Islamia-Republika kembali menyapa pembaca harian Republika pada Kamis, (20/01/11) kemarin. Bacaan berbobot yang ditunggu-tunggu pembaca ini mengulas seorang tokoh yang sering disalahpahami oleh kalangan sarjana, yaitu Ibnu Rusyd. Hampir semua para ‘pejabat teras’ INSISTS turun tangan untuk memberikan pencerahan tentang Ibnu Rusyd ini. Dr. Syamsuddin Arif dengan tulisan pembukanya, Ibnu Rusyd dan Kemajuan Barat, sedangkan Dr. Nirwan Syafrin menulis dengan judul yang sangat singkat dan tegas, Ibnu Rusyd Tidak Liberal. Sementara, Dr. Adian Husaini tampil dengan tulisannya yang sangat khas, kaya dengan fakta, Salah Paham Terhadap Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali. Dan tidak ketinggalan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dengan Misykat-nya yang berjudul Averroisme.
Ibnu Rusyd atau yang biasa dikenal dengan Averroes adalah seorang tokoh ulama Islam yang dikenal oleh berbagai kalangan. Sebagaimana ditulis oleh Syamsuddin Arif, kaum santri mengenalnya sebagai ahli fikih, cendekiawan Arab modern mengaguminya sebagai ahli filsafat, sejarawan Eropa mengenangnya sebagai ‘jembatan pengetahuan’ antara Timur dan Barat atau Islam dengan Kristen. Di samping itu, belakangan ini, Ibnu Rusyd disebut-sebut sebagai perintis gerakan pencerahan di Barat. Penyebutan yang terakhir inilah yang rupanya tidak sesuai dengan kenyataan, alias mitos, jelas Syamsuddin Arif.
Berdasarkan sejarahnya, tulis peneliti INSISTS ini, justru Barat maju karena menolak Aristotelianisme dan Averroisme. Paradigma sains Aristotelianisme yang bersifat deduktif dan cenderung deterministik memang bertolak belakang dengan semangat sains modern yang lebih mengedepankan metode induktif, eksperimental dan empiris. Kesetiaan Ibnu Rusyd pada teori-teori Aristoteles inilah yang justru dianggap menghambat kemajuan sains modern, sebagaimana diakui oleh Ernest Renan. Selain itu, Averroisme bukanlah satu-satunya madzhab pemikiran dan bukan pula yang paling dominan di Eropa abad Pertengahan. Aliran-aliran lain yang ikut bersaing dan berebut pengaruh adalah Platonisme, Augustinisme, Avicennisme dan Alexandrisme. Tidak heran jika Averroisme pernah kalah dan tenggelam ditelan zaman hingga datangnya Renan, jelas penulis buku Orientalis dan Diabolisme Pemikiran ini.
Terkait dengan tuduhan bahwa Ibnu Rusyd seorang ilmuwan sekuler-liberal, doktor lulusan ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) Malaysia ini menjelaskan adanya kedengkian lawan-lawannya yang mengobarkan kebencian di kalangan penguasa dan masyarakat luas. Konon dalam tulisannya ditemukan kalimat ‘Venus adalah tuhan’ yang berujung pada pemecatan dan pembakaran buku-bukunya. Bukti bahwa Ibnu Rusyd bukan tergolong liberal, jelas pria asli Betawi ini, adalah keistiqomahannya mengamalkan syari’at Islam. Hal ini dibenarkan oleh Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah: ”Ibnu Rusyd dan semacamnya masih lebih dekat dengan ke Islam daripada Ibnu Sina dan semisalnya, karena masih menjaga batas-batas agama ketimbang mereka yang mengabaikan kewajiban dan melanggar aturan agama.”
Tuduhan liberal ini rupanya juga dicatutkan kepada Ibnu Rusyd karena sikap kritisnya pada al-Ghazali dan Mutakallimun, baik dari kalangan Mu’tazilah maupun Asy’ariyah, sebagaimana dijelaskan Nirwan Syafrin. Padahal, sangat jelas hal itu tidak bisa dijadikan barometer liberalisme karena sudah biasa terjadi di kalangan ulama. Justru seharusnya Al-Ghazali yang pertama berhak mendapatkan gelar tersebut karena ia dengan tegas menyatakan keraguannya pada metode mutakallimun, jelas Dosen Filsafat Ilmu Pascasarjana UIKA Bogor ini.
Mencatutkan Ibnu Rusyd sebagai pemikir sekuler-liberal juga sangat tidak pantas baginya, jika sekulerisme dan liberalisme dimaknai sebagai ide dan sikap seperti desakralisasi Al-Qur’an dan Nabi Muhammad, kontekstualisasi penafsiran, penghalalan zina, lesbianisme, homoseksual, atau pembenaran wanita menjadi imam dan khatib shalat Jum’at. Sangat jelas Ibnu Rusyd terlepas dari klaim tersebut dan sangat jauh dari sosok liberal yang dimaksud, tulis Nirwan. Bahkan menurut penelitiannya, pendapat-pendapat Ibnu Rusyd dalam maslah Fikih dan lainya tidak berbeda dengan jumhur ulama. Termasuk dalam masalah takwil, Ibnu Rusyd sangat tegas agar memperhatikan ‘rambu-rambu’ bahasa dan menekankan agar tidak diekspos kepada para jadaliyyun (mutakallimun) apalagi kepada orang awam. Jadi, bagaimana mungkin sosok sepertinya digolongkan sebagai pemikir sekuler-liberal, jelas peneliti INSISTS ini.
Dari sini bisa diketahui, ternyata pencatutan nama Ibnu Rusyd dan tokoh-tokoh lainnya sebagai pioneer liberalisme dan sekulerisme, memang sengaja dimanfaatkan oleh mereka yang mengusung pemikiran liberal dan sekuler. Tujuannya tidak lain adalah untuk memberitahu publik bahwa ide liberal-sekuler yang mereka kembangkan itu tidak asing dalam khazanah intelektual Islam; bahwa ide sekulerisme dan liberalisme seolah-olah lahir dan berkembang dari rahim peradaban Islam, tulis Nirwan.
Terkait dengan kesimpulan, Barat maju karena ikut Ibnu Rusyd dan Islam mundur karena ikut Al-Ghazali, Adian Husaini menjelaskan ada kesalahpahaman dalam mengkaji kedua tokoh tersebut. Menurutnya, kajian-kajian ilmiah serius tidak sesederhana itu kesimpulannya. Kemajuan Barat tidak ada kaitannya dengan Ibnu Rusyd, ditilik dari sudut manapun. Termasuk pula, kemunduran umat Islam juga tidak karena Imam Al-Ghazali. Justru kalau mau jujur, Imam Al-Ghazali-lah yang menginspirasi kebangkitan umat Islam di masa perang Salib dan melahirkan generasi salahuddin Al-Ayyubi.
Keterangan Adian Husaini ini ternyata juga diamini oleh Direktur INSISTS, Hamid Fahmy Zarkasy. Bahkan ia mengatakan bahwa kesimpulan tersebut sembrono. Menurutnya, pemikiran Ibnu Rusyd memang populer di Barat yang dikenal dengan gerakan Averroisme, tapi ternyata Averroisme ini tidak murni mengiktu Ibnu Rusyd, karena telah bercampur dengan Aristotelianisme radikal dan heterodok. Di samping itu, jika dikatakan pemikiran Ibnu Rusyd ini lebih rasional dan mendorong penggunaan akal, nyatanya tidak seperti itu, tegas Hamid, yang juga menjadi Direktur CIOS (Center for Islamic and Occidental Studies) Gontor ini. Komentar Ibnu Rusyd tentang logika Aristoteles masih kalah rasional dibanding teori Ibnu Sina, sehingga tidak heran jika banyak tokoh-tokoh Barat yang menjadi ‘santri’ setia Ibnu Sina dalam bidang Mantiq, jelas Pembina InPAS ini. Belum lagi ditambah karya Ibnu Sina yang sekitar 400-an karya, lebih banyak daripada karya Ibnu Rusyd yang hanya sekitar 70-an.
Oleh karena itu, Adian Husaini mengingatkan umat Islam agar mendudukkan para ulama secara adil dan beradab. Janganlah bersikap seperti kalangan liberal yang dengan mudahnya mencerca para ulama, padahal belum mengkajinya dengan serius dan parahnya hanya bersumber dari kesimpulan para orientalis. Padahal berdasarkan riwayat-riwayatnya, para ulama tersebut sangat beradab dan mau mengikuti madzhab ulama lainnya. Kalaupun diantara para ulama tersebut ada kesalahan, maka itu bukan untuk dicaci maki, tetapi wajib diperbaiki. Sudah saatnya para sarjana Muslim melakukan kajian yang lebih serius dan mendalam, sebelum menyampaikan kepada mahasiswa atau masyarakat, jelas Penulis CAP (Catatan Akhir Pekan) di Hidayatullah.com ini. (mm)