Jalan Hamka Menjadi Penulis Terkemuka

Jalan Hamka Menjadi Penulis Terkemuka

Refleksi Hari Buku Sedunia 23 April 2025;

Oleh M. Anwar Djaelani, aktif menulis artikel sejak 1996 dan penulis 13 buku

Jalan Hamka Menjadi Penulis Terkemuka

Sebagian karya Hamka, fiksi dan nonfiksi.

inpasonline.com – Hamka sosok fenomenal. Lelaki itu Ulama Besar sekaligus penulis masyhur. Meski tak tamat SD, tapi punya karya buku lebih dari seratus judul. Puncak prestasi keulamaan dan kepenulisannya adalah Tafsir Al-Azhar.

Karya Hamka lengkap, nonfiksi dan fiksi. Sekadar menyebut contoh, di nonfiksi ada empat Mutiara Falsafat Hamka yaitu Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, dan Lembaga Budi.

Di fiksi, antara lain ada Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Juga, Merantau ke Deli dan Menunggu Beduk Berbunyi. Pun, kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan.

Karya Hamka tak hanya buku. Ada ribuan tulisan Hamka dalam bentuk artikel dan opini di berbagai media cetak (majalah / surat kabar) nasional dan daerah. Tak terhitung berapa rekaman ceramah Hamka di radio dan televisi nasional. Tentu, berbagai rekaman ccramah itu bisa diubah menjadi karya tulis (Irfan Hamka, 2013: 243).

Guna Pena 

Penulis atau pengarang yang cakap, karyanya bisa sangat berpengaruh. Skala pengaruhnya, dari lokal sampai global. Tentang ini, simaklah pendapat KHM Isa Anshary.

Lewat buku karyanya yang berjudul ”Mujahid Dakwah”, sang singa podium sekaligus penulis terkenal pada 1960-an itu menyatakan: Tulisan dan jejak pena seorang penulis atau pengarang menjadi pelopor dari suatu pemikiran, pandangan, dan cita-cita. Revolusi-revolusi besar di dunia, lanjut salah satu tokoh Masyumi itu, selalu didahului oleh jejak pena dari seorang penulis. Pena penulis mencetuskan ide dan cita-cita, menjadi bahan pemikiran dan pedoman dalam berjuang (Isa Anshary, tt: 27).

Sangat Mewarnai

Di Indonesia, Hamka (1908-1981) adalah salah satu penulis berpengaruh. Pengaruhnya, sangat besar. Sekadar menyebut, banyak kisah dari orang yang hidupnya tertolong oleh perantaraan tulisan Hamka. Mereka tertolong, di antaranya, setelah membaca tulisan / buku Tasawuf Modern karya Hamka.

Bacalah Tafsir Al-Azhar karya Hamka. Tafsir ini terus dikutip dan dikaji banyak orang sampai entah kapan. Telah banyak skripsi, tesis, dan disertasi yang meneliti Tafsir ini.

Hamka berpengaruh! Karya-karya Hamka tak hanya dikonsumsi di negeri sendiri, tapi juga beredar luas di negeri tetangga seperti di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Terutama di Malaysia, buku-buku Hamka menghiasi sejumlah perpustakaan universitas terkemuka dan banyak menginspirasi para aktivis di sana.

Dakwah Hamka, lisan dan tulisan, berhasil mewarnai banyak kalangan. Langkah perjuangannya seperti tak pernah habis untuk diperbincangkan. Pengaruhnya terus terasa. Lebih jauh, pengaruh itu terasa lewat fakta bahwa terdapat tidak kurang dari 195 buku yang terkait dengan Hamka (https://web.suaramuhammadiyah.id/2020/01/22/bercermin-dari-buya-hamka-sosok-yang-gemar-membaca/).

Membaca dan Membaca

          Semua paham, bahwa modal utama seorang penulis adalah suka dan rajin membaca. Membaca dan menulis seperti dua sisi dari sebuah mata uang. Keduanya tak mungkin dipisahkan.

Hamka punya kebiasaan membaca yang tinggi. Hamka membaca semua bahan, tertulis dan tak tertulis. Dengan bekal itu, dia punya modal dan kesempatan menulis banyak karya yang berbobot.

Kala Hamka berusia sekitar 10 tahun, kepada  sang ayah yaitu Dr. (HC) Haji Abdul Karim Amrullah dia takut. Sang ayah sering memarahinya. Hamka takut karena si ayah keras hati dan pantang dibantah (Hamka, 2018: 56).

Lalu, belajar formal Hamka tidak tertarik. Hal ini karena banyak menghafal dan bagi yang tak hafal mendapat hukuman dari guru. Pendek kata, hafalan-hafalan itu membuat pusing Hamka (Kenang-Kenagan Hidup, 2018: 34). Kemudian, Hamka sempat betah saat ikut kursus bahasa Inggris. Sayang, tidak berlangsung lama karena si guru pindah ke kota lain.

Sementara, di Padang Panjang (Sumatera Barat) pada masa itu, Zainuddin Labai membuka sebuah  persewaan buku. Di antara buku-bukunya, ada kisah-kisah rakyat. Ada ”Tiga Panglima Perang” (ini, tentang tiga panglima yang syahid di Perang Mu’tah). Ada ”Graaf De Monte Cristo” (ini, novel petualangan karya penulis Prancis Alexandre Dumas). Di samping itu, banyak buku yang lain. Masih ada lagi, ada surat kabar Bintang Hindu yang memuat  karangan  Dr. A.Rivai di Eropa.

Setiap hari Hamka datang ke persewaan buku itu. Dia menyewa buku, yang tergolong mahal. Masa sewanya dua hari. Uang sewa didapat Hamka dari uang saku yang dikumpulkannya. Uang saku dua hari untuk sewa buku.

Faktanya, banyak buku telah selesai dibaca Hamka hanya dalam sehari. Apa akal? Suatu saat Hamka main-main  di percetakan Badezst – Padang Panjang. Dari situ, dia tahu bahwa buku-buku yang ada di persewaan langganannya diberi sampul karton terlebih dahulu di percetakan itu sebelum disewakan.

Adapun yang punya percetakan adalah Bagindo Sinaro. Dia bekerjasama dengan Zainuddin Labai membuka persewaaan buku. Oleh sebab itulah, nama persewaannya adalah Zainaro, singkatan nama mereka yaitu Zainuddin dan Sinaro.

Di percetakan itu Hamka berinisiatif membantu melipat kertas, membuat perekat, dan membelikan kopi. Lalu, dia minta izin membaca buku-buku yang ada. Setiap hari dia datang, dia bisa menamatkan satu buku baru. Aktivitas itu, dari pukul 10.00 sepulang dari sekolah Diniyah sampai pukul 13.00.

Lantaran membaca buku-buku itu, terbukalah cakrawala berpikir Hamka. Bagian-bagian dunia yang belum dikenalnya, buruk atau baiknya, kini tersingkap. Hamka menjadi tahu banyak hal.

Hamka makin kreatif. Sekali-sekali dia bujuk Bagindo Sinaro agar dia bisa membawa pulang buku yang diinginkannya. Usaha dia berhasil.

Ada kenangan lain tentang ”Hamka dan Buku”. Pernah sang ayah mendapati Hamka sedang asyik membaca buku. Setengah marah, tetapi tidak marah betul, si ayah berkata: “Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti atau akan jadi tukang cerita?”

Oleh Hamka, diletakkannya buku itu sebentar. Saat sang ayah pergi, dibacanya kembali. Tenggelam lagi Hamka di lautan pengetahuan (Hamka, 2018: 37-38).

Masih tentang hobi membaca. Pada 1927, di usia 19 tahun, Hamka berhaji dan menetap di Mekkah untuk belajar. Untuk menyambung hidup, karena bekal terbatas, Hamka bekerja di percetakan buku. Di sana Hamka menikmati, ratusan buku dibacanya. Saat itu, Hamka mendapatkan dua manfaat yaitu bekerja dan menambah ilmu (https://web.suaramuhammadiyah.id/2020/01/22/bercermin-dari-buya-hamka-sosok-yang-gemar-membaca/).

Lebih dari tujuh bulan Hamka tinggal di Mekkah. Hamka memanfaatkan waktu istirahatnya saat bekerja di percetakan buku untuk membaca banyak buku agama di banyak topik. Hamka membaca materi tauhid, sirah, tasawuf, filsafat, dan lain-lain (Irfan Hamka, 2013: 236).

.

Semua Dibaca (1)

Di luar buku yang memberi kedalaman pemikiran, Hamka juga memberi perhatian pada aktualitas informasi yang dikonsumsinya. Untuk itu dia selalu berusaha mendapatkan bahan bacaan mutakhir. Hamka membaca berbagai surat kabar dan majalah, tidak hanya yang terbit di Tanah Air tapi juga di Asia Tenggara bahkan dari Dunia Arab.

Hamka membaca Utusan Melayu. Ini, salah satu koran tertua di Singapura. Lalu, untuk memahami konstelasi politik di Dunia Arab dan Afrika Utara, Hamka membaca media-media Mesir seperti Al-Fath, Al-Siyasah, dan Al-Risalah.

Dari yang dibacanya itu, Hamka memperoleh banyak bahan berita terbaru yang dipakainya untuk menulis. Tak hanya itu, kabar perjuangan Palestina dalam menghadapi penjajahan Israel yang diperoleh Hamka dari media Arab tersebut juga melahirkan simpatinya pada nasib bangsa Palestina. (https://web.suaramuhammadiyah.id/2019/03/26/buku-buku-bacaan-buya-hamka/).

          Semua bahan dibaca Hamka. Dia asyik membaca beragam buku, seperti buku agama Islam, sejarah, sosial-politik, maupun roman. Itu semua tersedia di persewaan itu. Dengan banyak membaca, makin terbukalah hatinya melihat dunia.

Ketika berusia 13-14 tahun, Hamka telah membaca pemikiran-pemikiran ulama-pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh dari Arab. Dari dalam negeri, lewat membaca, Hamka mengenal pemikiran-pemikiran dari sejumlah tokoh di Pulau Jawa seperti HOS Tjokroaminoto, Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Fachrodin, dan lain-lain. Kekaguman Hamka kepada mereka membulatkan tekadnya untuk merantau ke Jawa (Irfan Hamka, 2013: 230-231).

Semua Dibaca (2)

Bagaimana dengan bahan bacaan yang tak tertulis? Sebagai orang Minangkabau, Hamka rajin “membaca” tradisi kampung halamannya. Semua, bisa menjadi bahan inspirasi bagi dia dalam menulis. Berbagai tradisi tersebut, seperti adat dan peribahasa, Hamka hadirkan di banyak tulisannya. Tentang ini, rasakanlah misalnya, di novel Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.

Dalam tulisannya yang berjudul Mengarang Roman, yang dimuat di Pedoman Masyarakat (Medan) tahun 1938, Hamka menyebut bahwa bekalnya dalam mengarang adalah dari dua aliran. Pertama, aliran kesusastraan dari desa sendiri di Maninjau. Kedua, didikan sang ayah dengan pendekatan ala surau.

Menjadi wartawan Pedoman Masyarakat sejak pertengahan 1930-an membuat Hamka tidak hanya harus banyak menulis, tapi juga banyak membaca. Terlebih lagi, kolom-kolom Pedoman Masyarakat diisi oleh para nasionalis yang sudah dikenal di seantero Tanah Air seperti Haji Agus Salim dan Mohammad Hatta. Dengan begitu, Hamka harus memastikan tulisan yang dibuatnya disandarkan kepada pengetahuan yang luas dan dalam (https://web.suaramuhammadiyah.id/2019/03/26/buku-buku-bacaan-buya-hamka/).

 

Gaya dan Buah

Bagaimana sikap Hamka saat membaca buku-buku? Setidaknya, ada tiga teknik. Pertama, secara konstan membaca beberapa jam dalam sehari. Kedua, mencari waktu yang tenang untuk membaca dan merenung. Tengah malam adalah salah satu waktu yang kerap dipakai Hamka untuk memahami buku. Ketiga, membaca sambil memikirkan apa yang dibaca. Hasilnya, dituangkan dalam bentuk tulisan.

Terkait yang ketiga di atas, sering terlihat Hamka membaca sembari ditemani oleh apapun yang bisa dipakai untuk mencatat. Medianya, mulai dari kertas biasa sampai kertas pembungkus sesuatu. Catatan tersebut disimpan Hamka agar tidak hilang. Pada saatnya, kala diperlukan, catatan itu dipakai.

Dengan cara-cara tersebut, yang kemudian menjadi kesehariannya, Hamka selalu punya bahan tulisan yang luar biasa. Bahan-bahan itu bisa diolah Hamka untuk berbagai keperluan. Bisa dikembangkan menjadi artikel, buku, dan karya fiksi. Bisa juga sebagai materi ceramah.

Ada hal lain yang biasa tampak pada Hamka. Sering, buku-buku terhampar di hadapan Hamka kala dia asyik di depan mesin ketik. Dengan begitu dia bisa membaca sembari menulis. Dia tuangkan gagasan dalam bentuk tulisan (https://web.suaramuhammadiyah.id/2019/03/26/buku-buku-bacaan-buya-hamka/).

Siapa Hendak

          Menulis itu seperti akan memberi segelas air kepada orang lain untuk diminum. Agar benar akhlak kita, bukan gelas kosong yang kita sodorkan. Gelas itu harus diisi air terlebih dahulu. Setelah itu, barulah patut kita menyuguhi orang dengan gelas yang telah berisi air.

Hal di atas, adalah perumpamaan yang tepat dalam menggambarkan proses menulis. Menulis itu memberi suguhan pengetahuan kepada orang lain. Tentu, sebelumnya, otak harus kita isi dengan banyak membaca dan belajar. Lalu, setelah diolah, bisa dikeluarkan dengan cara menulis.

          Hamka bisa menjadi penulis terkemuka karena banyak membaca. Penulis yang lain, sama. Tentang ini, boleh baca biografi penulis-penulis masyhur lainnya.

          Jadi, Anda ingin menjadi Hamka? Banyak membacalah! Bacalah yang tertulis maupun yang tak tertulis. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *