Ibnu Thufayl, Menjelaskan Filsafat Lewat Novel ”Hayy Ibnu Yaqzan”

Meskipun para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran dan kebudayaan seperti seperti al-Ghazali, Ibnu Thufayl, al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina dianggap brilian, namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya dibandingkan dengan tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Karena itu, kajian-kajian mengenai tokoh-tokoh Islam berkenaan dengan khazanah intelektual Islam masih belum memadai dan jauh dari memuaskan. Hal ini dikarenakan beberapa ulama dan sarjana kita, tampaknya tak mau mengkaji dan mengkomentari sejumlah karya-karya ulama dan cendekiawan muslim terdahulu yang karyanya monumental dan susah dicari tandingannya.

Di antara pencapaian yang telah mereka peroleh adalah dalam ranah pemikiran filsafat dan tasawwuf yang merupakan rantai yang paling kuat dalam mata rantai yang menghubungkan antara filsafat Yunani, Timur dan Latin Barat, pencapaian mereka semakin kokoh dan diakui terutama dalam kontribusi mereka yang telah berhasil melakukan upaya mengkompromikan antara wahyu, akal dan intuisi serta agama dan ilmu pengetahuan. Untuk menunjukkan sisi dari kontribusi muslim Spanyol abad pertengahan dalam ranah fisafat akan penulis ketengahkan nama Ibnu Thufayl yang merupakan tokoh filosof muslim Neo-Platonis Spanyol yang telah mencapai orisinalitas karya yang sedemikian rupa yang hidup pada masa pemerintahan dinasti Almohad.

Nama lengkap Ibnu Thufayl adalah Abu Bakr Muhammad Ibn ‘Abd al-Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tufayl al-Qaysi. Lewat karya-karya tulisnya, Ibnu Thufayl dikenal sebagai salah satu filosof Spanyol yang menganut Neo-Platonis (al-aflatuniyat al-muhdatha), sebuah sintesa kreatif antara Pythagorian, Platonis, Aristotelian, dan filosofi Stoic, yang diramu dengan spirit relijius.

Ibnu Thufayl merupakan sebuah figur “perlawanan Andalusia” terhadap astronomi Ptolemaic, sebuah gerakan kritis yang kemudian dilanjutkan oleh teman sekaligus murid dari ibnu Thufayl, yakni al-Bitruji. Dia menulis beberapa buku mengenai filsafat murni yang sudah jarang sekali ditulis, termasuk pemeliharaan jiwa lewat filsafat. Namun yang menjadi kunci dari rekonsiliasi dari pemikirannya adalah fabel filsafat yang dia tulis, berjudul Hayy Ibn Yaqzan.[1]

Secara ringkas, karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut disebut oleh Ibnu Thufail sebagai Hayy Ibn Yaqzan (hidup anak kesadaran). Tokoh Hayy hidup terpencil dan bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya hanya dengan menggunakan akal dan pancaindera. Hay digambarkan sebagai sosok manusia alam yang tak pernah mengenali orangtuanya. Tetapi alam telah memberinya seekor kijang yang mengasuh dan memberinya makan. Setelah dewasa, dia mengarahkan pandangannya terhadap perkara yang ada di sekelilingnya. Di sini, dia mulai memahami tentang kejadian, pengalaman, dan rahasia perubahan yang terjadi di sekelilingnya; sehingga ia tahu, bahwa di balik alam ini terdapat sebab-sebab yang tersembunyi yang menciptakan dan membentuk alam raya dan dirinya. Hayy Ibnu Yaqzan selalu membahas dan menganalisa sesuatu perkara secara sendiri melalui akalnya, sehingga dia mampu mengetahui bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan manusia itu bergantung kepada hubungannya dengan Sang Pecipta. Ia kemudian dikenalkan dengan nama Allah, sebagai Yang Maha segalanya, setelah bertemu dengan Asal, tokoh fiktif yang berperan sebagai pendakwah (da`i) yang membawa kebenaran agama. Dengan melalui lika-liku perdebatan yang kritis dan dialogis, Hayy menerima pandangan-pandangan agama yang disampaikan Asal. Hay mengakui adanya kesamaan tentang Allah sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta raya dengan “Sang-Realitas” yang berada dibalik alam raya yang diakuinya sebagai Tuhan. Dengan karakter tokoh Hayy itu, Ibnu Thufayl berhasil membuat uraian yang menarik sekaligus membantu memahami pemikiran-pemikirannya.[2]

Ibnu Thufayl memberikan gambaran tentang sebuah simpul social, yang mengubah urutan situasi pikiran dari ketiadaan panca indera menuju kepada isolasi budaya. Tujuan utama Ibnu Thufayl adalah untuk menunjukkan apa yang dapat ditemukan oleh intelejensia manusia tanpa adanya bantuan dari pihak di luar dirinya yang bersifat ketuhanan, yang menanamkan pengetahuan – penerimaan mengenai ide-ide dan kecenderungan untuk secara aktif melakukan pencarian seperti yang telah ditegaskan al-Ghazali terhadap dirinya sendiri dan apa yang telah dilakukan oleh Aristotle dengan menyusun sebuah premis ketika dia mengawali bukunya, Metaphysics, dengan kata-kata, “seluruh manusia secara naluri ingin mencari tahu”.[3]

Pengetahuan yang dimiliki manusia melalui penginderaaan terhadap alam sekitarnya, menurut Iqbal, merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang ditekankan dan diakui oleh Al-Qur’an, dalam rangka mencari kebenaran. Ia menyebutkan beberapa ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah tersebut,[4] antara lain Q.S. Al-Baqarah ayat 164:[5]

 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di lautan membawa apa yang berguna manusia, dan apa yang diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angina dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir.”

 

Maka tidak ada keraguan lagi, bahwa maksud langsung dari Al-Qur’an dengan pengamatan yang seksama tentang alam itu ialah untuk membangkitkan kesadaran tentang segala sesuatu yang ada di alam itu dipandang sebagai satu lambang dari kekuasaan-Nya. Hal ini sesuai dengan esensi serta tujuan Ibnu Thufayl dalam novelnya, Hayy Ibnu Yaqzan.

Hayy Ibn Yaqzan, seperti fiksi lainnya, merupakan sebuah eksperimen pemikiran. Eksperimen pemikiran ini menurut beberapa pihak dibangun berdasarkan eksperimen pemikiran Ibnu Sina yang terkenal, yakni Manusia Mengambang. Nama tersebut diambil dari salah satu alegori yang ditulis Ibnu Sina selama dia dipenjara di puri Fardajan dekat dengan Hamadhan. Menurut argument Manusia Mengambang-nya Ibnu Sina, yang berulang kali dijelaskan dalam tulisan-tulisan Ibnu Sina yang non-alegori, bahwa para filosof menunjukkan esensi dari jiwa manusia, independensi jiwa manusia, dengan meminta para pembacanya untuk mencoba memahami diri mereka sendiri bagai mengambang di udara, terisolasi dari seluruh perasaan atau melepaskan perasaan, bahkan melepaskan diri dari seluruh kontak dengan bagian tubuh yang lain. Satu hal yang akan tersisa dari semua aktivitas ini – menurut Ibnu Sina – adalah kesadaran diri.[6]   

Namun, benarkah pemikiran Ibnu Thufayl mengekor pemikiran filosof sebelumnya, seperti yang sering dinyatakan oleh para kritikus? Mengenai komentar para kritikus yang menyatakan bahwa Ibnu Thufayl merujuk kepada pemikiran filosof terdahulu semacam Ibnu Sina seperti yang telah disebutkan di atas, tidak sepenuhnya benar. Jika kita teliti lebih dalam karyanya akan kita dapati bahwa sesungguhnya Ibnu Thufayl dalam pemikiran fisafatnya merupakan pribadi yang independent dan memiliki orisinalitas.

Syeikh Al-Azhar terdahulu Dr. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Ibnu Thufyil Wa Falsafatuhu ( Ibnu Thufayl dan Filsafatnya ) telah memberikan penjelasan yang cukup argumentative. Adapun bukti yang memperlihatkan indepedensi Ibnu Thufayl dari pengaruh Al Farabi dapat kita baca dari sikap Ibnu Thufayl sendiri terhadap Al-Farabi yang mana ia telah memproklamirkan secara terang-terangan bahwa pemikiran yang terkandung dalam karya-karya Al-Farabi penuh dengan skeptisisme ( kastrah assyukuuk ) kemudian memberikan contoh dengan pendapat Al-Farabi yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya terdapat dalam dunia material yang kita tempati sekarang ini (addaar addunya) lalu mengkritiknya dengan ungkapannya.[7] Menurutnya, pendapat ini telah mendorong sikap pesimis seluruh manusia dari rahmat Tuhan dan telah menempatkan orang yang memiliki keutamaan dan seorang pendosa dalam satu level.

Adapun penilaian Ibnu Thufayl terhadap filosof lain seperti Ibnu Bajah, ia mengklaim bahwa Ibnu Bajah bukanlah orang yang lebih cerdas dan lebih mempunyai pemikiran cemerlang di banding dirinya. Adapun tentang Ibnu Sina , Ibnu Thufail telah di buat kagum olehnya karena dengan ketajaman metode rasionalnya ia berhasil melangkah dan memberikan karakter pada fase atau level uuli ashidq sekalipun ia tetap menganggap Ibnu Sina bukanlah orang yang telah menceburkan diri, menghirup dan merasakan manisnya fase tersebut.

Dari sudut pandang ini dapat kita simpulkan bahwa Ibnu Thufail mempunyai pendapat dan pemikiran yang mandiri dan tidak mengekor kepada Ibnu Sina dan ia menganggap bahwa pencapaian Ibnu Sina hanya merupakan suatu fase dari fase-fase pengetahuan yang bukan merupakan esensi pengetahuan. Adapun tentang Al-Ghazali Ibnu Thufail berpendapat dengan pernyataannya “tak di ragukan lagi bahwa Syeikh Abu Hamid (Al-Ghazali) termasuk orang yang telah merasakan puncak kebahagian dan telah sampai kepada fase termulia dan kudus (fase ulu asshidq atau pengetahuan sejati dalam konteks nilai pengetahuan).[8]

 Akan tetapi terlepas dari apresiasi Ibnu Thufail terhadap Al-Ghazali kalau kita telaah dan bandingkan lebih jauh antara pemikiran filsafat Ibnu Thufail dan Al-Ghazali akan kita dapati perbedaan yang cukup mencolok terutama sikap mereka terhadap fase aksiomatik-rasional. Di satu sisi Al-Ghazali menolak dengan tajam fase tersebut dan menganggap bahwa penalaran rasio tidak dapat mengantarkan seseorang kepada hakekat dan keyakinan, dan pernyataan Ibnu Thufail dalam roman filsafatnya terutama ketika menggambarkan tentang fase pertama ( aksiomatik-rasional ) sangat kontra produktif dengan pendapat Al-Ghazali tersebut karena di situ Ibnu Thufail masih mengakui eksistensi penalaran rasio sebagai metode mencapai pengetahuan yang merupakan fase pertama yang harus di lewati untuk mencapai pengetahuan sejati akan tetapi lebih dari itu Ibnu Thufail masih mengakui Al-Ghazali sebagai orang yang telah mencapai esensi pengetahuan yang luhur.[9]


[1] Lenn E. Goodman, Ibn Tufayl, dalam buku berjudul History of Islamic Philosophy, (London : Routledge, 1996), hal. 315.

[2] Abu Bakr Ibn Tufail, The History of Hayy Ibn Yaqzan, (New York : Frederick A. Stokes Company), hal. 44-51 dan Muhammad Ali Khalidi (Ed.), Medieval Islamic Philoshopical Writings, (Edinburg : Cambridge University Press, 2005), hal. 102-103.

[3] Lenn E. Goodman, Ibn Tufayl, dalam buku berjudul History of Islamic Philosophy, (London : Routledge, 1996), hal. 316.

[4] Ibid., hal.13-14.

[5] Silahkan dilihat juga QS. Al-An’am: 97-99, QS. Ar-Rum: 30

[6] Ibid.,  hal. 315.

[7] Falsafah Ibn Tufayl, DR. Abdul Halim Mahmud (pdf)

[8] Ibid.,

[9] Ibid.,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *