Historical Fact and Fiction : Sejarah Islam adalah Sebuah Dignity

Inpasonline.com, 04/11/11

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas (SMN al-Attas) kembali menuangkan pikiran-pikirannya yang brilian dalam sebuah buku fenomenal Historical Fact and Fiction (HFF). Pertama kali dilaunching 9 September 2011, buku ini berhasil menyita perhatian kalangan intelektual di tanah airnya, Malaysia, dan di Indonesia, dimana murid-murid SMN al-Attas banyak yang berasal dari sini.

Salah satu murid SMN al-Attas, Adian Husaini, Ph.D bahkan sudah membaca naskah buku tersebut sebelum naik cetak. “Sejak naskah sedang diketik tangan pun, saya sudah disuruh baca naskahnya. Beliau menuangkan seluruh energinya untuk menulis buku ini. beliau sangat monumental di bidang sejarah Melayu,” jelas Adian saat menjadi pembicara dalam acara bedah buku Historical Fact and Fiction di Aula Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Rabu, 2 November 2011.

Acara yang terselenggara berkat kerjasama InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) dan Pusat Pengembangan Intelektual (P2I) Pascasarjana IAIN Sunan Ampel ini diberi kata sambutan oleh Masdar Hilmy, Ph.D selaku Asisten Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, mewakili direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Dr. Ridwan Nashir yang berhalangan hadir. Masdar mengatakan bahwa pihaknya merasa mendapat kehormatan atas kesediaan InPAS menggandeng lembaga P2I untuk menyelenggarakan acara bedah buku HFF yang bermanfaat bagi pengembangan intelektual mahasiswa.

Dalam forum yang dihadiri oleh civitas akademika IAIN Sunan Ampel serta beberapa kampus lain di Surabaya, Adian Husaini tidak sendirian. Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Jakarta juga didapuk menjadi pembicara.

Dalam makalahnya berjudul Islamisasi Nusantara : Bukan Asal-Asalan, Tinjauan Singkat terhadap Buku Historical Fact and Fiction karya Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas (UTM, 2011), secara tegas Adian kekecewaannya terhadap pemberitaan majalah Media Hindu (edisi Oktober 2011). Majalah ini dengan tanpa disertai fakta-fakta sejarah yang memadai berani menyatakan bahwa mustahil suatu bangsa menjadi bangsa yang maju apabila mayoritas rakyatnya masih menganut agama (Islam) yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Jadi, kesimpulan media ini, kembali kepada Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi negara adidaya, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju.

Padahal, menurut al-Attas dalam buku HFF, fakta sejarah menunjukkan, dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan pristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. Melayu kemudian identik dengan Islam. Sebab, agama Islam terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Penjelasan tersebut termaktub dalam buku HFF halaman 16 :

“The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself.”

Hindu Mindset yang hingga saat ini masih menjangkiti para pakar sejarah dan juga mesyarakat awam sebenarnya adalah akibat dari rekayasa para orientalis – sebuah entitas yang selama ini menjadi objek kritik terbesar SMN al-Attas – yang selama puluhan bahkan ratusan tahun berusaha mengubah wordlview masyarakat Melayu.

“Saya pernah protes kepada pejabat Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri. Jika memang mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, dan jumlah pemeluk Islam di negeri kita adalah yang terbesar di dunia, mengapa di kantor kedutaan harus dipasang patung dan replika candi ini dan itu. Mengapa tidak dipasang foto Masjid Demak, Masjid Kudus, atau sejumlah pesantren, yang juga merupakan peninggalan sejarah penting Indonesia?,” tegas Adian. Kemudian Adian juga mengkritik pengkultusan sosok Gajah Mada yang tidak jelas apa peranan dan jasanya bagi bangsa Indonesia namun posisinya seolah lebih penting dibanding Sultan Agung atau Wali Songo yang jelas-jelas besar jasanya bagi bangsa.

“Islamisasi di nusantara telah mengubah wordlview muslim Melayu dan tingkatkan intelektualitas. Kita lihat respon keras dari kaum Kristen menolak penggunaan bahasa Melayu, seperti Frans van Lith, tokoh Yesuit awal abad ke-20 dan J.D. Wolterbeek,” kata Adian. Kaum Kristen rupanya sadar betul kalau penggunaan bahasa Melayu merupakan salah satu format Islamisasi nusantara sehingga mereka menolaknya.

“Elit-elit Jawa sekuler menganggap  belajar bahasa Melayu berarti mempelajari Islam,” imbuh Adian.

Selain ingin mendekonstruksi mindset Hindu yang berkembang sekarang ini, arti penting buku HFF ini adalah memberikan solusi keluhan Adian soal sulitnya mengubah metodologi Ilmu Sosial, dibandingkan dengan metodologi Ilmu Alam (sains). “Islamisasi sains lebih mudah karena yang diislamisasi adalah philosophy of science-nya. Yang paling sulit justru islamisasi ilmu sosial, sebab metodologi ilmu sosial yang dikembangkan oleh Barat banyak mengandung masalah. Yang baru bisa kami (INSISTS) kerjakan adalah islamisasi sejarah nusantara dan menciptakan guru-guru sejarah yang sesuai dengan worldview  Islam,” kata Adian dalam sebuah forum terpisah.

Berkaitan dengan metodologi Ilmu Sejarah pada khususnya, Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan ketajaman buku HFF dalam melakukan kritik serta rekonstruksi terhadap metodologi kajian sejarah Islam di dunia Melayu yang selama ini berkembang, antara lain, pertama, bukan kaum pedagang yang bertindak selaku ‘missionaris Islam’ (istilah yang digunakan SMN al-Attas untuk para pendakwah) sebab perdagangan umumnya hanya terfokus pada hal-hal yang bersifat materi. Namun, sejatinya penyebaran Islam dilakukan oleh misionaris Islam yang memang memiliki tujuan yang jelas serta pasti, terorganisir, punya kemampuan yang mumpuni, dan dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana serta konsisten.

Kedua, Fakta-fakta sejarah bukan hanya berupa empirical evidences atau bukti-bukti empiris. “Apa yang mereka lakukan (orientalis, red) dalam kajian sejarah itu empiris, dan ini adalah ciri dari sekuler. Prinsip yang mereka pegang adalah habeas corpus atau having a body, harus ada bukti fisik. Itu salah sebab kita tidak bisa ungkap banyak fakta hanya dengan empirical evidences. Apalagi bukti-bukti ini diambil dari orang-orang yang sengaja mengumpulkan lalu memilih bukti-bukti itu yang sesuai dengan kepentingan mereka”, jelas Hamid. Kemudian fakta-fakta empiris ini harus dihubungkan dengan wordlview Islam.

Ketiga, sejarawan harus tahu ilmu yang diteliti secara otoritatif. Jika ingin meneliti umat Islam di sebuah wilayah misalnya, harus Islam dan worldview Islam yang digunakan. Seorang sejarawan juga harus memahami simbol-simbol keagamaan.

Keempat, sejarawan harus kritis terhadap asumsi-asumsi dasar masyarakat pada masa lalu saat sejarah itu bergulir, bahwasanya asumsi mereka bukan berdasarkan agama. Orientalis seluruhnya sepakat bahwa Islam yang datang ke Indonesia adalah dari Gujarat, India. Hal ini jika dibuktikan secara ilmiah, pasti salah. “Menurut al-Attas, kalau orang-orang yang datang ke Indonesia adalah dari India, maka pasti nama-nama orang Melayu adalah nama-nama India. Tapi ternyata di sini enggak. Yang banyak itu nama-nama berbau Arab, bukan India. India-Pakistan itu kan campuran Persi-India.  Dari nama-nama saja al-Attas sudah bisa membuktikan, tidak ada bukti mereka gunakan nama-nama India,” jelas Hamid. Nama-nama berbau India memiliki ciri khas yang berbeda dengan nama-nama Arab karena bercampur dengan Persia.

Kelima, yang dominan sebagai misionaris Islam adalah orang Arab. Islam yang datang ke Indonesia  ini asli dari Arab. Orang Arab yang datang ke negeri ini adalah keturunan Ali bin Abi Tholib tapi bukan Syiah. “Jangan salah paham. Orang-orang Arab yang datang ke Indonesia adalah keturunan Ali bin Abi Tholib tapi Sunni. Al-Attas itu keturunan Ali dan beliau menantang orang-orang Syiah. Kata SMN al-Attas, kalau orang-orang Syiah itu mengaku mencintai Ahlu Bait, maka saya adalah orang Sunni yang mencintai Ahlul Bait,” tegas Hamid.

Keenam, para sejarawan Islam harus memahami bagaimana tradisi intelektual Islam. Para ulama sufi seperti seperti al-Banjari, al-Palimbani, al-Makassari meninggalkan turats sebagai khazanah intelektual Islam.

Ketujuh, Imajinasi dalam pengertian SMN al-Attas bukan sekadar khalayan. Imajinasi ada yang sehat, yakni imajinasi yang diwarnai oleh worldview Islam, dengan menghubung-hubungkan fakta-fakta itu. Misal, nama Rahmat Syah. Dalam kata ‘Syah’ itu ada unsur bahasa Persia.

Kedelapan, Sejarawan Islam dari Barat (orientalis, red) seringkali tidak memahami apa itu Islamic civilization. Dijelaskan oleh Hamid, istilah ‘civilization’ tidak cukup mewakili sebuah gambaran peradaban yang bersifat komprehensif. ”Sedang Islam punya konsep ‘Ummah’; komunitas yang mempunyai kegiatan keilmuan, kepercayaan, dan aqidah yang merupakan sebuah entitas tersendiri. Dari situ muncul apa yang disebut dengan Tamaddun, Madaniyah. Semua berasal dari kata ‘Adab’,” jelas Hamid.

Peradaaban Islam tidak muncul dari sumber yang satu, tapi menyeluruh, dari Mesir, Persia, Hindia, bahkan Melayu. Peradaban Islam merupakan peradaban yang berasal dari kultur Islam dunia sebagai hasil dari proses Islamisasi. Maka dari itu peradaban Islam merupakan peradaban yang bervariasi atau plural dalam bentuk institusi yang bermacam-macam. “Saya paling tidak setuju dengan sebutan Islam Indonesia, Islam India, Islam Pakistan dan sebagainya. Apakah Islam di Indonesia ini berbeda dengan Islam di negeri yang lain? Tapi kalau maksudnya bervariasi (secara institusi, red) itu betul,” kata Hamid.

“Islam itu satu, tapi dalam yang satu itu ada perbedaan, tapi tetap satu Tuhan, satu Nabi, satu Kiblat. Janganlan Islam, di dalam NU, Muhammadiyah, dan lain-lain  juga banyak perbedaan. Tapi ada yang satu dan tidak diperselisihkan,” jelas Adian. Pernyataan Adian ini sekaligus menjawab pertanyaan salah satu peserta yang mempersoalkan keberagaman umat Islam sebagai sebuah fakta sejarah.

“Islam itu banyak? Apa itu Islam? Yang membedakan kita hanya madzhab fiqih. Sepanjang sejarah Islam tidak ada wacana yang mengeluarkan kesimpulan Tuhan itu lebih dari satu kecuali orang-orang Islam Liberal,” kata Hamid, yang diiringi tawa para peserta bedah buku HFF.

Selain mengkritik metodologi orientalis dalam mengkaji sejarah Islam, dalam HFF, SMN al-Attas juga mengemukakan sebuah fakta mengejutkan, disertai dengan analisa yang masuk akal. Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa Sallam adalah seorang negarawan, yang pasti memiliki pengetahuan geopolitik yang baik, sehingga menganjurkan para sahabatnya untuk datang ke tanah Melayu (Sumatera), seperti yang termaktub dalam buku HFF :

“The prophet was also a statesman and his knowledge of the region obtained from Arab seafarers who had been there would surely have been sufficiently obvious for him to urge the sending of missionaries there to convert the peoples of the region to Islam in order to secure Muslim economic domination as a world power.”

Dari ulasan di atas, maka semakin kuatlah argumen yang menyatakan bahwa Islam telah tersebar di Indonesia sejak abad ke-7, seperti ditemukan dalam catatan dari zaman Dinasti Tang (671 Masehi).

“Al-Attas dengan detail yang mengagumkan telah merekonstruksi fakta-fakta menjadi sebuah gambaran yang lebih utuh. Beliau tidak hanya menganalisa Indonesia, tapi sekaligus di India, di Mekah, dan China,  juga beliau analisa dengan sangat detail, kaitan antara fakta-fakta di berbagai wilayah,” tegas Adian.

Kemudian seorang peserta mengajukan pertanyaan kepada Adian,  “kalau kita flash back dari sekarang, yang mewarnai Jawa itu adalah Hindu, sehingga budaya Jawa identik dengan Hindu dan sudah menjadi kearifan lokal, dan Islam datangnya di pertengahan, sehingga kearifan lolal ini susah diwarnai dengan keislaman. Saya berpikir, bahwa Hindu biarlah tetap menjadi budaya saja dan Islam menjadi aqidah. Bagaimana menurut Anda?”

Tanpa ragu Adian menjawab, bahwa ketika para pendakwah Islam datang ke tanah Jawa, mereka tidak menerima kearifan lokal itu tapi mengubah tradisi tersebut. “Dakwah itu proses yang terus menerus untuk mengubah kearifan lokal agar sesuai dengan Islam. Contoh, menyembelih manusia berubah menjadi menyembelih binatang, kemudian dagingnya dimakan bukan dilarung atau dibuang,” tandas Adian.

Saat Wali Songo datang untuk berdakwah di Jawa, masyarakat di sana masih melakukan ritual Bhairawatantra tapi kemudian hilang lewat dakwah. Bhairawatantra adalah sebuah sekte atau aliran yang merupakan produk persatuan agama dan paham tertentu dalam senyawa yang bersifat sinkretisme. Sekte ini menghasilkan ritual-ritual amoral dan membangkitkan kegelapan peradaban selama beberapa abad. Kesimpulannya, kearifan lokal (local wisdom) pra Islam di tanah Jawa perlahan hilang ditelan gelombang dakwah para wali dan ulama-ulama sesudahnya, dan hal ini masih berlangsung hingga kini. Ritual-ritual amoral itu berupa seks bebas, meminum darah manusia dan memakan dagingnya.

Tentu tidak semua tradisi lokal harus dihilangkan. “Tradisi yang baik tetap dipertahankan. Ukurannya bukan local wisdom, tapi tetap Islam karena Islam agama wahyu,” tegas Adian.

Lalu, bagaimana Islam sebagai agama lantas berubah menjadi Islam sebagai wordlview? Cara mengembangkan Islam sebagai worldview adalah lewat jalur pendidikan. “Persoalan yang muncul di dalam studi Islam baik di dalam maupun luar negeri adalah bagaimana bergelut dengan wordlview asing dan bagaimana mengcounter worldview asing yang terkonsep dalam pemikiran Islam? Meski mendapat kritik, lewat Islamisasi, Islam akan menjadi sebuah konsep, lalu konsep menjadi cara pandang, dan cara pandang akan menjadi realitas dalam bentuk institusi, dan kita bisa menjadi rahmatal lil alamin apabila konsep ini berkembang di seluruh masyarakat dunia,” pungkas Hamid.

Tidak hanya menegaskan kepakaran SMN al-Attas dalam mengungkap fakta-fakta sejarah Islam di Melayu, dengan detail yang mengagumkan, namun buku HFF juga menegaskan bahwa mempelajati sejarah Islam adalah fardhu ‘ain, sebab sepertiga isi al-Qur’an adalah sejarah. Dan umat Islam wajib bangga dengan sejarahnya. “Warisan besar orang-orang Islam adalah kebanggaan sejarahnya. Kata al-Attas, seorang Muslim harus punya dignity. Tidak usah minder dengan Barat”, tegas Adian.

(Kartika Pemilia Lestari)

 

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *