlintas dalam pemikiran, maka pasti akan melahirkan pemahaman bahwa dogma adalah kekakuan dan kekakuan memunculkan fundamentalisme. Dan fundamentalisme adalah terorisme.
Salah Paham tentang Islam
Dua pandangan tersebut tentu saja keliru. Setiap istilah kunci dalam Islam selalu memiliki dua makna yang masing-masing tidak boleh dipisah. Makna bahasa dan makan teknis. Kata al-sholah secara bahasa adalah doa. Tapi yang dimaksud shalat yang rutin biasa dikerjakan kaum Muslim bukan sekedar doa. Tapi ada syarat, rukun, sunnah, tata cara dan lain sebagainya yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Memaknai shalat secara bahasa saja – yang artinya do’a – bisa menyesatkan.
Begitupula al-Islam, jika dimaknai secara parsial bisa menyesatkan pemahaman dan memasukkan pluralisme dalam Islam. Di antaranya pernyataan kaum Liberal:
“Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya” (Ulil Abshar Abdallah, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, Kompas, 18-11-2002).
Budhy Munawar Rahman dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia menulis: “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapapun yang beriman – tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu”.
Padahal, Islam adalah nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, sebagaimana disebut dalam al-Qur’an yang karakteristiknya telah diterangkan oleh Nabi Muhammad saw: “Islam adalah bahwasannya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika engkau berkemampuan melaksanakannya” (HR. Muslim).
Pada hadis yang lain Nabi saw bersabda: “Islam ditegakkan di atas lima hal: Persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, pelaksanaan haji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari – Muslim).
Keterangan Nabi saw itu menggambarkan bagaimana konsep Islam yang sesungguhnya. Hal tersebut juga menggambarkan pandangan hidup Islam bahwa konsep ketuhanan menduduki posisi sentral yang terkait erat dengan konsep-konsep lainnya, seperti konsep kenabian, wahyu dan lain-lain.
Maka dari itu, tidak berislam orang yang mengingkari Nabi Muhammad saw sebagai Nabi, al-Qur’an sebagai kitab suci. Dan juga tidak disebut Muslim orang yang mempercayai ada Nabi setelah Nabi Muhammad saw. Sebab konsep kenabian dalam Islam jelas laa nabiyya ba’dahu (tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw).
Meskipun Islam secara bahasa adalah aktivitasnya penyerahan diri kepada Tuhan, tetapi Islam di sini juga adalah nama agama. Keistimewaan Islam adalah nama al-Islam langsung diberikan oleh Allah. Sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imran: 19). Hal ini tidak ditemui dalam agama Nasrani dan Yahudi. Di dalam kitab sucinya tidak disebut nama agama tersebut diberi oleh Tuhan mereka. Justru nama dua agama tersebut diberi oleh manusia diambil dari nama sebuah tempat atau nama orang tertentu. Maka, Islam tidak dapat disebut Mohammadism sebagaimana sebutan orientalis. Sebab Islam bukan buatan Nabi Muhammad saw. Islam adalah agama tanzil melalui wahyu langsung dari Allah swt.
Memahami Islam Sebagai al–Din
Secara bahasa memang Islam mengandung makna penyerahan diri. Namun karena bentuk dan cara penyerahan yang diatur oleh Islam berbeda dengan agama lain, maka tidak bisa disama-samakan. Cara penyerahan diri Islam bersesuaian dengan hakikat Tauhid, yaitu hanya bisa diambil dari wahyu, bukan diambil dari tradisi kesukuan, kebudayaan atau percampuran budaya dan tradisi suku. Bukan pula hasil spekulasi filsafat.
Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa konsep penyerahan diri barangkali umumnya adalah ditemukan di semua agama, sama halnya dengan konsep percaya yang menjadi asas semua agama tetapi dalam pandangan Islam, tidak semua agama menetapkan suatu penyerahan diri yang sesungguhnya. Bukan penyerahan diri yang bersifat sementara atau mudah berubah, karena penyerahan diri yang sesungguhnya bersifat terus menerus sepanjang kehidupan seseorang sampai akhir hayatnya; bukan pula suatu penyerahan diri yang berada hanya di dalam hati tanpa manifestasi ke luar berupa perbuatan tubuh yang bekerja dalam ketaatan kepada Hukum Allah. Berserah diri kepada Kehendak Allah berarti ketaatan kepada Hukum-Nya.
Penyerahan diri menurut Islam adalah penyerahan diri yang tulus dan menyeluruh kepada kehendak Allah, dijalankan sepenuh hati dengan ketaatan secara mutlak terhadap hukum yang diwahyukan oleh-Nya. Secara tersirat diterangkan dalam kitab suci al-Qur’an: “Maka apakah mereka mencari din yang lain selain dari din Allah padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri (aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan” (QS. Ali Imran: 83).
Yang menarik, al-Attas menganalisis bahwa yang tepat memahami Islam itu sebagai konsep al-din. Ia mengaitkan din dengan kata dayn (hutang). Dua kata (din dan dayn) berasal dari akar kata yang sama dayana. Apa kaitan antara beragama dengan hutang?
Makna-makna utama dalam kata din dapat disimpulkan menjadi empat: keadaan berhutang, penyerahan diri, kuasa peradilan, dan kecenderungan alami. Al-Attas menjelaskan bahwa manusia sebenarnya berhutang kepada Allah, yang menciptakan dan yang memberinya rizki, serta yang telah mewujudkannya dan memelihara eksistensinya. Bahkan hutang manusia terhadap Tuhan bersifat total dan menyeluruh. Sebab hutang tersebut berupa hutang kewujudan, hutang dari ketiadaan menjadi ada, dan juga hutang pemeliharaan kewujudannya sehingga ia bisa terus wujud di alam ini.
Maka, proses pengembalian hutang inilah yang kemudian oleh al-Attas dikaitkan dengan konsep din (yang biasa diterjemahkan dengan agama). Secara ontologis, apabila manusia berhutang pada Tuhan, maka posisi manusia adalah pihak yang rugi, seperti dinyatakan dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” (QS. Al-‘Ashr [103]: 2). Maka proses pengembalian hutang ini sebagai jalan manusia untuk mencapai keuntungan dan kejayaan di akhirat.
Al-Attas mengatakan bahwa dengan mengembalikan diri kepada Tuhan, yaitu dengan cara mematuhi perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, manusia yang asalnya adalah rugi akan mendapat balasan yang berlipat ganda, yang bukan saja bisa menutupi kerugiannya bahkan akan memeroleh keuntungan yang besar dari eksistensinya.
Berangkat dari pengertian din sebagai jalan pengembalian diri kepada Tuhan, ada satu lagi kaitan yang erat antara konsep pengembalian diri dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah yang menciptakan manusia. Orang yang yang mengembalikan hutang adalah orang yang menyerahkan (aslama) dirinya sepenuhnya kepada Allah.
Allah berfirman: “Siapakah yang lebih baik din-nya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya (aslama) kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti bentuk agama Ibrahim yang lurus” (QS. 4: 125).
Nabi Ibrahim dalam al-Qur’an disebut Muslim bukan Kristiani ataupun Yahudi. “Ibrahim bukan seorang Yahudi, dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus (hanif) dan muslim” (QS. 3: 67).
Islam secara bahasa adalah aktivitas penyerahan diri kepada Tuhan, tetapi Islam di situ juga nama agama yang langsung diberi oleh Allah swt. Hikmah penamaan itu menurut al-Attas karena bentuk dan cara penyerahan yang diatur oleh agama ini bersesuaian dengan hakikat tauhid yang sebenarnya, yaitu yang hanya bisa diambil dari wahyu, bukan dari tradisi kesukuan atau kebudayaan tertentu, ataupun tidak dari percampuran antara tradisi suku dan kebudayaan.
Al-Attas menolak paham transcendent unity of religions yang menyatakan bahwa semua agama pada hakikatnya adalah sama-sama bertemu dan bersatu pada level transenden. Oleh al-Attas klaim mereka itu dibalik. Justru bukti tauhid yang sebenarnya itu adalah termasuklah cara berserah diri kepada Tuhan yang murni dari Wahyu bukan dari budaya yang dibuat-buat.
Karena itu Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang sempurna. Tauhidnya tidak ditambah dan dikurangi oleh situasi dan kondisi sejarah. Allah berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan Aku cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu” (QS. Al-Maidah: 3).
Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang memiliki ritual universal, final, otentik, karena Islam memiliki teladan yang final sepanjang zaman. Sifat otentisitas dan universalitas Islam masih terpelihara hingga kini.
Dr. Adian Husaini mengatakan bahwa Islam sebagai agama wahyu memiliki beberapa karakter khas yang tidak dimiliki agama lain:
Pertama, di antara agama-agama yang ada, Islam adalah agama yang namanya secara khusus disebut dalam Kitab sucinya. Nama agama-agama selain Islam diberikan oleh para pengamat keagamaan atau oleh manusia, seperti agama Yahudi (Judaism), agama Katolik (Katolikisme), agama protestan (Protestantisisme), agama Budha (Budhisme), dan lain-lain. Sedangkan Islam tidak demikian. Menurut al-Attas, hanya ada satu agama yang murni, yang namanya sudah diberikan oleh Allah, yaitu Islam. Tidak sembarang Tuhan disembah. Hanya Allah yang berhak disembah. Tidak segala macam ibadah boleh dilakukan. Jika menyalahi syari’at dan tauhid maka dianggap penyimpangan.
Kedua, dalam soal nama dan konsep Tuhan. Sebagaimana Islamic worldview yang ditandai dengan karakteristiknya yang otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan, menurut Prof. Naquib al-Attas, juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan konsep Tuhan dalam Islam dirumuskan berdasarkan wahyu dalam al-Qur’an yang juga bersifat otentik dan final. Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain; tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern ataupun dalam tradisi mistik Barat dan Timur.
Ketiga, karakteristik Islam sebagai agama wahyu bisa dilihat dari tata cara ibadah yang semuanya berdasarkan pada wahyu. Tatacara shalat bersifat final dan otentik tidak berubah-ubah mengikuti dinamika perkembangan zaman. Kapanpun dan dimanapun, ibadah shalat, zakat, puasa, haji adalah tetap.
Keempat, konsep Islam sebagai agama otentik dan final dapat terjadi karena konsep wahyu dalam Islam juga bersifat final. Al-Qur’an terjaga lafdz aslinya yang berbahasa Arab serta makna dan bacaannya, dari zaman ke zaman. Ini berbeda dengan Bibel yang diakui sebagai teks manusiawi dan tidak ditemukan lagi lafadz bahasa aslinya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan, Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang memiliki ritual universal, final, otentik, karena Islam memiliki teladan yang final sepanjang zaman. Sifat otentisitas dan universalitas Islam masih terpelihara hingga kini. []