Islamia-Republika Juni Menggagas Islamisasi Kurikulum Sejarah

Bulan ini, Juni 2011, Islamia hadir dengan tema yang sangat menantang, yaitu; Islamisasi Kurikulum Sejarah. Tema ini memang layak diketengahkan, mengingat banyak genarasi muda sekarang yang tidak mengerti dan bahkan antipati terhadap peran Islam di Indonesia. Sebagaimana ditulis oleh Tiar Anwar Bachtiar, dalam kurikulum sekolah, khususnya pelajaran sejarah tingkat SMA, peran Islam dan umat Islam tidak banyak disinggung. Kurikulum tersebut seolah-olah mengisyaratkan bahwa setelah era kerajaan-kerajaan Islam, tidak ada lagi kisah “Islam”, tulisnya. 

 

Keberadaan Sarekat Islam, Masyumi, NU, Muhammadiyah dan PPP hanya diselip-selipkan dalam kurikulum tersebut tanpa mengisyaratkan adanya peran Islam bagi bangsa Indonesia ini. organisasi Islam ini hanya menjadi pelengkap penderita dalam Indonesia baru yang ‘dimenangkan’ oleh kaum nasionalis-sekuler, baik secara politik maupun kebudayaan, tulis Ketua Umum PP Pemuda Persis ini.

Ironisnya,  pada saat menceritakan peristiwa-peristiwa pembangkangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok umat Islam disebut secara sepihak tanpa penjelasan memadai mengenai konteks politik kemunculannya sehingga ditemukan kewajarannya. Hal itu terjadi pada kasus DI/TII yang dipimpin Kartosuwiryo dan PRRI yang gerakkan oleh aktivis Masyumi. Padahal Kartosuwiryo dan aktivis Masyumi adalah tokoh-tokoh yang berdarah-darah mendirikan dan memperjuangkan Indonesia. Tetapi sayangnya, kurikulum kita telah menuduh mereka sebagai “penjahat” karena dianggap terlibat dalam gerakan “pemberontakan”. Dengan kondisi seperti ini, Islam dan umat Islam telah diposisikan sebagai trouble maker, sedangkan anasir-anasir sekuler, baik dalam wujud ide maupun gerakan, justru dianggap sebagai pihak yang paling “benar” dan paling berhak atas Indonesia.

Dengan pola kurikulum seperti itu, jelas lulusan Magister Sejarah UI ini, secara halus siswa sekolah diajarkan bahwa menjadi Islam tidak bisa bersamaan menjadi “Indonesia” karena Islam di Indonesia adalah pengacau, pemberontak dan bahkan teroris. Umat Islam yang ingin menjadi Muslim kaafah justru termarginalkan dan tersingkir dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, jika ingin menjadi “Indonesia” maka harus menjadi sekuler.

Tidak hanya berkoar-koar tanpa bukti, Tiar Anwar Bachtiar dkk. mengaplikasikan gagasan Islamisasi Kurikulum Sejarah-nya dengan menerbitkan sebuah buku Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru untuk tingkat SMA/MA/SMK dan sederajat.  Buku yang tulis bersama Tim Penulis Sejarah DDII (Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia) bekerjasama dengan Program Pascasarjana Pendidikan Islam UIKA Bogor ini, bertujuan untuk menerobos kebekuan yang selama ini agaknya terus dipelihara oleh pihak-pihak tertentu.

Buku ini diharapkan oleh para penulisnya bisa menyajikan wacana mendefinisikan makna ke-indonesia-an bagi warga negaranya, terutama bagi mayoritas umat Islam di negeri ini. Buku ini juga ingin menunjukkan bahwa kebudayaan yang paling berpengaruh kuat di Indonesia bukanlah kebudayaan Hindu-Budha. Termasuk juga meluruskan peran-peran umat Islam dalam perjuangan melawan kolonial Belanda dan bagaimana tarik menarik antara Islam dan sekularisme. Dan masih banyak lagi yang dibeberkan dalam buku ini terkait dengan peran-peran umat Islam yang selama ini tidak muncul dalam penulisan sejarah Indonesia. (mm)

     

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *