Anomali Tren Berpikir ‘Humanis’

Written by | Opini

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

HumanityInpasonline.com-Globalisasi dan modernisasi pada saat ini merupakan realitas yang tidak bisa dihindari. Namun kata Anthony Giddens, globalisasi lebih dari sekedar pengenalan budaya Barat ke seluruh dunia. Globalisasi katanya merupakan proses tidak seimbang, bermuatan arogansi dimana budaya lain dianggap tidak ada (Anthony Giddens,Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas, hal. 232).

Giddens menyimpulkan seperti itu karena melihat fakta modernitas telah menjadi gaya hidup (life style) manusia. Kita di Indonesia, juga ikut-ikutan life style dari Barat ini. Pada level yang sederhana, masyarakat lebih menyukai memakai celana dan kaos oblong daripada sarung. Istilah ‘kaum sarungan’ pelan-pelan dipersepsikan sebagai komunitas masyarakat pedesaan, tidak modern, terbelakang dan lain sebagainya. Orang Jawa lebih pede memakai topi koboi dari pada blankon jika keluar rumah. Karena tren yang pantas dipakai zaman ini adalah topi bukan blankon. Padahal, sebetulnya orang memakai blankon tidak mengurangi kecerdasan. Muslim yang memakai sarung juga tidak menjadikan dia miskin.

Persoalannya bukan pada soal tren mode pakaian modern itu, tapi logika berpikir, cara menyikapi sesuatu dan gaya berperilaku ala modernism. Richard Rorty dan Gianni Vattimo dalam The Future of Religion membuat tesis, masyarakat modern atau pasca modern itu keagamaannya non-theism. Dalam tataran praktik, masyarakat dianggap sudah ‘beragama’ jika perilakunya humanis, meskipun mencela Tuhan.

Anthony Giddens menulis, modernitas dan globalisasi itu bagaikan panser penghancur budaya lain. Mau jadi modern harus humanis. Menjadi humanis tidak harus taat Tuhan. Di masyarakat Muslim Indonesia sudah jamak dijumpai orang yang ikut-ikutan tipe berpikir ini dengan membela-bela ‘kemanusiaan’ itu meskipun tidak religius.

Masyarakat kita — melalui corong-corong media — dididik untuk menjadi masyarakat yang humanis, tapi kurang edukasinya tentang agama. Jika jargon ‘kemanusiaan’ diangkat, maka menjadi daya tarik setiap elemen negara. Tapi jika agama yang diangkat, maka sepi respon dari masyarakat. Seakan-akan hari ini agama (Islam) itu tidak humanis. Dan yang humanis sudah pasti sholeh, religius dan baik. Islam dan humanis seperti dipertentangkan. Inilah tren masyarakat hari ini.

Akibat mindset global ini, apapun perisitwanya, yang salah adalah agama (Islam). Masjid dibakar, Muslim yang dianggap keliru. Gereja dirobohkan, Muslim yang salah. Sementara masyarakat awamnya hanya berpikir sederhana, minoritas tidak punya kekuatan itu kasihan sekali, dibakar, tidak boleh berdakwah dan lain sebagainya. Mereka juga ikut-ikutan berkomentar, orang-orang Islam itu keras, radikal dan tidak humanis.

Padahal, minoritas di sini bersifat lokal. Secara global, mereka mayoritas dengan dukungan negara-negara kapitalis. Yang Muslim, mayoritas secara lokal, tapi minoritas secara global. Padahal, di era modern cara melihatnya secara global. “Think globally”, berpikir secara global.

Jika masyarakat Indonesia mau berpikir secara lokal, maka mestinya memperjuangkan kemanusiaan itu dengan mengikuti konstitusi lokal. Isu agama ini sangat sensitif di masyarakat kita. Jika negara tidak mengatur, dipastikan terjadi chaos.

Persoalan krusial Islam di Indonesia adalah Islam atau Muslim dituduh melakukan kekerasan terhadapa kaum minoritas. Media-media Islam terlalu provokatif jika memberitakan ada oknum-oknum beragama Islam. Kekerasan lain dimana kaum Muslim menjadi korbannya sepi diberitakan.

Menyembah dan pergi ke tempat ibadah memang hak dasar setiap manusia beragama. Namun, supaya hak dasar dicukupi secara tertib, harus ada aturan dan konstitusi yang menertibkan. Bayangkan jika tidak ada konstitusi yang menertibkan, umat beragama akan berlomba-lomba secara liar mendirikan tempat ibadah.

Jika kita hendak mengambil tabungan uang di Bank misalnya, itu adalah hak kita. Tapi dengan antre, pengambilan uang menjadi tertib. Hidup ini bukan sekedar bebas memenuhi hak dasar kemanusiaan, tapi juga bagaimana hidup ini tertib dan teratur.

Beda manusia dengan hewan itu adalah, hewan tidak menyukai ketertiban untuk memenuhi hak dasar. Sementara manusia yang punya akal dan hati mengambil hak dasarnya secara tertib. Ayam jika diberi makan akan berebut, bahkan kalau perlu bertarung dengan sesamanya. Manusia punya budaya antre untuk mengambil makanan. Kita ini manusia bukan ayam. Apalagi kita ini katanya bangsa yang religius.

Maka, cukup aneh rasanya ada usulan mencabut peraturan pendirian tempat ibadah dengan alasan ‘demi kemanusiaan’, ‘demi memenuhi hak dasar manusia’. Kita akan kembali kebada tradisi hewani, meninggalkan budaya manusiawi.

Masyarakat Indonesia juga sudah banyak yang ikut-ikutan ‘modernis ala Barat’. “Sudahlah, itu urusan agama. Sama-sama baik. Yang penting berlomba melakukan kebaikan membangun bangsa”. Banyak kita jumpai Muslim awam yang nyerempet-nyerempet pada pluralism begini. Kita ini terlalu lama dan terlalu banyak dihegemoni modernitas Barat. Sehingga hal-hal seperti ini terkadang dianggap biasa-biasa saja, menjadi trend dan tidak aneh.

Sudah saatnya nilai humanis itu dibangun berdasarkan agama dan nilai ketuhanan. Dalam dakwah, umat Islam di Indonesia perlu memperhatikan dua hal; fikih dakwah dan fikih ahkam. Fikih dakwah, meliputi metode menyampaikan. Seperti dicontohkan para dai walisongo menggunakan cara-cara damai dan kreatif. Namun, mereka juga menerapkan fikih ahkam. Yakni memperhatikan mana yang furu dan ushul. Sehingga dakwahnya tidak menyesatkan.

Hukum Islam itu sangat manusiawi. Tujuan syari’at dalam menetapkan hukum itu ada lima; yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (Imam al-Ghazali, Al Mustashfa, hal. 275). Pada intinya, syari’at bertujuan menghindarkan manusia dari segala hal yang merusakkan. Merusak jiwa, harta, keturunan, akal dan agama.

Hukum Islam adalah petunjuk jalan kebenaran, bukan tali yang mengikat ruang gerak manusia. Syari’ah semuanya bersifat adil, semuanya rahmat, maslahat dan berhikmah. Ketika timbul benih-benih yang memantik kerusakan maka kesalahan itu bukan terletak pada teks syari’ah tapi pada pemahaman yang salah terhadap teks (nash).

Syari’at itu secara konstan dibangun di atas konsep tauhid, bukan humanisme. Tapi syari’ah dan tauhid itu tidak berarti tidak ‘humanis’. Justru tauhid yang benar – seperti kata Isma’i Raji al-Faruqi – mengimplikasikan kepada sikap beradab dan berakhlak dalam setiap aspek kehidupan. Seperti, adab kepada sains, seni, ekonomi, diri, dan masyarakat secara umum (ummah).

Maka, semestinya, seorang muslim bertauhid itu humanis. Dan seorang humanis harus bertauhid, tidak sekular. Sebab, menurut al-Faruqi, Islam tidak mengenal predikat ‘religius-sekular’, karena seorang religius pada saat yang sama menjadi sekular, baginya, tidak mungkin (Isma’i Raji al-Faruqi, Tauhid, 62).

Last modified: 20/10/2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *