Oleh: Ishom Mudin
Inpasonline.com-‘Bîmâristân’ adalah sebutan untuk rumah berobat pada zaman keemasan Ilmu Pengetahuan Islam. Istilah modernnya disebut ‘Rumah Sakit’ atau ‘al-Mustasyfa”. Dalam lembaran sejarah, di dunia Islam telah membangun rumah sakit berlevel tinggi. Mulai desain bangunan hingga manajemen pengelolaan, sekaligus menjadi fakultas-fakultas ilmu kedokteran. Bîmâristân melahirkan dokter-dokter handal dan mencetuskan berbagai karya dalam bidang kedokteran. Inilah yang menginspirasi teknologi kedokteran di Barat sekarang.
Titik Awal
Embrio rumah sakit telah dicetuskan sendiri oleh Rasulullah saw. Dalam perang khandak, telah dibangun pos kesehatan bagi sahabat yang terluka. Sa`ad Bin Muadz adalah salah satu pasien yang terluka pada bagian urat nadi di tanganya. Harits bin Kaladah adalah salah seorang dokternya, salah seorang lulusan sekolah Jundisabur yang sudah didirikan oleh Kisra pada Abad ke-6 M. Jika para sahabat ada yang jatuh sakit, Rasulullah mempersilahkan para sahabat untuk berobat kepadanya. Selanjutnya, ‘Bîmâristân’ didirikan secara resmi oleh Khalifah Walid Bin Abdul Malik. Jumlahnya semakin meningkat. Bisa dikatakan, ada di setiap pusat-pusat daerah. Di Cordoba sendiri ada berbagai jenis rumah sakit yang jumlahnya sekitar lima puluh buah.
Desain dan Pengelolaan
Dr Mushthafa As-Siba`i menggambarakan desain dan pengelolaan secara teliti dalam bukunya “Min Rawai` Hadlaratina”. Sejak awal para dokter memilih tempat yang baik untuk pembangunan rumah sakit. Misalnya saja, rumah sakit Adhudi Baghdad yang dibangun oleh Daulah Bin Buwaih tahun 371 H. Untuk mengetahui kondisi kebersihan lingkunganya, dokter ar-Razy menempatkan empat buah daging mentah selama satu malam di beberapa penjuru. Setelah pagi tiba, tempat daging yang paling segar dipilih sebagai tempat pilihan berdirinya Rumah sakit. Ini sebuah tanda bahwa dilingkungan yang bersih, pasti sedikit kuman yang memakan daging itu.
Adapun pengelolaan di mayoritas seluruh ‘Bîmâristân’ sebagai berikut. Laki-laki dan perempuan dirawat di ruangan berbeda. Ruangan pun di desain sesuai dengan berbagai jenis penyakitnya. Ada ruangan penyakit dalam seperti sakit mata, jantung, tulang. Ada pula khusus penyakit bagian luar. Setiap bagian terdiri dari para dokter dan dikepalai dokter ahli yang biasa disebut dengan ‘Sa`ur’. Kamar-kamar, perabotan dan alat-alat kesehatan tertata dengan sangat bersih dan steril. Pembersihan ini dilakukan oleh beberapa pegawai dengn gaji tertentu. Dalam setiap ‘Bîmâristân’ terdapat apotik yang berisi berbagai macam obat-obatan.
Penangan pasien dilakukan dengan penuh perhatian. Jika penyakitnya tergolong ringan, maka dia cukup diperiksa dan diberi obat. Namun, jika butuh opname maka namanya akan dicatat, dibersihkan di kamar mandi, diberi pakaian khusus, dan ditempatkan di ruangan sesuai jenis peyakitnya. Pemberian makanan dengan piring dan gelas berbeda dan tidak boleh digunakan pasien lain. Khusus ‘Bîmâristân’ al-Manshuri yang didirikan Raja Malik Mansur Syaifuddin tahun 683 H, mereka memperdengarkan syair merdu atau mendatangkan pendongeng pada pasien. Suara adzan pun dilantunkan dengan merdu yang bersebelahan dengan ‘Bîmâristân’ ini.
Dalam tahap penyembuhan, pasien akan dipindahkan diruangan khusus. Untuk mempercepat proses penyembuhan, pihak ‘Bîmâristân’ akan melakukan pertunjukan komedi. Jika telah benar-benar sembuh maka dia diberi pakaian baru dan uang ‘pesangon’ sampai pasien tersebut benar-benar bisa bekerja dan beraktifitas secara normal. Namun, jika meninggal akan dikafani dan dikebumikan secara terhormat. Model ‘service’ seperti ini berlanjut di Mesir hingga Tahun 1798 M yang membuat orang prancis berdetak kagum.
Bukan Dokter Sembarangan
Para dokter di ‘Bîmâristân’ harus melewati seleksi ketat. Pada masa Khalifah al-Muqtadir tahun 319 H, pernah terjadi kesalahan pengobatan yang mengakibatkan pasien meninggal. Maka Khalifah memerintahkan Sinan Bin Tsabit sebagai dokter ahli untuk menguji seluruh dokter di Baghdad yang mencapai 860 orang. Hanya dokter pribadi Khalifah dan khadim Negara yang tidak diuji. Secara umum, seorang dokter harus mengadakan peneletian dan diujikan kepada dokter yang lebih ahli. Apabila dia lulus maka dia boleh mengobati pasien di rumah sakit tertentu.
Para dokter tersebut juga sewaktu-waktu mendapat tugas ke berbagai tempat. Seorang kepala daerah bernama Wazir Bin Isa Ali al-Jarrah pernah mengirimkan surat ke Sinan Bin Tsabit, kapala dokter di Baghdad. Uangkapnya “aku khawatir terhadap kondisi para tahanan dipenjara, mereka pasti banyak terserang penyakit karena tempatnya kotor”. Wazir meminta para dokter untuk memeriksa mereka perpekan. Ini berarti, dalam Islam tahanan harus diperlakukan secara “manusiawi”, apalagi ketika jatuh sakit.
Dalam surat Wazir juga terdapat perminataan mengirimkan dokter ke berbagai daerah terpencil yang belum ada dokternya. “Aku juga khawatir dengan penduduk desa, diantara mereka pasti ada yang terserang penyakit, di sana tidak ada dokter”. Dokter tugas tersebut diminta tinggal beberapa waktu tertentu hingga digantikan oleh dokter yang lain. Ada pula yang bertugas di ruang pengobatan Masjid. Sejarawan al-Maqrizy menceritakan, biasanya dalam setiap jum`at mereka menunggu para jama`ah yang butuh untuk pengobatan di Masjid Mesir.
Sebuah kisah menarik tentang seorang pasien palsu. Melihat kualitas pelayanan dan keahlian beberapa dokter di ‘Bîmâristân’ an-Nuri, didirikan oleh Sulthan Malik Adil Nuruddin tahun 549 H, ada orang asing pura-pura berobat dan minta diopname. Setelah diperiksa denyut jantungnya, para dokter tahu kalau dia hanya berpura-pura dan ingin menguji mereka. Resep makanan lezat pun dibuatkan. Dia pun mendapatkan perawatan sebaimana pasien lain. genap tiga hari, dokter berkata kepadanya “menjamu tamu bagi kami orang Islam adalah tiha hari”. Pasien palsu itupun tahun malu penyamaranya diketahui.
Fakultas Kedokteran
Selain sebagai rumah berobobat, ‘Bîmâristân’ berfungsi sebagai sekolah kedokteran. Ada ruangan khusus yang digunakan oleh para dokter untuk kegiatan belajar mengajar. Bukan hanya belajar, mereka juga melihat dokter senior bagaiamana cara menangani pasien. Seabagaimana ungkap Ibn Abi Ushaibiyah, salah seroang dokter di ‘Bîmâristân’ an-Nuri Damaskus yang dikutip Dr. Mushthafa As-Siba`i: “Setelah aku melihat Hakim Muhadzzib ad-Din dan Hakim Imran mengobati pasien rawat inap di ‘Bîmâristân’, aku duduk bersama Syiah Radli ad-Din ar-Rahby, aku mencermati bagaimana dia mendiagnosa penyakit, berbagai anailisa beriktut cara mengobatinya. Aku juga berdiskusi tetang berbagai penyakit dan cara menyembuhkanya”
Para dokter dalam Islam telah melahirkan berbagai karya. Berikut akan disebutkan sebagian kecil saja. ‘al-Qanun fi at-Thib’ Buku ini menjadi buku induk di eropa hingga abad 18. Komentar-komentar manuskrip Galen tentang kesehatan ‘De Compositione Medicamentorum Secundum Locos Libri” oleh Hunain Bin Ishak dalam “al-Maqalat”. “al-Mahish” Abu Bakar ar-Razy diantara pembahsanya yang menerangkan struktur urine. “al-Hawi” Abu Bakar ar-Razy, sebagaimana yang ditulis dalam muqaddimah “dinamakan al-Hawi karena memuat keterangan tabib-tabib kuno tentang seluk beluk penyakit dan cara mengobatinya”. “Talkhis Kitab Hilah al-Bara” Abu Musa Bin AbdullaH al-Qurthubi, merupakan buku ringkasan karya Galen. “Fih al-Fawaid” Ali Ibn Ridlwn.
Analisa Perbandingan
Kondisi rumah sakit eropa pada masa ‘dark ages’ sangat memprihatinkan. Max Turdeau dan Tenon menggambarkan rumah sakit Atutille Dieux Paris sebagai dikutip Dr. Mushthafa As-Siba`i: “Serambi-serambinya pengap, tidak berventilasi. Ada sekitar 800 pasien tidur terlentang, bertindihan, anak-anak kecil berdampingan dengan orang tua. Perempuan berbau dengan laki-laki. Perempuan kritis mau melahirkan disamping anak-aak terserang ‘typhus’. Pasien ‘korengen’ menggaruk nanah di kulit dan menetes di selimut. Kasur-kasur berbau dan menjadi sarang serangga. Sehingga perawat yang masuh menutup hidugnya dengan bunga karang bercuka di hidung mereka”. Inilah gambaran singkatnya.
Para dokter Eropa pun kurang mengetahui tekhnik pengobatan. Laporan Usamah bin Munqidz dalam kitab “al-I`tibar” bisa dijadikan acuan. Penguasa al-Manaitaharah meminta mengirimkan dokter bernama Tsabit untuk mengobati beberapa tentara yang terkena bisul. Tsabit hanya memberikan air hangat pada prajurit hingga bisu pecah. Di satu sisi Tsabit heran melihat dokter tentara salib, dia berkata kepada pasien lain “mana yang kau pilih, hidup dengan satu kaki atau mati dengan dua kaki ?”. Prajurit lain menjawab “hidup dengan satu kaki”. Akhirnya dokter itu menyuruh memotong kakinya. Darah mengalir deras pada tebasan pertama. Karena belum putus, patas di tebas sekali lagi. Akhirnya prajurit bisulan itu mati dengan kaki terputus. Inilah gambaran rumah sakit dan dokter Barat waktu itu.
Kesimpulan
Walhasil, kecanggihan kedokteran Islam mendahului barat. Sistem pengobatan dan pelayanan dilaksanakan secara manusiawi berdasarkan bimbingan Ilahi. Hal ini karena Islam sangat memperhatikan kesehatan. Penggalan hadits Nabi ‘perhatikan masa sehatmu sebelum masa sakitmu’. Namun, saat ini Barat telah bangkit dan menjadi pusat peradaban. Di satu sisi, peradaban Islam tenggelam menjadi bagian dari zaman. Pemaparan kembali sejarah keemaasan Islam bukan berarti seperti kelompok ‘romantisisme’ yang membangga-banggakan kesuksesan nenek moyang hanya bisa berpangku tangan. Sejarah kesuksesan ini sengaja dihadirkan agar bisa diambil pelajaran. Setidaknya ada usaha dan harapan.