Dan komisaris polisi Raymond Kelly mengatakan akan dilakukan pemeriksaan di lapangan yang lebih sering di kereta bawah tanah New York dalam beberapa hari. Namun, di balik smeua itu, apa yang telah dilakukan pemerintah Amerika Serikat selama satu dekade terakhir berperan besar dalam mengabadikan stereotipe Muslim sebagai ancaman keamanan nasional. Pemerintah federal telah meningkatkan upaya untuk membasmi teroris melalui kekuatan hukum seperti USA Patriot Act. Sehingga, kebijakan tersebut memudahkan pengawasan dan penangkapan. Bagi pemerintah AS, komunitas Arab-Amerika dan Muslim seolah-olah merupakan ancaman bagi masyarakat.
Di Indonesia, sebuah buku komik bertema terorisme kembali akan dirilis di Jakarta hari ini (Jumat, 09/09), menjelang 10 tahun peristiwa pemboman akibat aksi terorisme di Amerika Serikat, 11 September 2001.
Buku berjudul ‘Kutemukan Makna Jihad’ ini berisi gagasan dan jalan cerita yang antara lain disarikan dari pengalaman dua orang, yakni Nasir Abbas dan Iwan Setiawan. “Novel grafis tersebut menceritakan tentang kisah nyata mengenai Nasir Abas, mantan anggota Jamaah Islamiyah, Iwan Setiawan korban bom di Kedutaan Besar Australia tahun 2004 dan mengenai Dani Dwi Permana pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriot tahun 2009,” tulis Ketua Umum Lazuardi Birru Nugroho Wahyujatmiko dalam rilis yang diterima Tribunnews.com, di Jakarta, Jumat (9/9/2011). Lazuardi Birru merupakan organisasi yang banyak berkampanye tentang tema kontra terorisme di Indonesia.
Belum lagi hiruk-pikuk di dunia maya. The New York Times membuat beragam artikel yang khusus membahas 10 tahun pasca peristiwa 11 September. Selama beberapa hari menjelang 11 September 2011, analisa-analisa canggih disajikan oleh harian terkemuka di Amerika ini untuk membentuk opini dan pandangan dunia tentang peristiwa yang menjadi titik balik kebijakan luar negeri Amerika Serikat tersebut.
Intelijen AS, CIA, juga turut ambil bagian dalam hiruk-pikuk jelang peringatan 11 September. Para pejabat intelijen Amerika mengamati “obrolan” pada situs website jihad beberapa hari menjelang peringatan 10 tahun peristiwa 11 September.
Menteri Keamanan Dalam Negeri Janet Napolitano mengatakan (8/9) Amerika menganggap semua pembicaraan dalam dunia maya itu dengan sungguh-sungguh, meskipun tidak ada isyarat yang menunjukkan Amerika menghadapi ancaman tertentu.
Seluruh hiruk-pikuk tersebut hanya memaparkan aktivitas yang secara relatif mampu mengekalkan sentimen anti-Islam serta mereduksi konsep-konsep dalam Islam. Kita lupa, bahwa seringkali kita hanya ingin melihat apa yang ingin kita lihat dan mendengar yang ingin kita dengar. Di balik semua sentimen anti-Islam itu ada sesuatu yang “beyond”, yang terlewatkan dari pengamatan kita selama ini. Terguncang oleh serangan 11 September dan permusuhan terhadap Islam, mendorong rasa ingin tahu tentang Islam telah membawa banyak orang Amerika untuk memeluk Islam.
Elizabeth Torres hanya salah satu warga Amerika yang dengan kesadaran penuh memutuskan untuk memeluk Islam, agama yang selama ini menimbulkan phobia yang besar bagi bangsa Amerika. Angela Collins Telles memutuskan untuk memeluk Islam setelah melihat hiruk-pikuk anti-Islam tumbuh setelah 11 September. Sedangkan Squires Trisha, menjadi seorang muslim bulan lalu.
Meskipun tidak ada angka resmi, Amerika Serikat diyakini menjadi rumah bagi 6-8 juta muslim. Meskipun jumlah yang tepat dari mualaf baru sulit dihitung, pengamat memperkirakan bahwa sebanyak 20.000 orang Amerika masuk Islam setiap tahunnya. Para ahli mengatakan, mayoritas mualaf pasca 11 September adalah wanita.
Demi melayani para mualaf, banyak masjid telah meluncurkan program untuk membantu mereka dengan belajar prinsip-prinsip Islam, sholat, dan akhlak yang baik. Vaqar Sharief, yang ditugaskan untuk membuat program untuk membantu para mualaf di Islamic Center Wilmington Del, memperkirakan di masjidnya terdapat 4-5 mualaf baru setiap bulannya.
Pertambahan jumlah mualaf pasca peristiwa 11 September seharusnya menjadi bagian dari hiruk-pikuk pemberitaan media. Sayangnya, hal ini sepertinya tidak menjadi tradisi. (NYT/BBC/Tribunnews/Kartika Pemilia)