InpasOnline, 4/5/09
Bertempat di aula Sulaiman, SD Integral Luqmanul Hakim PP Hidayatullah, Kejawan Putih Tambak Surabaya, pada hari Sabtu (2 Mei) diadakan tasyakur dan orasi ilmiah oleh Dr. Adian Husaini.
Acara yang dihadiri oleh aktifis islam Surabaya ini terselenggara atas kerjasama Hidayatullah, DDII, Masjid Mujahidin dan InPAS (Institut Pemikiran dan Perdaban Islam) Surabaya.
Dalam orasinya, Adian menekankan betapa sejarah telah membuktikan bahwa ada upaya serius untuk menepis peran Islam dalam sejarah Melayu-Indonesia. “Padahal berdasarkan sejarah, Melayu-Indonesia, menurut Al-Attas, telah identik dengan Islam,”kata Adian. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu.
Menurut Adian, Al-Attas juga menolak keras teori sarjana Barat yang menyatakan bahwa Islam tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, seperti pelitur di atas kayu; yang andaikan dikorek sedikit, maka akan terkelupas hingga menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya.
Adian memandang bahwa usaha serius menepis Islam itu sebenarnya sangat mudah dibuktikan. Pangeran Diponegoro, misalnya, sangat jelas misinya untuk menegakkan Islam di tanah Jawa. Tetapi cerita seperti ini luput dari pelajaran sejarah. Sebelum kedatangan Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Bahkan sejak VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat dengan Regerings Reglemen tahun 1855 dan juga adanya teori ‘receptio in complexu’ oleh Lodewijk Willem Christian van Den Berg. Teori ini menyatakan bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam. Teori ini terus berlaku hingga kemudian Snouck Hurgronje mengubahnya menjadi teori ‘receptie’ yang menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia bila diterima oleh hukum adat.
Sejalan dengan hal di atas, menurut Adian, Mohammad Natsir dalam buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak menyebutkan ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia. Pertama, pemurtadan. Kedua, gerakan sekularisasi. Dan ketiga, gerakan nativisasi. Secara khusus Natsir mengingatkan perlunya umat Islam waspada dan mencermati dengan serius gerakan nativisasi yang dirancang secara terorganisir oleh kelompok di luar Islam. Gerakan ini berupaya untuk mengikis dan menepis Islam dari percaturan peradaban di Indonesia dan mengembalikan kepada peradaban sebelumnya (Hindu, Budha, Animisme). Ini sejalan dengan sinyalemen Al-Attas di atas, bagaimana Islam dianggap tidak meninggalkan sesuatu yang berarti, laksana pelitur di atas kayu dalam jasad Melayu-Indonesia.
Adian mencatat banyak hal terkait dengan ketiga tantangan dakwah yang dikemukakan Natsir di atas. Kitab Darmogandul, kaitan erat gerakan Kristenisasi dengan pemerintah kolonial Belanda, kasus Piagam Jakarta, kasus-kasus di perguruan tinggi Islam kini yang dimulai oleh Prof. Harun Nasution dengan bukunya Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, dan sebagainya. Tidak heran jika Natsir mengabdikan sebagian besar hidupnya (1908-2008) untuk menanggulangi dan melawan gerakan-gerakan itu.
“Menghadapi tantangan dakwah yang berat seperti itu, lantas bagaimana strategi kita?,”tanya Adian. Menjawab pertanyaan ini ia mencatat kebangkitan Islam masa Shalahudin Al-Ayyubi layak dijadikan teladan bagaimana sebuah peradaban dibangun kembali. Ia mendasarkan pada buku Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina karya Dr. Madjid Irsan al-Kilani, diterjemahkan oleh Asep Shobari, Lc. dan Amaluddin Lc., MA.
Kesimpulan dari buku itu, bahwa Shalahuddin bukanlah pemain tunggal yang “turun dari langit”. Tetapi, dia adalah produk sebuah generasi baru yang telah dipersiapkan oleh para ulama hebat. Dua ulama besar yang disebut berjasa besar itu adalah Imam al-Ghazali dan Sayikh Abdul Qadir al-Jilani. Menurut Madjid, dalam melakukan perubahan umat yang mendasar, Al-Ghazali memfokuskan pada upaya mengatasi masalah kondisi umat yang layak menerima kekalahan. Di sinilah Al-Ghazali mencoba mencari faktor dasar kelemahan umat dan berusaha mengatasinya, ketimbang menuding-nuding musuh.
Al-Ghazali sampai pada kesimpulan, bahwa yang harus dibenahi pertama kali adalah soal keilmuan dan keulamaan. Lahirlah Ihya’ Ulumiddin, yang bab pembukanya adalah “Kitabul Ilmi”. Bagaimanapun, ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Disamping itu, Al-Ghazali pun tercatat aktif dalam memberikan kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat.
Inilah, tulis Adian, suatu strategi kebudayaan dan strategi peradaban dalam membangun satu generasi yang tangguh. Bangkitnya kaum Muslim dari keterpurukan ketika Perang Salib bukan kebangkitan seorang Shalahuddin, melainkan kebangkitan “satu generasi Shalahuddin”. Satu generasi yang tangguh secara aqidah, mencintai ilmu, kuat ibadah, dan zuhud. (bu)