Tak urung, momen Ramadhan menjadi momen yang dirasa tepat untuk membendung arus liberalisme. Menjelang berbuka, Jamaah Masjid Fadhlurrahman (JMF) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengadakan kajian rutin yang mengangkat tema-tema yang cukup dahsyat dan memacu adrenalin, salah satunya adalah “Sejarah Munculnya Liberalisme dalam Islam”. Bertempat di Masjid Fadhlurrahman, Najamuddin, dosen Fakultas Tarbiyah yang kerap dijuluki “Sunan Kreco” karena memiliki wawasan yang luas didapuk sebagai pemateri dalam kajian rutin pada 13 Agustus 2011.
“Benih-benih liberalisme dalam Islam muncul saat para cendekiawan Muslim menimba ilmu ke Barat kemudian mempelajari aliran Mu’tazilah”, jelas Najamuddin. Namun tentu saja, liberalisme tidak sama dengan Mu’tazilah. Meski Mu’tazilah menganggap al-Qur’an adalah mahluk, namun masih mengakui benar bahwa al-Qur’an itu otentik. Sedang pemahaman atau doktrin kalangan liberal sudah mencapai taraf meragukan al-Qur’an sebagai kitab yang otentik.
Mohammed Arqoun, yang pemikirannya mendapat pengaruh kuat dari posmodernisme Prancis, menyimpan keraguan akan otentitas al-Qur’an yang ada saat ini. Dia melihat bahwa apa yang disebut sebagai Mushaf ‘Uthmani saat ini merupakan rekayasa politik khalifah ‘Uthman untuk melanggengkan kekuasaannya, sebuah pandangan yang telah dikritisi oleh banyak pihak. Pandangannya seperti ini tampaknya diilhami oleh Foucault yang selalu suspicious (curiga) akan peran politik dalam proses pembentukan ilmu. Di Indonesia, pemikiran Arkoun diadopsi dengan sangat baik oleh Sumanto al-Qurtuby yang dengan gegabah menyatakan bahwa al-Qur’an adalah perangkap Quraisy.
Sikap tidak kritis para cendekiawan Islam Indonesia telah memuluskan langkah JIL memasuki jagad pemikiran Islam di tanah air. Disokong dana besar dari berbagai foundation asing serta publikasi dari media mainstream, JIL kemudian menancapkan cengkeramannya tidak hanya di kampus-kampus, namun juga organisasi massa Islam terbesar seperti NU dan Muhammadiyah. “JIL juga berhasil mendapat simpati dari ulama Muhammadiyah sehingga terbentuklah JIMM (Jaringan Islam Muda Muhammadiyah). Hal ini tentu patut kita sesalkan”, ujar Najamuddin.
Najamuddin menuturkan, pengaruh liberalisme di kampus-kampus Islam sudah mencapai taraf yang membahayakan. “Saat kami studi banding ke UIN Jakarta, tengah berlangsung demo jilbab oleh mahasiswa UIN. Isunya agar kita melepas jilbab karena mereka menganggap jilbab adalah budaya Arab, bukan syariat Islam”, jelas Najamuddin. Di IAIN Walisongo Semarang bahkan sudah ada akademisi yang melegalkan perkawinan sesama jenis.
Kuatnya pemikiran liberalisme di tanah air tidak bisa dilepaskan dari peran Nurcholish Madjid dan Harun Nasution. Paham relativisme sebagai salah satu ciri utama pemikiran posmodernisme, mengakar kuat pada diri Nurcholish. Di banyak lembaran dalam berbagai karyanya, Nurcholish sering melontarkan ide relativisme beragama. Sebagai contoh, dalam bukunya “Pintu-pintu Menuju Tuhan”, Nurcholish memandang bahwa relativisme adalah suatu keniscayaan fenomenal yang muncul dari setiap orang yang berusaha memahami suatu agama. Pemahaman ini tidak bisa serta merta disebut sebagai agama, sebab pemahaman keagamaan setiap individu pasti berbeda dengan individu lainnya.
Berkenaan dengan hal ini, dia berkata, “Pemahaman orang atau kelompok terhadap agama tidak sebanding dengan nilai agama itu sendiri”. Jadi bisa dipahami dari ungkapannya tersebut bahwa adanya perbedaan dan perkembangan beragama dalam diri setiap individu sebagai “ide” dianggap hal yang wajar, termasuk dalam hal beragama. Bahkan Nurcholish menguatkan pendapatnya tentang “perkembangan sebagai ide” dengan dalih hal itu adalah bagian dari ‘corak akidah Islam’. Pada tanggal 2 Januari 1970 meluncurkan gagasannya mengenai sekularisasi dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan Persami, di Menteng Raya 58. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”. Setelah itu, berjubellah para propagandis sekularisasi di Indonesia.
Harun Nasution, adalah akademisi pertama yang menggulirkan sekularisasi dan liberalisasi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) lewat bukunya yang mendapat kritikan keras dari Prof. HM Rasjidi. Celakanya, berdasarkan hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973, buku karangan Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (IDBA) malah ditetapkan sebagai buku wajib untuk Mata Kuliah Pengantar Agama Islam oleh Departemen Agama RI. Prof. Dr. Harun Nasution adalah contoh “sempurna” hasil garapan orientalis. Harun pernah mengenyam pendidikan Islam di Mc Gill University; dia berangkat pada 20 September 1962.
Di pusat studi Islam yang didirikan oleh Wilfred Cantwell Smith inilah, Harun terpengaruh oleh pemikiran orientalis. Proyek Harun mendapat dukungan dari Menteri Agama Mukti Ali, yang juga alumnus McGill University. Dengan duduknya mukti Ali sebagai Menteri Agama pada tahun 1971, maka Harun lebih leluasa menerapkan ide-idenya.
“Reaksi yang kuat muncul dari umat Islam yang memiliki kepedulian yang besar terhadap akidah umat. Adian Husaini dan kelompoknya adalah orang-orang yang gigih perangi liberalisme”, tandas Najamuddin. (Kartika)