Oleh : Abduh Rijal*
inpasonline.com – Islam masuk dan berkembang di Nusantara melalui kurun waktu yang panjang, Buya Hamka mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia di abad pertama hijriyah dengan pengaruh yang tidak terlalu besar dan bisa dikatakan mulai terlihat pengaruhnya di zaman walisongo. Proses yang panjang ini membuat Islam di alam Melayu mengakar kuat dan tidak mudah digantikan dengan agama atau kepercayaan lain meski telah digempur dengan kolonialisasi dan kristenisasi oleh penjajah Eropa. Perkembangan Islam khususnya dari aspek perkembangan keilmuan maju pesat di abad ke 16. Terbukti pada abad tersebut mulai muncul karya-karya ulama Nusantara yang kandungan isinya menjadi bahan kajian hingga saat ini. Salah satu tokoh yang berpengaruh di zaman tersebut adalah Syekh Hamza Fansuri.
Beliau adalah salah satu ulama klasik di alam Melayu yang pemikirannya cukup memberi pengaruh terhadap Islam di alam Melayu. Syekh Hamza Fansuri terkenal sebagai ahli syair sekaligus sufi yang tercatat banyak memberikan sumbangan intelektual dalam dunia Melayu lewat karya – karyanya. Namun dalam hal interpretasi terhadap karya-karaya Hamza Fansuri, Prof. Syed M. Naquib al Attas berkomentar bahwa perlu kehati – hatian dalam menelaah karya seorang sastrawan sekelas beliau yang terkenal sebagai sastrawan sufi. Dalam salah sau syairnya beliau menulis :
Hamzah nur asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahru Nawi
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali
Dari pada Abdul Qadir Sayid Jailani.
Sebagian sejarahwan menafsirkan bahwa Syekh Hamza Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah kota yang oleh seorang Arab pada zaman itu dinamai “Fansur”. Nama ini yang kemudian menjadi laqab (julukan) yang menempel pada nama Hamzah, yaitu al-Fansuri. Kota Fansur terletak di pantai barat provinsi Sumatera Utara, di antara Sinkil dan Sibolga. Konon, pada abad ke 10 hingga ke 15, kota Barus sempat menjadi pusat pendidikan Islam di Nusantara.
Dia adalah seorang intelektual yang berani pada zamannya karena kritikan-kritikannya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, dan para bangsawan. Oleh karena itu, ada yang menyebut bahwa kalangan istana Aceh masa dahulu tidak begitu menyukai kegiatan Syekh Hamza Fansuri. Akibatnya, baik Hikayat Aceh maupun Bustanul Salatindua sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah Kesultanan Aceh, tidak menyebut namanya baik sebagai tokoh spiritual maupun sebagai sastrawan.[1]
Dari segi keilmuan, beliau adalah pengikut madhab Syafi’i dalam fiqh, dan dalam tasawuf ia menjadi pengikut tarekat Qodiriyah. Beliau juga tercatat banyak melakukan perjalanan ke berbagai penjuru dunia untuk mencari ilmu seperti banten, Johor, Siam, India, Persia, Mekkah, Madinah, Yerusalem, dan Baghdhad. [2] Hal ini dapat dilihat pada salah satu syair (doanya):
Ya Ilahi ya Wujudi bi al-Dawam
Ukhrujkan Hamzah dari pada pangkat awam
Peliharalah ia dari pada kerja yang haram
Supaya dapat ke dar al-Salam.
Dari perspektif sejarah, Aceh merupakan wilayah strategis dalam penyebaran Islam di Nusantara. Aceh dengan peran strategisnya dalam penyebaran Islam di Nusantara, yang kemudian sangat berpengaruh terhadap penyebaran Islam di daerah lain, adalah bukti bahwa Aceh memang layak disebut sebagai “Serambi Makkah” atau halaman depan atau pintu gerbang ke Tanah Suci Makkah.[3]
Isu Wahdatul Wujud
Salah satu sumbangan Syekh Hamza Fansuri dalam tradisi intelektual kehidupan Melayu adalah mengenalkan istilah sufi lewat karya puisi dan prosanya. Beliau juga disebut salah satu deretan golongan awal yang mengenalkan paham wahdatul wujud di Nusantara, yang mana konsep ini juga pernah dipopulerkan oleh Sunan Bonang di bumi Nusantara sebelumnya. Sunan Bonang sendiri tercatat mengajarkan konsep ini justru untuk membendung aliran manunggaling kawulo gusti yang diajarkan oleh para pengikut Syekh Siti Jenar.
Para sejarawan Nusantara mengatakan Syekh Hamza Fansuri dianggap orang pertama yang menjelaskan paham wihdat al-wujud Ibnu ‘Arabi untuk kawasan Asia Tenggara. Khususnya lewat karyanya yang berjudul Syarab al Asyqin (Minuman semua orang yang rindu). Di dalamnya termuat beberapa ajaran cara mencapai maqam makrifat kepada Allah SWT.
“Ketahuilah, hai segala kamu anak Adam yang Islam, bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita, dari pada tiada diadakannya; dan dari pada tiada bernama diberi nama; dan dari pada tiada berupa diberi berupa; lengkap dengan telinga, dengan hati, dengan nyawa, dengan budi. Yogya kita cari Tuhan kita ini supaya kita kenal dengan makrifat kita atau dengan khidmat kita kepada guru yang sempurna mengenal dia supaya jangan taqsir kita”.[4]
Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi : Kuntu kanzan makhfiyyan, fa ahbabtu ’an uraf fa khalaqtu al-khalqa li-kay u’raf “Aku adalah Kanzun makhfiy (khazanah yang tersembunyi), Aku cinta (hubb) untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk agar mereka mengenaliKu.” Dari hadits di atas para ulama menafsirkan bahwa alam ini diciptakan dengan tujuan agar Manusia mengenali Allah lewat realitas yang ada dalam alam ini.
Diri kuntu kanzan makhfiyyan [itu] dirinya dan semesta sekalian dalam ilmu Allah. Seperti biji dengan pohon; pohonnya sebiji itu; sungguh pun tiada kelihatan tetapi hukumnya ada dalam biji itu”…”Hai Thalib! Mengetahui man ‘arafa nafsahu bukan mengenal jantung dan paru-paru, dan bukan mengenal kaki dan tangan. Arti man ‘arafa nafsahu adanya dengan ada Tuhannya Esa jua.[5]
Maka alam ini yang juga disebut sebagai ayat kauniyah, adalah tanda tentang keEsaan Allah SWT. Namun menurut Hamza Fansuri, orang yang berjalan menuju Allah harus melalui bimbingan dari seorang guru. Jika tidak maka di akan salah dalam memaknai makrifatullah.
Sidang “Talib” kedalam hutan,
Pergi ‘uzlat berbulan-bulan,
Dari muda datang berhuban –
Tiada bertemu dengan Tuhan
Olah riyadat tubuhnya rusak,
Hendak melihat serupa budak,
Menghela nafas kedalam otak
Supaya minyaknya jangan orak!
Karamatnya terlalu sangat,
[Suaranya] pun besar amat,
Angan-angannya sekalian larat –
[Se]makin dapat wasilnya bangat!
Syair tersebut adalah ungkapan Hamza Fansuri yang mengkritik orang yang menempuh jalan makrifat namun dengan cara yang salah. Ma’rifatullah adalah maqam tertinggi dalam golongan sufi. Para ulama tasawwuf dengan usaha ma’rifatnya, banyak membahas istilah untuk mengekspresikan sekaligus menjelaskan pengalaman spiritualnya lewat berbagai istilah. Salah satunya adalah istilah yang disebut wahdatul wujud. Hamza Fansuri yang telah sampai pada taraf spritual tinggi menulis dalam salah satu karyanya :
Laut tiada bercerai dengan ombaknya, ombak tiada bercerai dengan lautnya. Demikian juga dengan Allah Swt., tiada bercerai dengan alam, tetapi tiada di dalam alam dan tiada di luar alam dan tiada di bawah alam dan tiada di kanan alam dan tiada di kiri alam dan tiada di hadapan alam dan tiada di belakang alam dan tiada bercerai dengan alam dan tiada bertemu dengan alam dan tiada jauh dari alam.[6]
Menurut beliau sebagaimana ulama sudi Ahlusunnah wal Jamaah lainnya, berpendapat bahwa alam ini sebenranya adalah bentuk tajalli (manifestasi) dari Allah SWT. Seorang yang A’rif atau telah sampai pada puncak ma’rifah tidak akan memandang realitas selain realitas Allah SWT. Dalam akidah Ahlusunnah tasybih atau penyamaan antara Kholiq dan Makhluq adalah bentuk kesalahan, makhluq sendiri tidak bisa dipisahkan dengan sang kholiq atau penciptanya.
“Adapun kepada ulama syariat zat Allah dengan wujud Allah, dua hukumnya, wujud ilmu dengan alim dua hukumnya, wujud alam dengan alam dua hukumnya, wujud alam lain wujud Allah lain.Adapun wujud Allah dengan zat Allah misal matahari dengan cahayanya. Sungguhpun esa pada penglihatan mata dan penglihatan hati, dua hukumnya matahari lain cahaya lain. Adapun alam maka dikatakan wujudnya lain, karena alam sepertibulan beroleh cahaya dari matahari. Sebab inilah maka dikatakan ulama, wujud alam lain daripada wujud Allah dengan zat Allah lain.Maka ahlu suluk jika demikian Allah Ta‟ala di luar alam atau dalam alam dapat dikata atau hampir kepada alam atau jauh daripada alam dapat dikata. Pada kami zat Allah dengan wujud Allah esa hukumnya, wujud Allah dengan wujud alam esa, wujud alam dengan alam esa hukumnya seperti matahari dengan cahaya namanya jua lain pada hakikatnya tiada lain. Pada penglihatan mata esa, pada penglihatan hatipun esa. Wujud alam demikian lagi dengan wujud Allah esa, karena alam tiada berwujud sendirinya sungguhpun pada zahirnya ada ia wujud, tetapi wahmi juga bukan wujud haqiqi, seperti bayang-bayang dalam cermin, rupanya dan hakikatnya tiada. Adapun ittifaq ulama dengan ahlu suluk pada zat semata.[7]
Syair menjadi metode penyebaran ilmu tasawwuf oleh para sufi karena memang penjelasan mengenai pengalaman spiritual agak susah dijelaskan apa adanya. Nikmatnya dan asyiknya bersama Allah SWT dalam pandangan kaum sufi dijelaskan dengan symbol-simbol dalam prosa dan puisi.
Dalam kajian Barat, wahdatul wujud sering disamakan dengan pantheisme atau teori yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah tuhan. Artinya dunia ini menyatu dengan tuhan. Para ulama sendiri berpendapat bahwa pantheisme lebih dilekatkan pada faham Ihdat – al Hullul. Di Nusantara sendiri banyak terjadi kesalahpahaman terhadap karya para ulama akibat analisa para orientalis. Sehingga banyak sarjana Muslim yang terjebak loss of adab karena menyesatkan para ulama terdahulu. Padahal diantara rujukan yang digunkakan oleh syekh Hamza Fansuri adalah Ibn Arobi, Farid al Din Athar, Jalaludin Rumi, al Ghozali, Junaid al Baghdadi.
Syed M. Naquib al Attas, dengan merujuk pada pandangan Nurruddin al Raniri, berpendapat bahwa konsep wahdatul wujud dibagi menjadi dua kategori. Pertama, yaitu golongan al Wujudiyah al Mulhidah yang sesat, dan yang Kedua al Wujudiyah al Muwahhidah yang bertujuan mengEsakan Allah. Golongan pertama adalah sesat sedangkan golongan kedua bertauhid. Bahkan tauhid pada tingkat tertinggi.
Golongan al Wujudiyah al Mulhidah di Alam Melayu biasa disebut dengan konsep “Manunggaling Kawulo Gusti”. Konsep ini sudah dikenal sebelum masuknya Islam di Indonesia. Dalam kitab Kunjarakama dan upacara Upanisasi Budha Mahayana seperti Tan Twam Asi.
Sedangkan golongan al Wujudiyah al Muwahhidah adalah golongan ulama yang berusaha untuk mengesakan Allah dengan menafikkan segala sekutu bagiNya. Segala yang wujud di alam ini adalah Makhluk, dan semua wujud makhluk adalah bayangan atau hanya wujud majazi. Konsep wahdatul wujud sebernarnya merupakan ksinambungan dari konsep Tauhid dan tahap tertinggi yang dicapai oleh seseorang dalam mengesakan Allah SWT. Jauh sebelum munculnya itilah wahdatul wujud, Imam al Ghozali sudah membahasnya dalam kitab Ihya Ulumuddin, Misykatul Anwar.[8]
Selain Syekh Hamza Fansuri, dalam tradisi inteleltual Islam wahdatul wujud juga diuraikan dengan kiasan oleh Sunan Bonang lewat karya beliau yaitu “Suluk Wujil”. Kesatuan tokoh Wujil dan Ken Satpada dengan cerminnya, perumpamaan tersebut ibarat cermin dengan sosok yang sedang bercermin. Bayangan yang ada dalam cermin tersebut merupakan kawulo atau makhluk, sedangkan sosok yang bercermin adalah ibarat dari Tuhan.
Polemik Pemikiran
Sebagai seorang ulama yang bercorak Sufi, Hamza Fansuri selain memuat karangan untuk mengajarkan ilmu tasawwuf beliau juga banyak menulis tentang kritikan. Diantaranya adalah kritikan terhadap para Raja dan bangsawan yang terlihat tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam dan juga orang yang mengaku sebagai sufi namun sebenarnya bukan sufi. Oleh karena itu sebagian besar golongan kerajaan tidak mengakui tentang otoritas keilmuan Hamza Fansuri
Jangan kau takutkan gusar Qadi
Mangkanya dapat da’wamu ali.
Kabarkan ini pada Mawlana Qadi
Shurbat nin hening warnanya safi
Barang yang meminum dia mabok dan fani
Mendapat mahbub yang bernama Baqi.
Minuman itu terlalu safi
Yogyakan shurbat mawlana qadi
Jikalau bersahabat dengan yang kaya
Akhirnya engkau jadi binasa
Dalam karnyanya yang lain beliau menulis
wujudNya itu Suci dan hening
Sifatnya elok tiada berbanding
Bukan dimata, hidung , dan kening
Jangan kau pandangi di sana pening!
Indah sekali yang berkata diri,
Da’wanya d’im suluki dan sufi
Tanazzul dan tarakki belum diketahui
Manakan dapat da’wanya tinggi?
Tuhan kita itu empunya wujud,
Diubun-ubun dimanakan qu’ud.
Adalah Nur al-Din al-Raniri seorang ulama dari India yang datang di Aceh pada tahun 1637 M, pada masa pemerintahan Iskandar Tsani (1637-1641). Dia ditunjuk oleh Sultan untuk menduduki posisi keagamaan tertinggi sebagai syaikh al-Islam di bawah kekuasaan Sultan sendiri. Untuk memantapkan kedudukannya di istana kesultanan Aceh, dia mulai menyatakan perlawanannya yang kuat terhadap paham wujudiyah.
Dalam pandangan al-Raniri Islam di wilayah ini telah dirusak oleh paham sufisme wujudiyah sehingga ia sering berdebat dengan penganut ajaran Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin al-Sumaterani di hadapan Sultan.
Dalam karyanya Tibyan fi Ma’rifati al-Adyan al-Raniry menulis dalam Bahasa Melayu yang sangat kental sebagai berikut:“Maka tatkala zahirlah qaum wujudiyyah yang zindiq mulhid lagi sesat daripada murid Syamsuddin al-Sumattrani yang sesat…” Al-Raniry menambahkan “… serta kata mereka itu: Bahwasanya Allah ta‟ala diri kami wujud kami, dan kami dariNya dan wujudNya”. Kata al-Raniry, “…Maka telah kukarang pada membatalkan kata mereka itu yang salah dan i‟tiqad mereka itu yang sia-sia itu suatu risalah pada menyatakan da‟wah bayang-bayang dengan empunya bayang-bayang dan kukatakan pada mereka itu bahwasanya kamu mendakwah diri kamu ketuhanan seperti da‟wah fir‟aun katanya: Akulah Tuhan kamu yang maha tinggi, tetapi bahwasanya adalah kamu kaum yang kafir”. Maka masamlah muka mereka itu, serta ditundukkan mereka itulah kepalanya, dan adalah mereka itu musyrik, maka memberi fatwalah segala Islam atas kufur mereka itu dan akan membunuh dia… Dan setengah daripada mereka itu memberi fatwa akan kufur dirinya maka setengahnya taubat dan setengahnya tidak mau taubat. Dan setengah daripada mereka itu yang taubat itu murtad pula ia, kembali ia kepada i‟tiqadnya yang dahulu itu jua”
Dalam sejrahanya Nuruddin al raniry tidak pernah secara langsung menyebut dan mengkritk Hamza Fansuri dalam karyanya. Yang di kritik oleh beliau adalah golongan penerus yang mengaku memakai ajaran Hamza Fansuri namun dalam pemikirannya mengikuti faham Wujudiyah Mulhidah yan sesat. Syed Naquib al Attas menulis :
According to my interpretation of the way things happened in this conflict of ideas, Raniri, by the time he arrived inAcheh in 1637, had understood Hamzah from what he saw of those mystics who claimed, implicitly or explicitly, to be the latter’s disciples or followers, who were themselves mistaken in their interpretation of their master’s teachings. Of course Raniri himself had misunderstood Hamzah in many important points, and this lack of comprehension on the partof Hamzah’s “disciples” or ”followers” as well as on Raniri’s part is due largely to the fact that they did not understand Hamzah’s terms, which were employed as technical terms, and which were so employed for the first time in the writing of Malay.[9]
Kesimpulan
Hamza Fansuri merupakan salah satu tokoh pembaharu dalam khazanah Melayu yang dilupakan dan dipinggirkan. Beliau tercatat banyak memasukkan istilah penting agama Islam melalui prosa dan puisinya kedalam alam melayu kurang lebih sebanyak 2000 konsep. Beliau melalui sastranya juga mengenalkan konsep sufi yang rumit sehingga bisa dikenal dan dipahami oleh muslim melayu.
Terlepas dari kontroversi tentang pemikiran beliau, sumbangan dan jasa beliau dalam membangkitkan tradisi keilmuan dan memasukkan konsep-konsep Islam melalui ajarannya harus dikenali dengan baik. Maka perdebatan yang terjadi diantara para ulama hendaknya tidak langsung dijustifikasi sebagai konflik sehingga kita sebagai generasi penerus kemudian menolak suatu pemikiran kemudian menolak pemikiran lain, tanpa memperdalam isunya. Bagaimanapun beliau adalah sarjana Muslim agung yang pernah dimiliki Nusantara.
Penulis adalah Peserta Program Takhassus Kuliah Dirosah Islamiyah
[1] Jurnal SubstantiaVol. 15, No. 2, Oktober 20132 PEMIKIRAN TASAWUF HAMZAH FANSURI oleh : Mira Fauziah
[2] Peter Riddell, Islam and the Malay-Indonesia World: Transmission and Responses (London: Hurst & Company, 2001), h. 105.
[3] M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 28.
[4] Hamzah Fansuri, “Asrar al-‘Arifin”
[5] ibid
[6] Hamzah Fansuri, “Asrar al-‘Arifin”
[7] Menurut Ibn ‘Arabi dalam paham wahdah al-wujud yang dikembangkannya dinyatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, maka dijadika-Nyalah alam. Alam oleh karena itu merupakan cermin dari Tuhan. Pada benda-benda yang ada di alam, karena esensinya adalah sifat ketuhanan, dengan demikian Tuhan dapat melihat diriNya. Dari sini timbullah paham kesatuan wujud. Apa yang banyak (plural) dalam alam ini dipanadang sebagai berasal dari yang satu (singular).27
Pandangan wahdah al-wujud menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini atau yang banyak ini hanya dalam penglihatannya saja dinyatakan banyak, tetapi pada hakekatnya itu semua adalah satu. Keadaan ini tidak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam setiap cermin ia melihat dirinya. Dalam cermin-cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya hanya satu. Dalam Fusus al-Hikam, Ibn ‘Arabi juga menyatakan bahwa wajah sebenarnya hanya satu, tetapi kalau cermin diperbanyak wajah akan kelihatan banyak juga.
[8] ISLAMIA : Jejak Intelektual Nusantara.
[9] The mysticism of Hamzah Fansuri hal 44