Inpasonline.com, 19/09/11
Kehadiran Dr. Adian Husaini di Pesantren Mahasiswa Baitul Hikmah Surabaya pada 13 September 2011 memberikan secercah pencerahan, khususnya bagi santri baru angkatan 2011. Selama menyambangi pesantren yang beralamat di Jalan Gubeng Kertajaya VD No.22 Surabaya ini, Adian mengajak para santri untuk berpikir kritis, dengan cara membangun dialektika. Berikut petikannya :
Tajuddin : terkait dengan perkembangan pemikiran teruatama liberalisme, sekularisme dan sebagainya; saya pernah mondok di Madiun. Sejauh pengamatan saya, di ponpes salaf, kata-kata liberalisme, sekularisme itu aneh atau asing, kurang dikenal di pondok pondok di desa. Kemudian ketika teman-teman kuliah di kota, universitas besar, mereka seringkali bertemu dengan pemikiran seperti itu dan beberapa hal diantaranya merasa menemukan hal baru dalam pemikiran sehingga ada yang menerima begitu saja dan ada yang kritis. Setahu saya, perdebatan pemikiran Islam santer di kota-kota sedang di desa-desa kurang berkembang.
Adian : yang harus kita pahami adalah definisi liberalisme. Apa sich yang dimaksud dengan LIBERAL? Jadi pemikiran liberal itu adalah sebuah gagasan besar untuk bagaimana manusia ini tidak lagi menjadikan agama sebagai pedoman atau pandangan hidup, karena maksud liberalisasi adalah membbeaskan manusia dari dogma-dogma agama. Mengapa liberalisme di Barat itu muncul? Karena berawal dari masyarakat yang muak dengan agama. Dulu masyarakat Eropa seluruh hidupnya diatur oleh gereja dan pada perkembangannya mereka menderita di bawah gereja, dan parahnya gereja menyampaikan apa yang mereka tidak kerjakan, kemudian muncul pemberontakan yang disebut zaman Renaissance atau lahir kembali. Jadi orang Barat mengaku bahwa setelah mereka meninggalkan agama, mereka lahir kembali. Maka liberalisme adalah gerakan membebaskan diri dari Tuhan. Maka lahir Machiavelli, yg merumuskan politik tanpa moral, Anda boleh berkuasa dengan cara apa pun, yang penting berkuasa, begitu juga dengan ekonomi, yang penting bagaimana meraih untung, caranya bagaimana, ga penting. Dalam sains juga sama, bagaimana aktivitas ilmu pengetahuan bebas dari dogma-dogma agama. Misalnya untuk mencari asal-usul manusia, mereka ga mau bersandarakan pada kitab suci. Mereka tidak mau menerima informasi yang berasal dari dari agama.
Dalam ilmu sejarah, tidak ada pengaitan sejarah asal-usul manusia dengan informasi dalam kitab suci. Kalau kita sebagai orang Islam, menerima pemikiran seperti ini, maka kita sudah masuk ke pemikiran liberal.
Mereka percaya kepada ilmuwan. Mereka lebih percaya pada fosil. Padahal fosil belum tentu benar sebab fosil itu berawal dari ASUMSI. Banyak terjadi pemalsuan fosil.
Manusia yang penting bukan tubuhnya. Manusia berbeda dengan makhluk bukan dalam hal fisik tapi RUH. Informasi tentang RUH ga bisa diteliti, hanya ada di kitab suci informasinya. Sejarah kita adalah sejatah ruh, ketika kita berdialog dengan Alloh di al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 72.
Jerat-jerat liberalisme itu ada di setiap dimensi kehidupan. Jadi jangan menganggap liberlisme ini adalah tentang JIL (Jaringan Islam Liberal, red) saja. Di universitas-universitas umum banyak yang berpikir bahwa dia ga perlu belajar agama, kerena dia mengambil jurusan umum. Manusia diarahkan seperti binantang.dia profesional di bidangnya tapi dia tidak tahu hakekat serta tujuan hidup.
Jadi sekarang kita harus melihat liberalisme ini dalam konteks yang lebih luas. Dalam konteks liberalisasi agama, bagaimana mendudukkan agama dalam konteks modern. Orang Islam belum bisa menerima nilai-nilai Barat. Menurut pengasong liberal, agama itu ga penting, yang penting itu HAM. Jadi jika ada ajaran agama yang bertentangan dnegan HAM, maka agamalah yang harus dibuang. HAM membolehkan orang kawin sesama jenis, nikah lintas agama, bahkan untuk tidak beragama; itu HAM. Kemudian Islam melarang semua itu. Mereka mengingingkan Islam yang harus menyesuaikan dengan HAM. Makannya kenapa FPI itu dimusuhi terus, karena FPI itu usil sama urusan orang lain. Prinsip Barat, selama dia tidak mengganggu orang lain, tidak usah diusik, Barat ga kenal konsep amar ma’ruf nahi munkar.
Prof. Al-Attas berkata, “Sekularisme itu paham kedisinikinian, hanya di dunia ini dan saat ini”. Artinya, sudah tidak ada kaitan antara kehidupan di dunia dengan kehidupan di akhirat nanti.
Untuk mengubah pandangan Islam itu maka diperlukan liberalisasi al-Qur’an karena yang bertentangan dengan pandangan dunia Barat adalah cara menafsirkan al-Qur’an. Liberalisasi susah dibendung karena ini sudah menjadi fenomena zaman di semua agama. Di kalangan Yahudi dan Kristen juga muncul liberal Judaism dan liberal Christiany.
Mereka (Islam liberal) minta pengakuan bahwa mereka adalah salah satu varian dari Islam. Bagaimana Muslim mensikapi itu? Mudah-mudahan kita tidak sampai seperti Yahudi dan Nasrani.
Yang berat justru liberalisme di dunia pendidikan. Kadang-kadang guru TK ga sadar bahwa yang dia ajarkan adalah pemikiran liberal. Misal : ada bab tentang penilaian masalah agama yang menyangkut sholat, puasa dsb, lalu ada pembagian masalah kemasyarakatan yang terpisah dari masalah agama. Dia dengan begitu sudah sekuler. Antara masalah agama dan kemasyarakatan seharusnya tidak dipisah.
Belajar sains itu untuk menuju kepada Ma’rifatullah, karena semua yang di pelajari itu tentang ayat-ayat Alloh. Sehingga, sekarang ini yang perlu dilakukan adalah bagaimana kita sekarang ini mengislamisasi kurikulum pendidikan kita agar tidak sekuler. Apa rasionalnya manusia berasal dari monyet? Mirip dengan monyet itu belum tentu identik. Padahal yang membedakan adalah akal. Manusia ngaji denean monyet ngaji kan beda. Stephen Hawking sudah lumpuh ga bisa apa-apa tapi masih banyak yang menunggu pemikirannya. Coba Anda bayangkan, penyesatan pemikiran ini terus terjadi. Yang penting, “Kamu itu turunan Nabi (Adam), bukan turunan monyet”. Liberalisme sudah menjadi bagian dari kehidupan.
Sofi : saya pernah membaca cerpen. Saya menangkap bahwa Islam dan liberal tidak bisa dipersatukan karena Islam memakai konsep memasrahkan diri sedang liberal pakai konsep membebaskan diri. Lalu bagaimana kita mensikapi mereka? Apakah mereka itu kita hukumi kafir, munafik, fasik atau bagaimana?
Adian : kalau dalam syariat Islam, jika dia mengeluarkan pendapat yang brtentangan dengan hal-hal yang pokok dalam Islam, dia dikenakan dosa Riddah, dihukumi Murtad. Tapi sebelumnya dia harus diklarifikasi dulu dalam sebuah pengadilan.
Ada liberal kaffah, yakni seorang pluralis sejati, relativis yang tidak mengakui satu nilai tertentu, dan dekonstruksionis. Tapi kadangkala ada liberalnya yang hanya sebagian saja. Dalam soal pemikiran dia liberal tapi tidak dalam amaliyah sehari-hari. Tapi dosa pikiran (aqidah) itu jauh lebih berat dari dosa amal. Para ulama menyatakan baragsiapa yang mengingkari 1 huruf dalam al-Qur’an maka dia sudah kafir.
Saya sering mengamati, jika seseorang sudah berulang kali menulis yang bertentangan dengan hal-hal yang qoth’iy (pokok, red) dalam Islam, maka saya memiliki penilaian tersendiri tentang dia. “Kuu anfusakum wa ahlikum naaro”.
Kalo orang itu menolak hal yang qoth’iy, dia sudah kufur. Tapi karena tidak ada lembaga resmi yang bertugas mengklarifikasi, maka saya punya sikap pribadi.
Jalil : bagaimana tindakan kita terhadap aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah? Saya pernah mengikuti sebuah seminar tentang Ahmadiyah. Salah satu pembicara mengatakan, “Cara kita mensikapi Ahmadiyah adalah dengan pemikiran juga karena Ahmadiyah juga bergerak dalam pemikiran”. Apakah pendapat tersebut benar? Saya kan masih mahasiswa, sehingga saya merasa belum mampu memberikan kontribusi bagi permasalahan umat yang teramat kompleks. Lalu bagaimana?
Adian : kelompok sesat seperti Ahmadiyah tidak cukup disikapi dengan pemikiran. Jika bisa dibubarkan, ya dibubarkan saja. Dan saya tidak sepakat dengan pernyataan Anda yang kedua. Pada umur umur 19 tahun, Pak Natsir sudah berdebat dengan lawan pemikirannya. Jadi jangan merasa masih remaja. Banyak mahasiswa yang menunggu instruksi untuk bergerak, sedang kita punya akal, kita harus bergerak cepat. Kita terkena kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Kita kembali pada hadits Rasulullah SAW : jika kamu lihat kemungkaran, ubah dengan tangan kamu. Jika tidak mampu, dengan lisan kamu. Jika masih tidak mampu, dengan hati kamu.
Jihad itu apa yang Anda bisa lakukan. Jangan merasa masih mahasiswa lalu merasa masih belum mampu. Justru ketika masih mahasiswa, maksimalkan potensi sebab kalau sudah lulus malah repot nyari kerja.
Salah jika orang yang kuliah di Perguruan Tinggi tujuannya hanya untuk bekerja. Kita punya tanggung jawab keumatan. Menegakkan kalimat Alloh memang dibebankan kepada kaum Muslimin. Maka Rasulullah SAW akan menjadi saksi bagi kaum Muslimin. Tanggung jawab kaum Muslimin berbeda dengan yang lain.
Kalo Anda ga mampu cegah kemungkaran dengan tangan dan lisan, maka bencilah kemungkaran dengan hati. Kata Rasulullah SAW, indikator iman adalah dari AKTIVITAS DAKWAH. Sebagian besar sahabat yang ribuan jumlahnya meninggalnya tidak di Madinah, tapi tersebar kemana-mana bahkan hingga ke China dan negara-negara lain. Mereka terinspirasi semangat menyebarkan Islam. Sekarang ini yang semangat justru orang Kristen, missionaris. Orang Islamnya lupa, sibuk cari makan. Orang Muslim itu semangatnya harus misi dakwah. Dia akan ditolong oleh Alloh dalam kehidupan. Kalau bisa Anda lakukan dengan jama’ah. Misalnya, Anda bisa buat Petisi Baitul Hikmah agar Ahmadiyah dibubarkan, lalu kirim kepada Presiden. Coba Anda bayangkan, ngaku Presiden palsu aja berat hukumannya apalagi ngaku Nabi Alloh. Yang berani ngaku Nabi palsu seharusnya hukumannya lebih berat dari yang ngaku presiden palsu.
As’ad : Saya pernah baca katanya Tragedi 9/11 itu sebuah rekayasa? Benarkah demikian?
Adian : Dalam sejarah Barat hal biasa jika sebuah kebijakan besar lahir setelah terjadi tragedi besar. Misal : Holocaust, komunis runtuh, Tragedi 9/11.
Tragedi 9/11 mengarahkan pada skenario lahirnya tatanan baru. Mau tidak mau Barat harus berhadapan dengan Islam; sehingga setelah 9/11 Amerika berubah kebijakannya secara signifikan.
Saya sarankan jangan melawan Barat dengan cara kekerasan karena kita akan masuk jebakan. Karena Barat melawan kita dengan cara-cara halus, diserang ekonomi, budaya, pemikirannya, maka kita lawan juga dengan cara-cara seperi itu.
Tholib : Islam maju di era Mu’tazilah. Mundur saat era Sufi. Mengapa demikian?
Adian : Mu’tazilah itu pemikiran keagamaan. Tokoh-tokoh Mu’tazilah tidak menafikan wahyu. Yang perlu diketahui, Mu’tazilah itu dapat kritik dari Ahlussunnah yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan hebat seperti al-Biruni. Al-Biruni bukan Mu’tazilah tapi dia menjadi ilmuwan hebat yang menguasai berbagai disiplin ilmu, yang sampai sekarang kitabnya masih dikaji. Adalah sebuah mitos bahwa Mu’tazilah itu melahirkan ilmuwan-ilmuwan hebat. Justru Ahlussunnah banyak melahirkan ilmuwan-ilmuwan brilian. Kemudian al-Ghazali. dia itu ulama yang hebat sekali. Sekarang coba Anda sebutkan tokoh Mu’tazilah yang menjadi ilmuwan hebat seperti al-Biruni. Ilmuwan hebat justru banyak muncul dari Ahlussunnah.
Dan jangan terlalu anti pada sufi. Sholahuddin al-Ayubi itu seorang sufi. Syekh Abdul Qodir al-Jilani sorang sufi sekaligus ahli fiqih bermazhab hambali. Al-ghazali itu sufi yang hebat tapi tidak punya tarekat. Jadi sufi atau tasawuf beda dengan tarekat. Tasawuf itu disiplin ilmu tentang ibadah batin. Kalo kita baca Ihya’ ‘Ulumuddin, ada bab tentang amar ma’ruf nahi munkar. Jadi seorang sufi yang benar adalah yang berdakwah karna hidup matinya umat tergantung pada aktivitas amar ma’ruf nahi munkar (dakwah).
Tajuddin : saya kurang paham tentang tafsir hermeneutik. Saya pernah dengar bahwa tafsir Maroh Labid itu tafsir hermeneutik karena Syekh Nawawi al-Bantani mempertimbangkan budaya Jawa. Apakah benar begitu?
Adian : Tentang perkataan orang liberal bahwa Maroh Labid itu tafsir hermeneutik, itu merupakan ungkapan-ungkapan bombastis yang general atau terlalu umum, dan ini harus dikritisi. Budaya itu harus dinilai oleh Islam. Bahwa dalam dakwah kita mempertimbangkan budaya, iya. Tapi kalo dalam penafsiran ulama mempertimbangkan budaya, itu yang mana? Adakah hukum yang ditetapkan oleh Syekh Nawawi yang berbeda dengan ajaran Islam? Tidak ada. Coba kita minta kepada mereka bagian mana dari tafsir Maroh Labid yang mempertimbangkan budaya Jawa?!?
Mengapa Al-Qur’an tidak bisa dikenai metode hermeneutik? Karena metode itu berawal dari ASUMSI bahwa Al-Qur’an adalah teks. Padahal al-Qur’an itu BUKAN TEKS, al-Qur’antidak disusun dan al-Qur’an ini sudah ditafsirkan oleh Rasulullah SAW. Makannya kita tidak bisa kembali kepada al-Qur’an kemudian dikaitkan dengan budaya; tidak bisa. Kita harus kembali ke makna lafazhnya. Pemikiran hermeneutik mengurung al-Qur’an dalam makna budaya. Para ahli tafsir banyak yang bukan orang Arab tapi mereka tidak pernah menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan budaya mereka masing-masing
Kita menerima al-Qur’an ini sebagai wahyu, maka cara menafsirkan al-Qur’an metodenya ada sendiri. Itulah untungnya Anda belajar ‘Ulumul Qur’an. (Kartika Pemilia)