Syaukani Oeng: Jangan Ubah Istilah-Istilah Islami
inpasonline.com, 22 Agustus 2010
SURABAYA – Sering terjadi kesalahpahaman di kalangan masyarakat terhadap ajaran Islam yang disebabkan oleh perubahan istilah-istilah yang khas Islam. Hal itu disampaikan oleh Al-Ustadz Syaukani Oeng dalam ceramah agamanya di Masjid Al-Falah, Surabaya pada hari Jum’at lalu. Salah satunya yang ia contohkan adalah konsep “shiyam” atau “shaum” yang disamakan dengan istilah “puasa”.
Padahal, jelas ustadz keturunan China ini, sangat jauh perbedaan antara keduanya. Jika puasa tidak rusak karena bermaksiat kepada Allah, tapi shaum jelas rusak jika dibarengi dengan melakukan maksiat kepada-Nya. “Makanya, seorang dokter tidak pernah mengatakan shaum kepada pasiennya apabila akan test lab, tapi dikatakan puasa. Ini menunjukkan bahwa puasa hanya sekedar tidak makan dan minum,”jelas ustadz yang masuk Islam sejak 1997 ini.
Tentu berbeda dengan “shaum” yang mempunyai arti “imsak” (menahan diri) dari segala hal yang membatalkan dan merusaknya. Tidak hanya makan dan minum, tapi berhubungan badan, menipu, mencuri, ghibah dan maksiat lainnya juga bisa merusak shaum. Di samping itu, tujuan shaum yang utama adalah untuk membentuk manusia bertakwa. “Oleh karena itu, tidak heran jika segala hal yang terkait dengan kemaksiatan bahkan sesuatu yang tidak berguna pun diperintahkan untuk ditinggalkan,” jelasnya lebih lanjut.
Perubahan istilah “shaum” menjadi “puasa” ini hampir sangat kronis terjadi di kalangan umat Islam Indonesia. “Buktinya, ketika menyebut rukun Islam yang keempat, maka pasti akan disebut puasa di bulan Ramadhan,”tambahnya. Padahal menurut Ustad Oeng untuk istilah yang lainnya, seperti Shalat, Zakat, dan Haji hampir tidak mengalami perubahan dari konsep asalnya.
Pada akhirnya, karena perubahan istilah itu, maka orang di luar Islam akan dengan mudahnya mengatakan bahwa agama lain juga melaksanakan puasa. Padahal, sekali lagi katanya, dalam Islam bukan diperintahkan puasa tapi shaum yang tentu punya konsekuensi yang berbeda.
Selain shaum, istilah “buka puasa” juga dikritisi oleh pengurus PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) ini. Menurutnya, dalam Islam istilah tersebut tidak pas untuk menggantikan “ifthar” (makan setelah berpuasa). Istilah ifthar terkait dengan fitrah, sedangkan berbuka terkesan bebas karena sudah berbuka. Maka segala sesuatunya menjadi terbuka, termasuk melakukan maksiat. Pemahaman seperti ini masih banyak ditemui di kalangan masyarakat. Dalam penutupnya, Ustadz Oeng mengingatkan agar tidak sekali-kali merubah istilah-istilah Islami dengan istilah lainnya agar tidak terjadi kekacauan konsep Islam.(mm)