Pada tahun 1432 H ini, ada sebuah langkah maju yang telah dilakukan oleh pemerintah, yaitu dengan menyiarkan secara langsung keseluruhan acara sidang itsbat yang dipimpin langsung oleh Menteri Agama RI, Suryadharma Ali. Sayangnya, sidang tersebut tidak berhasil menelurkan sebuah keputusan yang mengikat seluruh umat Muslim, karena pada akhirnya ada dua pendapat yang tidak dapat dipersatukan, yaitu yang merayakan 1 Syawal pada tanggal 30 Agustus dan 31 Agustus 2011. Muhammadiyah secara resmi telah meminta ijin untuk menetapkan 1 Syawal pada tanggal 30 Agustus, sedangkan yang lainnya sepakat bahwa Hari Raya ‘Idul Fithri jatuh pada tanggal 31 Agustus karena hilal belum kunjung terlihat.
Kerumitan yang sudah terjadi semakin diperparah dengan adanya ‘kebebasan bicara’ yang begitu bebas di era informasi ini. Begitu bebasnya, sehingga masyarakat awam tidak lagi khawatir untuk meneruskan segala berita yang sudah diterimanya, tanpa merasa perlu mengecek kebenarannya. Padahal, dalam salah satu hadits, Rasulullah saw pernah menjelaskan bahwa seseorang sudah bisa dianggap sebagai pembohong jika ia menceritakan apa saja yang telah didengarnya. Jika Hari Raya ‘Idul Fithri 1 Syawal – yang sering digadang-gadang sebagai ‘Hari Kemenangan’ – justru menjadi hari ketika para malaikat mencatat sekian banyak Muslim sebagai pendusta, aduhai betapa mengenaskannya…
Salah satu kebohongan yang beredar adalah informasi yang menyatakan bahwa Menteri Agama RI telah meminta maaf karena kesalahannya dalam menentukan 1 Syawal. Berita ini disambut dengan penuh gembira oleh sebagian Muslim yang merayakan ‘Idul Fithri pada tanggal 30 Agustus, atau mereka yang terlanjur berhari raya pada tanggal 31 namun hatinya sebenarnya tidak menyukai pemerintah karena alasan-alasan yang tidak relevan dengan masalah ini. Perkembangan berikutnya, muncul pula informasi bahwa pemerintah Arab Saudi juga meminta maaf karena salah memutuskan Hari Raya dan membayar ganti rugi sekian miliar dolar untuk seluruh rakyatnya. Tentu saja, informasi ini pun disambut gegap gempita oleh mereka yang berhari raya pada tanggal 31, karena Arab Saudi berlebaran pada tanggal 30. Pendek kata, kedua berita ini adalah dusta. Bagi yang telah ikut menyebarluaskannya, mudah-mudahan Allah SWT menerima taubatnya (jika benar-benar bertaubat).
Melihat kompleksitas masalah yang semacam ini, Institute for Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) berinisiatif mengadakan sebuah acara yang diberi tajuk “Silaturrahim INSISTS dan Bincang-bincang tentang Hisab dan Rukyat”. Acara digelar pada hari Sabtu, 10 September 2011, pukul 13.00 – 17.00 WIB, di Kantor Pusat Gema Insani Press (GIP), Jl. Ir. H. Juanda, Depok. Yang hadir sebagai narasumber adalah ust. Suwito Suprayogi, Lc. (pakar hisab dan rukyat dari Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia / DDII) dan dimoderatori langsung oleh Dr. Adian Husaini. Melalui acara silaturrahim ini, INSISTS berusaha menjajaki kemungkinan untuk dilakukannya penyamaan visi dan kriteria dari masing-masing ormas Islam di Indonesia, agar kelak umat Muslim di tanah air dapat menikmati lebaran bersama-sama. Dalam acara ini, turut hadir juga dua orang ahli lainnya, yaitu Ust. Farhat Umar (rektor Universitas Sahid) dan Ust. Adnin Armas (peneliti INSISTS dan anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah), yang masing-masing telah menyampaikan pandangannya.
Ada beberapa catatan yang dapat saya buat dari uraian para ahli dalam acara Silaturrahim INSISTS tersebut yang kiranya menarik untuk kita ketahui bersama. Catatan-catatan ini tidak dibuat secara sistematis dan tidak bertujuan untuk menjelaskan secara terperinci permasalahan hisab dan rukyat tersebut, melainkan sekedar ingin menggarisbawahi beberapa fakta menarik yang biasanya tidak diketahui oleh masyarakat awam dan mungkin berguna untuk membantu kita untuk menghargai kompleksitas masalah yang terjadi dalam hal ini. Selain itu, untuk menjelaskan secara utuh teori-teori tentang hisab dan rukyat tentu dibutuhkan sebuah pemaparan yang sangat panjang dan komprehensif.
Ust. Suwito, yang telah makan asam dan garam selama bertahun-tahun dalam masalah hisab dan rukyat ini, memulai uraiannya dengan sebuah kisah tentang pengalamannya ketika berlebaran di Arab Saudi. Ketika itu, Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan kapan jatuhnya tanggal 1 Syawal berdasarkan rukyat yang telah dilakukannya. Tidak berapa lama, pemerintah pun memberikan koreksi, karena ternyata ada kesalahan dalam proses rukyat tersebut. Maka Pemerintah Arab Saudi pun mengumumkan kesalahan tersebut dan menghimbau warganya untuk meng-qadha shaum sebanyak 1 hari. Masalah selesai, semua maklum. Tak ada yang protes, apalagi menghujat.
Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Arab Saudi telah sadar betul siapa pemerintahnya; mereka tidak lain hanyalah manusia biasa sebagaimana diri mereka sendiri. Ruang untuk melakukan kesalahan sangatlah terbuka dan manusia memang wajar jika sesekali melakukan kekhilafan. Tidak ada juga yang bertanya-tanya, apakah mereka berdosa karena telah berbuka, padahal seharusnya masih shaum. Tidak ada yang berspekulasi bahwa semua dosa ditanggung oleh pemerintah. Pendeknya, retorika-retorika di Indonesia tidak muncul di sana. Bahkan tak ada yang bicara soal dosa, sebab menurut syariat memang tidak ada yang berdosa. Pemerintah yang khilaf tidaklah berdosa, dan masyarakat yang mengikuti ulil amri tidaklah berdosa. Cukup meng-qadha shaum 1 hari, selesai semua masalah.
Dalam pengalaman rukyat tahun ini, ada yang mengaku melihat hilal, namun kesaksiannya ditolak. Hal ini mengandung kontroversi, karena menurut contoh Rasulullah saw dahulu, jika ada yang mengaku melihat hilal, maka ia seharusnya disumpah, dan kesaksiannya pun diterima. Namun ada beberapa kasus yang dipaparkan oleh ust. Suwito untuk menggambarkan bahwa masalahnya tidak sesederhana itu.
Kesaksian di Cakung, misalnya, adalah kesaksian yang langsung ditolak. Alasan paling utama adalah karena menurut perhitungan astronomis – yang telah dapat dilakukan dengan sangat akurat kini – pada hari itu Bulan baru mencapai posisi kurang dari dua derajat. Tambahan lagi, posisi Bulan pada saat itu adalah ke arah Selatan. Artinya, dari titik pengamatan di Cakung, pengamat tidak melihat ke arah laut, melainkan ke arah Jakarta. Ust. Suwito mengingatkan bahwa pengamatan ke arah Laut Jawa di sekitar Jakarta pun sudah cukup menyulitkan, karena ada begitu banyak kapal laut yang hilir mudik, sedangkan lampu sorot dari kapal yang diarahkan ke awan kadang-kadang bisa salah dipahami sebagai hilal. Jika pengamatannya ke arah kota Jakarta, maka masalahnya akan semakin runyam, karena di Jakarta ada begitu banyak gedung tinggi dan sumber cahaya. Maka, tanpa mempertanyakan kejujuran para pengamat di Cakung, kesaksiannya tetap ditolak.
Bertahun-tahun yang lalu, ada sebuah kejadian yang mendapat catatan khusus dari ust. Suwito, yaitu ketika Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim memutuskan hari lebaran yang berbeda dengan pemerintah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sendiri. Ketika itu, ada yang melapor telah melihat hilal di salah satu kota di Jawa Timur. Saksi tersebut kemudian disumpah, dan kesaksiannya diterima. Maka keesokan harinya, berlebaranlah warga NU Jatim, sementara warga NU di daerah-daerah lainnya tetap mengikuti PBNU yang menetapkan Hari Raya sama dengan pemerintah.
Sehari sesudahnya, MUI mengundang pihak PWNU, terutama saksi pelapor hilal tersebut, untuk melakukan rekonstruksi proses rukyat yang sudah dilakukannya. Sebelum matahari terbenam, alat-alat yang dibutuhkan telah dipasang mengikuti arah yang ditunjuk oleh saksi. Sebenarnya, ketika saksi menunjuk arahnya pun, para ahli rukyat telah menyadari kesalahannya. Alhasil, ketika Bulan benar-benar muncul terlihat jelas bahwa arahnya sangat berbeda dengan yang ditunjuk oleh saksi. Artinya, yang dilihatnya kemarin pastilah bukan hilal, karena Bulan takkan berpindah tempat secara drastis dari Utara ke Selatan atau sebaliknya dalam semalam saja.
Melihat hilal memang membutuhkan suatu keahlian tertentu. Sebab, ketika hilal baru muncul, bisa jadi tidak dalam bentuk sabit sempurna, melainkan hanya seberkas garis saja. Adakalanya cahaya dari planet-planet lain pun disangka hilal, jika kita tidak berhati-hati. Ust. Suwito juga menjelaskan bahwa para ahli astronomi sudah memiliki semacam peta yang dapat digunakan untuk memprediksi di arah mana Bulan akan muncul. Jika posisinya agak ke Selatan, maka semua teleskop sejak awal sudah diarahkan ke sana, sehingga pengamat hilal tak perlu mencari-cari terlalu jauh. Di sisi lain, sampai sekarang masih ada saja yang mencari hilal tanpa tahu di mana Bulan akan muncul. Hal-hal semacam itulah yang menciptakan kekeliruan sebagaimana pernah terjadi dalam kasus PWNU Jatim tersebut. Hal yang sama pun masih terjadi di masa kini, bahkan bahayanya semakin besar karena pertukaran informasi di jaman sekarang telah sedemikian cepat. Jika ada yang mengatakan bahwa hilal telah terlihat di suatu tempat, banyak orang yang akan dengan mudah percaya saja tanpa mengecek sumber informasinya, apalagi mengecek pengetahuan dan teknologi yang digunakan oleh mereka yang mengaku telah melihat hilal tersebut.
Ust. Suwito juga menyayangkan pemahaman umat Muslim Indonesia yang terlalu simplistis, sehingga perbedaan waktu selama 4 jam antara Indonesia dan Arab Saudi serta posisi Indonesia yang lebih Timur daripada Arab Saudi membuat banyak orang menarik kesimpulan yang terlalu sederhana. Menurut asumsi mereka, Indonesia pasti akan melihat hilal duluan, karena posisinya yang lebih ke arah Timur. Maka, jika Arab Saudi sudah melihat hilal, itu artinya di Indonesia pun sudah terlihat hilal. Menurut ust. Suwito, hal ini memang benar, jika hilal berada di sisi Timur Indonesia. Namun jika posisinya di Barat Indonesia, maka jarak antara hilal di Arab Saudi dengan di Indonesia bukan lagi 4 jam, melainkan 20 jam, dan hilal akan terlihat lebih dulu di Arab Saudi.
Ust. Adnin Armas, sebagai anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah, menyampaikan sebuah pandangan yang sangat menarik, karena beliau sendiri pada akhirnya tidak setuju dengan keputusan akhir yang diambil oleh Muhammadiyah. Ada beberapa argumen yang digunakan oleh Muhammadiyah yang menurutnya lemah, dan pada dasarnya Muhammadiyah sendiri senantiasa siap untuk mengkaji ulang dan memperbaharui segala ijtihad-nya, termasuk dalam hal hisab ini.
Ust. Farhat Umar menambahkan bahwa umat Muslim harus memahami pentingnya membedakan antara dalil, fakta dan asumsi. Dalam perhitungan yang melibatkan perbedaan waktu semacam ini, kita memang harus memahami bahwa garis 180 derajat Bujur Timur adalah kesepakatan belaka. Ust. Suwito pun menambahkan dengan menyatakan bahwa garis 180 derajat Bujur Timur itu pada kenyataannya memang tidak lurus, semata-mata untuk menyamakan waktu di suatu wilayah yang kebetulan dilintasi oleh garis imajiner tersebut. Masih banyak kesepakatan-kesepakatan lainnya yang membuat perhitungan waktu menjadi tidak sesederhana yang dipahami oleh masyarakat awam. Oleh karena itu, rukyat global masih perlu dikaji kembali, sedangkan sistem yang dapat diandalkan sekarang adalah itsbat berdasarkan wilayah (wilayatul hukmi).
Ada pula kasus-kasus penipuan yang perlu menjadi perhatian. Ust. Suwito menjelaskan bahwa dahulu pernah ada laporan bahwa hilal terlihat di Cakung, dan dalam waktu yang sangat singkat telah beredar surat yang menyatakan bahwa DDII telah memutuskan jatuhnya 1 Syawal berdasarkan laporan rukyat tersebut. Setelah diteliti, ternyata tanda tangan yang tertera dalam surat tersebut adalah palsu belaka. Jika kita bercermin pada kejadian masa kini, pada tanggal 29 Agustus malam pun telah beredar informasi melalui broadcast message Blackberry yang menyatakan bahwa hilal sudah terlihat, padahal sidang itsbat belum lagi selesai. Kasus semacam ini pun perlu menjadi perhatian kita bersama.
Dr. Adian Husaini juga ikut menambahkan bahwa pada kenyataannya memang terbuka peluang untuk merayakan lebaran pada hari yang berbeda. Dalam hal ini, Islam telah bersikap sangat ‘toleran’, baik terhadap perbedaan kondisi hilal di masing-masing daerah, juga terhadap kemungkinan kesalahan yang dilakukan manusia dalam melakukan hisab dan rukyat. Oleh karena itu, sejak jaman Rasulullah saw pun pernah terjadi dua wilayah yang berlebaran pada hari yang berbeda. Akan tetapi, tidak pernah ditemui adanya dua Hari Raya pada tanggal yang berbeda di suatu wilayah yang sama. Di masa kini, batasan-batasan pun semakin renggang karena sarana komunikasi yang semakin maju. Jika di jaman Rasulullah saw bisa dianggap wajar dua kota yang berlebaran pada tanggal yang berbeda, maka kini kita bisa menggagas penyamaan Hari Raya minimal pada satu negara yang sama, sebab kondisi hilal sudah dapat diperkirakan dengan perhitungan-perhitungan dan teknologi yang kita miliki sekarang.
Bagiamana pun, misi besar di balik diskusi ini masih jauh dari selesai. Oleh karena itu, INSISTS pun berencana untuk mengadakan acara silaturrahim berikutnya dengan mengundang para ahli yang berkompeten dalam masalah hisab dan rukyat ini dari masing-masing ormas Islam, baik dari Muhammadiyah, NU, Persis, DDII, PKS, FPI, MMI dan yang lainnya. Mudah-mudahan, jika ajang silaturrahim ini digelar secara intens, akan terbuka dialog yang sehat dari masing-masing ormas sehingga umat Muslim Indonesia bisa bersatu, mulai dari persatuan dalam ber-Hari Raya. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin…
wassalaamu’alaikum wr. wb.
Last modified: 14/09/2011