Distorsi Sejarah Islam Oleh Orientalis

Written by | Nasional

InpasOnline, 14/05/09

Sebagai umat Islam, kita tentu prihatin ketika membuka lembaran buku-buku sejarah Islam. Bagaimana tidak, umat yang dinyatakan sebagai umat terbaik ternyata digambarkan telah melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan wahyu.

Bahkan generasi terbaiknya pun, seperti generasi sahabat dan tabi’in, digambarkan terlibat dalam kemungkaran kepada Allah dan rasul-Nya. Ini tentu akan menjadi bahan hinaan dan tertawaan bagi para pembenci agama Islam. Dan kita sebagai umat Islam tentu akan kehilangan percaya diri dan contoh generasi terbaik –sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw.- jika membaca sejarah kita sendiri.

Hal inilah yang melatarbelakangi InPAS untuk mengangkat tema Distorsi Sejarah Islam: Pandangan Orientalis dan Pengikutnya dalam Dialog Ilmiah Reguler ke-4, Sabtu, 24 Januari 2009 lalu. Dalam acara ini, InPAS menghadirkan peneliti bidang sejarah INSISTS Jakarta, yaitu Asep Sobari, Lc., yang populer dengan buku terjemahannya Misteri Masa Kelam Umat Islam dan Kemenangan dalam Perang Salib.

Acara yang bertempat di ruang Abu Bakar Masjid Al-Akbar Surabaya ini dihadiri kurang lebih 80-an peserta dari berbagai kalangan, baik para santri, mahasiswa, dosen dan para aktivis dakwah.

Diawali dengan paparan pemateri sekitar 60 menit, dan dilanjutkan dengan dialog interaktif dengan waktu yang cukup panjang, para peserta terlihat begitu antusias mengikuti dialog ini.

Dalam paparannya, Asep Sobari sangat menyayangkan banyaknya orang yang salah paham dengan kitab-kitab sejarah Islam. Kebanyakan orang menganggap bahwa kitab-kitab sejarah yang ditulis oleh para sejarawan muslim otomatis valid dan kuat data-datanya. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu.

Diantara kitab-kitab sejarah Islam itu terdapat karya-karya sejawaran yang sifatnya hanya mengumpulkan seluruh informasi sebuah peristiwa tanpa memperdulikan sahih dan tidaknya informasi tersebut.

Di samping itu, juga terdapat karya-karya yang hanya mementingkan alur cerita daripada kesahihan fakta dan validitas data. Para penulis sejarah yang termasuk dalam kategori ini di kenal dengan sebutan sejawaran akhbari, karena lebih banyak mengungkapkan informasi-informasi sejarah. Sudah barang tentu informasi dari kitab-kitab ini tidak bisa begitu saja dijadikan rujukan dalam penulisan sejarah.

“Hampir seluruh sejarawan Akhbari tidak luput dari penilaian para kritikus hadits. Hasilnya, mereka tidak hanya dinyatakan lemah dalam periwayatan hadits, tapi juga cenderung tendensius karena menganut ideologi-ideologi yang berkembang setelah masa fitnah” tegas pria alumnus Universitas Madinah ini.

Hal ini tidak mengherankan, karena seluruh sejarawan tersebut lahir setelah masa fitnah dan periode awal Bani Umayyah yang menandai kemunculan aliran-aliran ideologis dalam Islam, baik bermotif agama maupun politik, atau keduanya.

Asep juga menunjukkan kelemahan beberapa sejarawan akhbari seperti Muhammad ibn Sa’ib al-Kalbi (w.146H), Abu Mikhnaf Luth ibn Yahya (w.157H), dan Nashr ibn Muzahim al-Tamimi (w.212H). Menurutnya, mereka adalah sejarawan yang tendensius dan pengantut syi`ah fanatik. Afiliasi ideologis ini sangat berpengaruh terhadap bobot riwayat mereka. Tentang Ibn Sa’ib al-Kalbi misalnya, Ibn Hajar menyatakan dia adalah penganut syi`ah fanatik dan mendustakan riwayat. Abu Mikhnaf dinilai lebih parah lagi, bukan sekadar periwayatan haditsnya yang sangat lemah, melainkan juga riwayat sejarahnya.

Dalam karya DR. Yahya al-Yahya yang berjudul Marwiyyat Abi Mikhnaf fi Tarikh al-Thabari disimpulkan, bahwa Abu Mikhnaf adalah seorang penganut Syi`ah yang sangat fanatik, riwayatnya matruk (diabaikan), suka berdusta (kadzdzab), suka mencaci sahabat Nabi saw. dan banyak memalsukan riwayat atas nama perawi-perawi tsiqah (terpercaya). Sedangkan Ibn Muzahim adalah seorang penganut Syi`ah ekstrim fanatik. Al-Dzahabi menyebutnya “seorang penganut rafidhah ekstrim (rafidhi jalad). Menurut al-`Uqaili, Ibn Muzahim adalah penganut Syi`ah, riwayatnya tidak konsisten dan banyak kesalahan. Sedangkan menurut Abu Khaitsamah, dia banyak berbohong”.

“Walaupun begitu, kita bukan berarti harus membuang semua riwayat-riwayat akhbari” tegas pria kelahiran Kuningan ini.

Karya-karya sejarawan akhbari tetap memiliki kelebihan karena menyediakan banyak informasi dan data-data yang lengkap mengenai sebuah persitiwa dengan utuh dan detil. Karena itu, sejarawan-sejarawan besar periode berikutnya, seperti Ibn Sa`ad, al-Baladzuri, dan Ibn Jarir al-Thabari, mengandalkan riwayat-riwayat sejarawan Akhabari dalam karya-karya sejarah mereka. Hal ini bukan berarti mereka mengakui kekuatan dan kebenarannya, tapi para sejarawan ini sangat mengerti permasalahan riwayat sejarwan akhbari.

Oleh sebab itu, mereka membingkai periwayatan dari sejarawan Akhbari dengan perangkat yang sangat penting sehinga memungkinkan riwayat tersebut dapat dikritisi dengan mudah, yaitu isnad (mata rantai narator atau sumber yang menyampaikan riwayat). Ini berarti para sejarawan tersebut mengakui, riwayat-riwayat sejarawan Akhbari yang mereka kutip banyak yang tidak kuat, bahkan tidak benar, dan tidak layak dijadikan argumentasi untuk menyimpulkan sebuah fakta sejarah.

Dalam makalah yang diberikan kepada peserta dialog, Asep menulis pengakuan Al-Thabari dalam menyikapi riwayat akhbari ini dalam pendahuluan karyanya, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, “Apabila ada berita tentang peristiwa yang dialami oleh sebagian generasi masa lalu yang disebut dalam karyaku ini yang tidak dapat diterima oleh pembacanya, atau dianggap berlebihan oleh pendengarnya, disebabkan tidak ada bukti yang mendukung autentisitasnya, ataupun tidak sesuai fakta. Maka katahuilah, berita itu bukan berasal dari kami, melainkan dari orang yang menyampaikannya kepada kami. Kami hanya mencantumkan sesuai yang disampaikannya kepada kami”.

Oleh karena itu, simpul Asep Sobari,  siapa pun yang meneliti buku-buku sejarah Islam khususnya sejarah Islam klasik, akan menemukan banyak riwayat sejarah yang memang tidak jelas atau lemah sumbernya.

Penulis buku sejarah klasik – seperti al-Thabari, Ibn Sa`ad, dan lain-lainnya- sengaja mencantumkan berbagai riwayat dan sekaligus menjelaskan sumber masing-masing riwayat (sanad) tersebut. Dengan itu, pembaca diharapkan dapat menilai mana riwayat yang kuat dan mana yang lemah. Riwayat-riwayat itu tidak jarang saling bertentangan dan mustahil dikompromikan. Sejarawan yang baik dan ikhlas akan dengan mudah memilihnya. Jadi, tidak semua cerita yang dimuat kitab-kitab tersebut dapat diterima sebagai fakta sejarah Islam, melainkan sebagai informasi sejarah yang harus dikaji lagi dan diseleksi guna membangun konstruksi sejarah Islam yang valid dan kredibel”.

“Agar para peneliti sejarah tidak selalu terjebak dengan riwayat-riwayat akhbari tersebut, maka tidak salah kalau sekarang mulai dikembangkan penerapan metode kritik ahli hadits pada riwayat-riwayat sejarah” tegas pria yang pernah mondok di Gontor ini.

Dengan begitu, riwayat-riwayat yang tidak jelas sumbernya dapat dihindari dalam karya-karya sejarah Islam. Meskipun tidak seketat kritik ilmu hadits, paling tidak metode ini akan mampu menyaring mana riwayat yang sahih, hasan, dan dhoif, dalam sebuah peristiwa sejarah.  

Justru metode inilah yang sekarang sedang dikembangkan oleh para ahli sejarah Islam di Timur Tengah. Banyak karya sejarah Islam yang sudah lahir dari penerapan metode ini, misalnya karya Prof. DR. Akram al-Umari `Ashr al-Khilafah al-Rasyidah: Muhawalah li Naqd al-Riwayah al-Tarikhiyah wafq Manahij al-Muhadditsin (1995), karya DR. Muhammad Amahzun Tahqiq Mawaqif al-Shahabah fi al-Fitnah min Riwayat al-Imam al-Thabari wa al-Muhadditsin, karya Muhammad Abdullah al-Ghabban Fitnat Maqtal Utsman ibn Affan,  karya Muhammad al-`Awaji Khilafat Utsman ibn Affan, karya Yahya al-Yahya Marwiyyat Abi Mikhnaf fi Tarikh al-Thabari, dan masih banyak karya-karya lainnya.

Gagasan penerapan metode ini tidak lepas dari peran Prof. DR. Akram al-Umari, yang dikenal paling gigih berupaya melakukan kajian-kajian mendalam terhadap riwayat-riwayat sejarah Islam klasik. Pengalamannya mengajar materi sejarah Islam di Universitas Baghdad dan Universitas Islam Madinah selama lebih dari tiga puluh tahun, telah menghasilkan puluhan tesis master dan disertasi tentang kajian sejarah Islam dari sejumlah mahasiswa pasca sarjana yang dibimbingnya. Karya-karya itu telah menggeser dan mencounter tulisan-tulisan sejarah Islam sebelumnya yang cenderung memojokkan Islam dan tokoh-tokohnya. Seperti karya-karya yang disebutkan di muka -karya Dr. Amazhun, Al-Ghabban, Al-Awaji dan Al-Yahya- merupakan karya yang menjelaskan fitnah di sekitar pembunuhan Khallifah Utsman bin Affan R.A.

Dari karya-karya tersebut dapat diketahui banyaknya riwayat-riwayat palsu yang bersumber dari para pembenci sahabat Rasulullah SAW. dan khususnya Utsman RA. Sehingga tidak heran jika beliau digambarkan sangat buruk dalam kepemimpinannya.      

Sayangnya, tegas Asep Sobari, karya-karya seperti ini tidak banyak beredar di Indonesia sehingga pandangan sejawaran Islam Indonesia tidak banyak berubah terhadap para sahabat Nabi, khususnya Khalifah Usman. Hal ini bisa dilihat dari kata-kata mereka ketika mengomentari buku Kebenaran yang Hilang, karya Farag Fouda.

Buku yang jelas-jelas menghina Khalifah Utsman dan para sahabat lainnya ini, mereka justru memberinya sederet apresiasi tinggi sebagai karya yang kritis, obyektif, autentik dan komprehensif. Bahkan mengharuskan masyarakat muslim Indonesia meminjam “kaca mata kuda” Fouda untuk memahami sejarah Islam.

Padahal jelas-jelas dari hasil kajian Asep Sobari, buku ini tidak layak disebut karya ilmiah, karena penuh dengan pemalsuan data, sembrono mengambil riwayat dan cenderung memfitnah para sahabat. Semoga kita diselamatkan dari orang-orang yang dzolim. (MM)

 

Last modified: 14/05/2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *