Kekecewaan warga negara NKRI terhadap kelambanan pemerintah dalam pemberantasan korupsi cukup beralasan. Pasalnya, proses penyelidikan pelaku korupsi, jika kasus tersebut menyentuh elit politik dari the rulling party, maka bisa dipastikan akan mengalami berbagai hambatan dan rintangan yang dibuat oleh elit politik itu sendiri. Jika sudah menyangkut uang dalam jumlah besar, makin banyak elit politik yang ikut “menghandle” dan proses pengusutannya akan semakin berbelit-belit. Kasus Nazaruddin contohnya, banyak nama elit politik dari partai besar yang berhembus ikut menikmati proyek Wisma Atlet yang bernilai triliunan rupiah.
Hal itu sama saja dengan mengorupsi kemerdekaan yang merupakan buah perjuangan seluruh elemen bangsa Indonesia. Para pejuang kemerdekaan pastinya mengingingkan agar anak cucu mereka yang menikmati kemerdekaan kemudian mengisinya dengan hal-hal positif bagi pembangunan bangsa. Sedrupakan tantangan serius dalam pembangunan, merongrong tata pemerintahan, mengurangi akuntabilitas dan representasi dalam kebijakan, menghambat penegakan hukum, menghasilkan ketidakadilan dalam penyediaan layanan, dan mengikis kapasitas kelembagaan pemerintah karena pengabaian prosedur.
Politik tangan besi yang diterapkan oleh China mungkin tepat jika diterapkan untuk memberantas korupsi. Presiden China Hu Jintao bertekad memberantas korupsi di negaranya dengan mengumumkan akan mempersiapkan 1.000 peti mati untuk pelaku pencurian uang negara tersebut.
Ia membuktikan tekadnya itu sehingga berhasil meraih tiga pilar kekuasaan di China yakni sebagai presiden, Ketua Partai Komunis China (PKC) dan Ketua Komisi Militer Pusat (KMP). Dalam buku “The China Business Handbook” dilaporkan sepanjang tahun 2003 tidak kurang 14.300 kasus yang diungkap dan dibawa ke pengadilan yang sebagiannya divonis hukuman mati.
Sampai tahun 2007 Pemerintah Cina telah menghukum mati 4.800 orang pejabat negara yang terlibat praktik korupsi. Pemerintah China juga mengeluarkan aturan yang mengharuskan pejabat yang hendak bepergian ke luar negeri melapor kepada atasannya terutama yang membawa uang dalam jumlah besar.Kebijakan itu membuat China mengalami kemajuan dan perkembangan ekonomi yang pesat serta diperkirakan akan menjadi negara adidaya di dunia internasional.
Menurut Mahfud MD jika pola pemberantasan korupsi di China itu diterapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maka peringkat korupsi Indonesia akan jauh dari negara-negara terkorup dunia. “Indonesia kini berada pada peringkat 4 dan kadang-kadang bergerak di posisi 5 negara terkorup di dunia, bahkan Indonesia pernah meraih peringkat 2 negara terkorup di dunia atau hanya kalah dari Fiji,” ujar Mahfud pada wartawan Antara (27/2).
Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Nugroho SBM menilai energi pemerintah yang terkuras untuk pemberantasan korupsi yang tidak kunjung selesai mengakibatkan Indoensia kurang memanfaatkan momentum booming ekonomi kawasan Asia sehingga Indonesia tidak dapat menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi selama dua tahun terakhir.
“Jika pemerintah bergerak lebih cepat dan fokus, Indonesia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen. China dan India bisa memanfaatkannya sehingga tumbuh di atas delapan persen pada 2010,” katanya di Semarang, Kamis (14/7/2011).
Menurut staf pengajar Fakultas Ekonomi Undip itu, pertumbuhan ekonomi enam persen seperti yang dibukukan Indonesia belakangan ini bukan merupakan prestasi besar, sebab kawasan Asia dalam beberapa tahun terakhir ini memang sedang booming dan Indonesia ikut menikmatinya. “Pemerintah tanpa bekerja keras pun, Indonesia tetap bisa menikmati pertumbuhan ekonomi moderat, enam persen karena kawasan ini (Asia) memang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi,” katanya kepada Kompas (12/7).
Nah, apakah pemerintah masih terus akan bergeming terhadap korupsi serta melewatkan begitu banyak momen penting karena satu masalah yang tidak selesai-selesai?(Kartika/republika/antara/kompas)