Al-Hikam, bukan Hanya Luar Biasa

Written by | Pemikiran Islam

Oleh: Moh. Isom Mudin

al-hikamInpasonline.com-Karya monumental sufi kelahiran Iskandaria ini tidak lazim seperti karya tasawwuf lain. Secara tersurat tanpa pendahuluan pujian pada berserta shalawat salam. Tanpa pemberitahuan kenapa kitab ini ditulis. Tidak ada satu kalimat pun yang menyebutkan penulisnya memberi judul ‘al-Hikam’, lebih lebih mau menceritakan alasan pemberian judulnya.Tanpa penjelasan struktur pembahasan yang akan disampaikan. Sepi dari bab-bab, tanpa pasal-pasal. Tidak menuliskan inti pembahasan dan kesimpulan. Tetapi ini bukan kekurangan, malahan menjadikanya keistimwaan.

            ‘Nyaris Seperti al-Qur`an’, begitu sebuah apresiasi sangat luar biasa dari Syaikh Muhammad Abduh terhadap indahnya gaya sastra kalimat-kalimatnya. Bahkan, Ibn Ajibah menuliskan ‘Sendainya saja shalat boleh dengan selain al-Qur`an, tentu dengan al-Hikam’.   Tentu, bukan bermaksud membandingkan al-Qur`an dengan karya manusia, apalagi sampai dianggap menistanya, juga tidak hendak membatalkan shalat karena ingin merubah bacaanya. Sekali lagi tidak. Nampaknya, keduaya sudah kehabisan kata-kata pujian yang paling pantas.

Konon setelah rampung ditulis, kitab ini diperiksakan kepada Syaikh Abu- al-Abbas al-Mursi dan merenungi maknanya, “Ini hasil perasan dan tambahan atas Ihya”. Setidaknya seperti itulah komentar sang Mursyid kepada karya sang murid. Inilah cerita yang ditulis Haji Khalifah dalam Kasyf ad-Dzunûn. Jika memang benar, karya ini lahir dari pena kasyf anak muda yang sanggup meringkas empat jilid buku tebal menjadi beberapa catatan tipis berlembar, dari sekitar ribuan bab menjadi sekitar dua ratusan kata singkat, dengan perubahan dari gaya filosofis menjadi sangat estetis.

            Untaian katanya memang penuh rima. Kalimatnya singkat ber-îjâz, namun juga sewaktu-waktu beruarai ber-ithnâb. Kalimatnya banyak mengandung figuratif (majaz), metaforis (istiâ`rah), kiasan (tasybîh), sindiran (kinâyah), teratur ber-sajâ`ber-jinâs bebas tanâfûr, suatu ketika menggunakan perbandingan (muqâbalah), sering menggunakan redaksi pertanyaan keheranan (istifham ta`ajjub). Penggunaannya terkesan tidak dipaksakan, sehingga tidak merubah kandunganya, hingga sanggup menggetarkan jiwa. Kitab ini seperti menerbangkan jiwa pembaca ke zawiyyah pengarangnya.

            Lihat dan cermati satu hikmah saja.

كيف يشرق قلب صور الأكوان منطبعة في مرآته ؟، أم كيف يرحل إلى الله و هو مكبل بشهواته؟، أم كيف يطمع أن يدخل حضرة الله و لم يتطهر من جنابة غفلاته؟، أم كيف يرجو أن يفهم دقائق الأسرار و هو لم يتب من هفواته؟

“Bagaimana mungkin hati bersinar, sementara gambaran dunia masih terpancar dalam cerminya ?, atau bagaimana bisa berangkat menuju Allah kalau masih terbelenggu oleh syahwatnya ?. atau bagaimana mengharap dengan sangat masuk menghadap apabila masih belum bersuci dari ‘junub’ kelalainya ?. atau bagaimana memelas berharap memahami kedalaman rahasia-rahasia, sementara masih belum bertaubat dari kesalahnya”

Ungkapan-ungkapan perasaan suci terasa kurang maknanya jika hanya dingkapkan dengan kata biasa. Bahasa jiwa itu telah menemukan penanya, yaitu bentuk prosa. Bandingkan gaya bahasa hikmah itu jika diubah dengan struktur seperti ini; ‘orang yang masih mencintai dunia hatinya masih kotot, tidak akan berhasil beribadah jika hawa nafsunya masih kuat……’, begitu seterusnya. Mudahnya, perhatikan ungkapan kata-kata cinta; ‘aku mencintaimu!’, dengan ‘Aku tidak bisa hidup tanpa kamu, hanya engakulah yang ada dihatiku’. Kekuatanya sangat berbeda bukan !?.

Dalam hikmah ke tiga belas itu, bentuk tanya keheranan (isftifham taajjub) sepertinya sengaja dipilih sehingga maknya lebih kuat. Memakai bumbu-bumbu ithbab yang sempurna. Bentuk figurasi, metafora, dan kiasan yang sangat mengena dan sempurna (baligh); ‘hati bersinar’, ‘lukisan dunia’, ‘cermin jiwa’, ‘berjalan-Masuk’, ‘syahwat menambat’, ‘tamak harap’, ‘bersuci’, ‘junub kelalaian’, ‘kedalaman pengetahuan’. Indah bersajak namun maknanya tidak rusak; menggunakan kata ganti (dlamir majrûr), pengulangan istifham bukan untuk pemborosan. Pilihan katanya juga demikian, ‘hawafat’ maksiat tidak disengaja, bukan ‘dzunûb’ atau ‘ma`âshy. Inilah salah satu pesonanya.

Di sisi lain, bukan hanya keindahan sastranya saja namun juga sarat dengan makna. Sebagai karya disiplin tasawwuf, Ibn Athaillah juga menggunakan ‘Rumz’. Yaitu makna batin yang terpendam dalam makna dhahir, tidak bisa menggalinya kecuali ahlinya’, kata at-Thusi dalam al-Luma`. Ahmad Zaruq dalam Qawaid tasawwuf mengartikan ‘ungkapan kaya makna, minim kata’. Setidaknya, membuka kamus-kamus istilah sufi sebagai pengantar memahaminya. Bisa juga merujuk kepada syarahnya yang mencapai kurang lebih tiga puluh buah. Namun, Seseorang harus menceburkan diri dalam tasawwuf untuk mengetahui hakikatnya.

Seorang pensyarah al-Hikam, Ibn Ibad ar-Rundy merasa tidak kuasa mengungkap gagasan-gagasan dalam kitab ini. Kurang bisa menyajikan keutuhan madzhab tasawwuf pemilikya. Katanya ‘hanya dia yang bisa mengungkapnya, Jalan untuk mengungkap isinya hanya dengan belajar dan berhadapan langsung kepada ahlinya’. Ungkapan senada juga disampaikan at-Taftazany, penulis thesis terbaik yang membahas tasawwuf Ibn Athaillah ini butuh berulang kali untuk menelaahnya.

Menurut Ibn Ajibah dalam ‘Iqadh al-Himam’, ada empat tema penting dalam Ibn Athaillah ini; Ilmu tentang tuturan lembut dan nasehat menyentuh (at-Tadzkir wa al-Mawa`idz), ilmu tentang penyucian perbuatan dan perkataan (tashfiyaah al-a`mal wa Aqwal), ilmu tentang kondisi jiwa dan fase-fase ibadah, hukum-hukum perasaan (ahwal wa al-maqamat), dan ilmu pengetahuan tentang Allah (al-ma`rifah) atau biasa disebut ilmu Tauhid. Selain tema pokok juga didapati tema lain, Seperti metafisika, wujud dan hirarkinya dengan gaya filosofis spiritual. Pembahasan teori jiwa (nafs) yang masuk daftar ilmu psikologi.

al-Hikam tidak pernah tenggelam oleh perubahan zaman. Karya ini selalu menjadi rujukan mulai dituliskanya hingga zaman kita, mungkin juga akan terus hingga akhirnya dunia. Menjadi materi tiada henti yang terus dikaji di almamater penulisnya, al-Azhar as-Syarif. Diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Disyarah oleh puluhan ulama arifin. Dibaca disebagian besar pesantren tradisional Indonesia, diteliti di perguruan tinggi.

Walhasil, sebenarnya penulis ingin menghadirkan satu dua bait hikmah atau munajat Ibn Athaillah as-Sakandary sebagai bagian akhir tulisan ini. Namun, setelah membuka, membolak balik kertas, mencermati, memahami, menyelami dan ingin mengutipnya penulis bingung memilih mana hikmah yang paling tepat dan mengena. Hal itu karena semuanya penuh makna dan penuh pesona. Wallah a`lam.

           

Last modified: 12/05/2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *