Namun, mereka yang berbeda-beda bangsa dan agama itu mengambil bahasa Arab sebagai medium untuk menyatakan pikiran-pikirannya. Bahasa Arab telah menjadi ‘lingua franca’ bagi para ilmuwan dan cendekiawan yang berasal dari berbagai negeri yang berjauhan seperti Andalusia (kini Spanyol) dan Khurasan (Iran) itu. Alasan kedua, para penekun filsafat pada periode awal seperti al-Kindi dan al-Farabi lebih banyak bergelut dengan karya-karya filsuf Yunani semisal Plotinus dan Aristoteles ketimbang merintis filsafat Islam tersendiri. Namun dibalik semua alasan ini tersembunyi rasisme intelektual bahwasanya yang namanya filsafat itu ya produk pemikiran Yunani dan karenanya apa yang dikerjakan kaum Muslimin sekadar menerima dan memeliharanya untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Pun tak tertutup kemungkinan alasan ideologis untuk pilihan tersebut. Menurut Seyyed Hossein Nasr, mereka yang lebih suka dengan istilah ‘Arabic philosophy’ biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artifak museum, sehingga pendekatannya melulu historis dan filologis. Filsafat Islam di mata para orientalis semisal Van den Bergh hingga Gutas ibarat sosok mummi dari mahluk yang lahir di abad ke-9 dan mati di abad ke-12 Masehi. Mereka ini, kata Nasr, umumnya tidak mau dan belum pernah tahu bahwa filsafat Islam adalah kegiatan pikiran yang senantiasa hidup dari dahulu sampai sekarang: Islamic philosophy has remained a major intellectual activity and a living intelllectual tradition within the citadel of Islam to this day, di pusat-pusat keilmuan di Dunia Islam.
Tetapi, mayoritas orientalis seperti W. Montgomery Watt, Richard Walzer, Michael Marmura, George Hourani, Oliver Leaman, Samuel Stern, Parviz Morewedge, Seyyed Hossein Nasr, Hossein Ziai dan Hans Daiber lebih memilih istilah Islamic Philosophy (filsafat Islam), manakala Max Horten dan T.J. de Boer dalam bukunya memakai istilah Philosophie in Islam (filsafat dalam Islam). Beberapa alasan telah dikemukakan untuk itu, antara lain oleh Oliver Leaman. Filsafat Islam, katanya, adalah nama generik keseluruhan pemikiran yang dihasilkan masyarakat dalam bingkai tradisi dan konteks peradaban Islam terlepas apakah mereka yang punya andil di dalamnya adalah keturunan Arab ataupun bukan Arab, Muslim ataupun non-Muslim, di Timur Tengah, Andalusia, India, Asia Tengah dan Asia Tenggara, dengan bahasa Arab, Parsi, Ibrani, Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya, sejak zaman dahulu sampai sekarang ini. Filsafat Islam membawa agenda dan misi tersirat, bagaimana menyelaraskan ajaran wahyu dengan tuntutan akal, meskipun hakikatnya dikotomi semacam ini bukannya persoalan sentral dalam wacana filsafat Islam. Leaman mencermati lunturnya corak asal dan universal dari perkara-perkara yang dibahas akibat terjadinya proses penetralan dan pengislaman; kendati masalah-masalah yang dikupas bukannya baru sama sekali, namun perbincangannya dilakukan dalam bahasa yang mencerminkan cara pandang Islami (framed within the language of Islam, within the cultural context of Islamic society). Menurutnya, filsafat Islam itu sudah barang tentu sangat filosofis, senantias hidup dan dinamis, tidak sekadar melanjutkan tradisi sebelumnya, akan tetapi juga membuat terobosan-terobosan kreatif dalam menjawab persoalan-persoalan lama maupun baru: Much Islamic philosophy, like much philosophy of any kind, is just the accretion of new technical representaions of existing issues … new traditions of thinking about problems and resolving difficult conceptual issues.
Argumen serupa diutarakan oleh pakar-pakar filsafat dari Mesir, antara lain Ibrahim Madkour, Musthafa ‘Abdur Raziq, dan ‘Abdul Halim Mahmud. Filsafat Islam itu Islami ditinjau dari empat sisi: pertama, dari segi masalah-masalah yang dibahas; kedua, dari aspek konteks sosio-kulturalnya; ketiga, dari segi faktor-faktor pemicu serta tujuan-tujuannya; dan keempat, dari kenyataan bahwa para pelakunya berada di bawah naungan kekuasaan Islam.
Selain itu, beberapa pakar memutuskan untuk pakai istilah ‘filsafat Muslim’. Mereka adalah Léon Gauthier dalam Introduction a l’étude de la philosophie musulmane (1923) dan Louis Gardet dalam artikelnya, ‘Le problème de la philosophie musulmane’. Demikian juga M.M. Sharif yang memilih istilah Muslim Philosophy untuk judul buku yang disuntingnya. Dalam kata pengantarnya, Sharif menegaskan bahwa filsafat Islam itu sangat luas, meliputi pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Menurutnya, filsafat Islam itu hanyalah satu dari sekian banyak aspek dari peradaban Islam.
Istilah lain yang cukup menarik dilontarkan oleh Harry A. Wolfson lewat karyanya yang berjudul ‘Philosophy of the Kalam’.20 Pakar sejarah teologi ini tercengang melihat betapa seru dan rasionalnya argumen-argumen yang dilontarkan tokoh-tokoh ilmu kalam mulai dari Imam al-Asy‘ari sampai al-Iji. Boleh dikata Wolfson ini sebenarnya menggaungkan kembali apa yang pernah dinyatakan Ernest Renan kira-kira seabad sebelumnya, bahwa filsafat Islam yang sejati itu dapat ditemukan dalam literatur kalam, dimana direkam adu pendapat yang sengit namun rasional antara bermacam-macam aliran pemikiran: “Le véritable movement philosophique de l’islamisme doit se chercher dans le sectes théologiques: Kadarites, Djabarites, Sifatites, Motazélites, Baténites, Talimites, Ascharites, et surtout dans le Kalâm.”
Sumber-sumber dan Pengaruhnya
Terdapat beberapa pandangan berbeda mengenai matriks filsafat Islam. Pandangan pertama menyatakan bahwa filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: ‘It is Greek philosophy in Arabic garb’, kata Renan, De Boer, Gutas dan lain-lain. Pandangan kedua mengatakan bahwa filsafat Islam muncul sebagai reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang telah berkembang pada waktu itu. Menurut pendukung pandangan ini, kaum Muslim banyak mengambil dari dan terpengaruh oleh tradis Yahudi-Kristen. Pandangan ini diwakili oleh Maimonides: “Ketahuilah olehmu bahwa semua yang dilontarkan oleh orang Islam –Mu‘tazilah maupun Asy‘ariyah mengenai masalah-masalah [teologi] ini adalah pandanganpandangan yang didasari pada sejumlah proposisi, yakni proposisi-proposisi yang diambil dari buku-buku orang Yunani dan Syria yang berusaha menyanggah pendapat-pendapat para filosof dan berusaha mematahkan pernyataan-pernyataan mereka.”22 Tidak hanya topiktopiknya, bahkan teknik pembahasan dan argumentasinya pun konon ‘dipungut’ dari seni retorika dan dialektika Yunani, yang kemudian diwarisi dan dilestarikan oleh para tokoh tokoh gereja seperti Justin Martyr, John Philoponus, John Damascenus. Dikatakan bahwa istilah ‘kalam’ adalah terjemah dari ‘dialexis’, ‘diálektos’ dan ‘dialektika’ dalam bahasa Yunani kuno.
Yang ketiga adalah pandangan revisionis yang melihat filsafat Islam sebagai hasil kegiatan intelektual yang wujud sejak kurun pertama Islam. Perbincangan seputar masalah kemahakuasaan dan keadilan Tuhan dihadapkan dengan kemerdekaan dan tanggungjawab manusia merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat Islam yang ketika itu masih disebut kalam. Munculnya kelompok-kelompok Khawarij, Syi‘ah dan Mu‘tazilah yang melontarkan argumen-argumen rasional untuk menopang pendapat masing-masing, selain merujuk ayatayat al-Qur’an, berperan besar dalam mendorong perkembangan pemikiran filsafat Islam. Ahli sejarah merekam misalnya sepucuk surat yang ditulis al-Hasan al-Basri sebagai jawaban kepada Khalifah perihal qadha dan qadar, dimana beliau menangkis argumen kaum fatalis maupun kelompok rasionalis sekular. Perdebatan seru menyusul di abad-abad selanjutnya antara pelbagai aliran pemikiran, berkisar kedudukan logika, masalah atom, ruang hampa, masa, dan yang tak terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan Tuhan serta keazalian dan keabadian alam semesta.24 Pandangan revisionis ini diwakili antara lain oleh M.M. Sharif dan Alparslan Acikgenc.25 Menurut mereka, filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan berhenti dengan kematian Ibn Rusyd. Sebagai produk dialektika unsur-unsur internal Umat Islam itu sendiri, bangunan filsafat Islam dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Qur’an yang menduduki posisi sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum Muslim.
Memang, dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan filsafat Islam seringkali dimarginalkan dan direduksi, atau bahkan diabaikan sama sekali. Menurut para sejarawan filsafat seperti Hegel, Coplestone, atau Russell, kalau pun ada merit-nya maka itu pun amat kecil dan insignifikan, sebatas menampung dan melestarikan warisan pemikiran Yunani kuno untuk kemudian meneruskannya kepada orang-orang Barat yang saat itu masih berada di Zaman Kegelapan, atau sekadar menjadi “jembatan peradaban” (Kulturvermittler) _ meminjam istilah sejarawan Eropa.
Padahal, jika ditelusuri dan diteliti karya-karya mereka, para filsuf Muslim bukan semata-mata membeo atau sekadar mereproduksi apa yang mereka pelajari dari khazanah pemikiran Yunani kuno. Mereka tidak reseptif-pasif, tidak menerima bulat-bulat atau menelan mentah-mentah tanpa resistensi dan sikap kritis, sebagaimana diklaim oleh De Boer, Richard Walzer, Simon van den Bergh dan sebangsanya. Sebaliknya, para pemikir Muslim telah mengupas dan mengurai, melakukan analisis dan elaborasi, menjelaskan dan menyanggah, mengkritik, memodifikasi dan menyaring, mengukuhkan dan menambahkan, memperkenalkan konsep-konsep baru, atau menyuntikkan makna baru pada istilah-istilah yang sudah ada, dan menawarkan solusi-solusi baru untuk persoalan-persoalan perennial dalam filsafat.
Disamping berhasil melahirkan sintesis cemerlang dan membangun sistem pemikiran tersendiri, para filsuf Muslim terutama berhasil mengakomodasi khazanah keilmuan Yunani kuno dalam kerangka pandangan hidup (Weltanschauung) Islam. Dengan kata lain, mereka berhasil mengislamkannya dalam arti yang sesungguhnya.
Untuk Apa Filsafat Islam ?
Mungkin masih banyak yang bertanya-tanya apa pentingnya kita mempelajari filsafat Islam. Setidaknya ada beberapa jawaban yang bisa kita kemukakan bagi pertanyaan ini, terutama bila kita ingat bahwa tidak sedikit dan sudah sejak lama orang-orang Eropa yang nota bene bukan Muslim pun dengan serius mempelajari dan mengajarkan filsafat Islam. Begitu pula jika pertanyaan tersebut dibalik: apa sebab orang-orang Islam tertarik mempelajari filsafat dan pelbagai cabang ilmu pengetahuan dari peradaban Yunani, Persia, India kuno yang nota bene bukan Islam itu. Jawabannya antara lain sebagai berikut:
1. Aspek universal – progress of human thought
2. Hikmah yang hilang – perintah mencari ilmu sampai ke negeri Cina
3. Kecenderungan alami: the desire to know
4. Aspek pragmatis: rational explanation of faith